PERLAWANAN TANI ALA PETANI JERUK TANAH KARO — Ke Bapa Rayat Sirulo Presiden Joko Widodo

Ketika memotret praktik sosial perlawanan politik petani, dicabut dari akar budaya di suatu wilayah Indonesia. Kemudian memberikan lebel dengan pendekatan kaku gerakan perlawanan ala barat yang cenderung gagah serta glamour maka akan tercebur dalam gelap gulita dan kebuntuan menjawab harapan.

Rahayu Setiawan

Mantan Aktivis GEMA IPB’ 98

Baru saja kita disuguhkan keluh kesah petani jeruk Liang Melas Datas (LMD) (Kabupaten Karo, Sumatera Utara) mengirimkan 3 ton jeruk ke Istana Negara di Jakarta akibat infrastruktur jalan rusak lebih dari 25 tahun tanpa perhatian negara. Sementara, sehari sebelumnya Presiden Joko Widodo di Badung (Bali) menyerukan kepada Kepala Kesatuan Wilayah agar para pemimpin harus mampu memberikan perhatian lebih di wilayahnya, termasuk menjaga arus distribusi barang agar berjalan dengan baik.

Kasus ini menurut saya, sebagai tamparan terhadap Presiden Joko Widodo dan menandakan pekerjaan rumah membangun infrastruktur yang tak kunjung usai.

Potret praktik politik rakyat menyampaikan aspirasi langsung ke Presiden Joko Widodo bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, petani jagung Suroto peternak ayam asal Desa Suruh wadang (Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar) dikenal publik usai video yang merekam dirinya membentangkan poster terkait mahalnya harga jagung dan murahnya harga telur ketika Jokowi melakukan kunjungan ke Blitar pada awal September 2021.

Kemudian aksi jalan kaki Masyarakat Toba, Sumatera Utara ke Jakarta mendesak penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Danau Toba, dengan keluhan terkait pencemaran lingkungan, periode Agustus 2021. Serta, sebanyak 170 petani Karo Hilir dari Desa Simalingkar A dan Sei Mencirim (Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara) berjakan kaki ke Istana Negara, mengadukan masalah penggusuran rumah dan ladang yang menurut mereka dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara II atau PTPN II.

Tulisan ini berusaha memberikan perspektif atas pertanyaan yang menilai aksi ini, merupakan langkah elitis. Sedikit-sedikit ke Presiden Joko Widodo bukankah hal tersebut dapat diselesaikan pemerintah daerah?

Selain itu, menjadi perhatian adalah mengapa bentuk perlawanan ini yang dilakukan? Kemudian, patut juga diperhatikan apakah bentuk perlawanan ini akan menjadi struktur baru dalam proses produksi dan reproduksi meminjam istilah Anthony Giddens dalam teori strukturasinya, sebagai wujud masyarakat yang terus berkembang?

Menjawab praktik sosial ini perlu memperhatikan sejarah bentuk perlawanan petani Indonesia yang sudah menjadi perhatian peneliti sosial. Sayangnya, mereka lebih banyak melakukan peneilitian pada gerakan reforma agraria dan mengambil lokus di daerah Jawa.

Sejumlah peneliti menyimpulkan bentuk gerakan petani Indonesia berbeda dengan gerakan petani Eropa atau Barat. Misalnya, Kartodirdjo (1975) menggambarkan terdapat karakteristik umum dari perbedaan gerakan protes yang terjadi di Jawa abad ke-19. Perlawanan para petani pedesaan dilakukan terhadap kolonial Belanda karena mereka  merusak tatanan nilai yang sudah ada sebelumnya.

Penolakan tersebut memunculkan perlawanan dengan berciri; ide-ide keagamaan, seperti perlawanan dengan bentuk Ratu Adil yakni gerakan akan munculnya tokoh pembebas, Mileniarianisme yakni ramalan akan datangnya suatu abad keemasaan.

Bentuk aksi perlawanan yang dilakukan dengan mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat di belakang, membakar, dan melakukan sabotase. Bentuk ini sedikit sekali membutuhkan koordinasi atau perencanaan dan secara cerdas menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak penguasa.

Berbeda dengan gerakan sosial ala Barat dengan pemberontakan besar, kolektif dan teroganisir. Bagi mereka pola tersebut  sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Perlawanan dengan sabar dan diam-diam selama bertahun-tahun akan lebih membuahkan hasil. Perlawanan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengubah dominasi secara langsung.

Saat memetik jeruk di LMD untuk diberikan kepada Jokowi di Istana Negara.

Namun, semenjak masuknya organisasi politik dari luar, di era kemerdekaan, bentuk perlawanan petani memiliki sentuhan gerakan sosial ala Barat dengan mempertentangkan kelas pemilik lahan dan penguasa saat itu seperti pemerintahan Belanda, tuan tanah bangsawan serta pemuka agama.

Gambaran perlawanan petani yang terjadi dengan perebutan lahan perkebunan seperti di Banten, Sumatera Timur, serta di perkebunan Tebu di Jawa Tengah dan Timur cenderung terbuka dan terang-terangan perlawanan senjata.

Meminjam pemikiran Anthony Giddens, dalam perkembangan sejarahnya, petani (agent) melakukan tindakan sosial, selalu melakukan pemantauan reflektif (reflexive monitoring). Giddens menyebutnya sebagai karakter purposif dari tindak-tanduk manusia.

Melalui pemantauan reflektif, agent tidak hanya dipengaruhi oleh struktur, tetapi juga mempengaruhi struktur. Dalam pemantauan reflektif, action bukanlah untaian tindakan (acts) yang memiliki cirinya masing-masing atau agregat dari tujuan, tetapi sebuah proses yang terus berlanjut melakukan proses produksi dan reproduksi struktur.

Perubahan terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil jarak) ini meluas sehingga berlangsung ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut gejala bahwa skemata yang selama ini menjadi aturan (rules) dan sumber daya (resources) tindakan serta praktik sosial kita tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai prinsip pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang sedang berlangsung ataupun yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik sosial yang baru.

Apa yang kemudian terjadi adalah keusangan (obsolence, obsoleteness) struktur. Perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang secara baru.

Bentuk perlawanan petani era awal kolonial yang tradisional dengan bercirikan masyarakat pertanian dengan ikatan kekerabatan yang kuat dalam hal ini sistem patron-klien antara petani dengan elit (tuan tanah, bangsawan, kaum agama dan kolonial) memberikan gerakan perlawanan sembunyi-sembunyi, mesianik, dan terus menjadi rutinitas praktik sosial pada suatu titik tidak mampu lagi menjawab (bereproduksi), memadai pemaknaan sehingga membentuk perlawanan baru seperti yang terjadi saat ini, melakukan aksi langsung terang-terangan, terbuka.

Bahkan, menurut penulis, meski terdapat transformasi bentuk baru, kita masih mendapatkan “nilai” lama dalam perlawanan petani saat ini. Inilah kekhasan perlawanan petani Indonesia dan untuk sampai kesimpulan tentu penulis berharap diperlukan penelitian lebih lanjut.

Penulis menilai transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak 1998 memang telah memberikan pengaruh kepada gerakan sosial dan politik akar rumput di tingkat lokal, meskipun hal itu belum menyediakan jalan untuk terjadinya perubahan sosial yang lebih mendasar di pedesaan.

Meski tercipta konsolidasi politik baru dari para politikus pro status quo yang lama maupun yang baru. Perubahan demokrasi yang substantial yang diharapkan, cenderung  hanya  menghasilkan perangkat-perangkat kompromi dan kerjasama antara pemilik modal, preman, dan politisi yang pragmatis serta pro status quo yang menguasai arena pembentukan kebijakan publik di berbagai tingkatan.

Sayangnya, kompromi-kompromi ini kemudian juga menyeret aktivis dan kelompok-kelompok gerakan sosial ke dalam pusaran pertukaran kepentingan dengan politisi pragmatis dan pro status quo sehingga mempersulit konsolidasi gerakan pembaruan demokrasi di Indonesia.

Wajar saja ketika penulis sering menemui perlawanan yang dilakukan petani pedesaan cenderung di “label” siapa mendapat apa dan pengkotakan kepentingan yang cenderung pragmatis.

Meski demikian, petani pedesaan bergerak dialektis, ciri khas Giddens struktur sebagai sumberdaya memiliki sifat berdaya (enabling) memberikan bentuk perlawanan baru. Bagi Petani jagung Suroto, ia mampu bergerak sendiri dan memanfaatkan media sosial kemudian viral dan bagi petani Simalingkar A dan Sei Mencirim, Tobasa, dan petani jeruk Tanah Karo melakukan perlawaan kekhasan memberikan signifikasi pemimpin adalah simbolik “Bapak” melompati nilai lama patron-client apa mendapat apa, kepatuhan client terhadap patron memberikan keamanan dan kenyamanan.

Seorang Bapak justru sebaliknya memberikan sesuatu tanpa pamrih, anak bukanlah client, anak adalah anugrah yang diberikan oleh Sang Sumber bagi filsafat Jawa, atau Tuhan itu sendiri.

Ciri tradisional petani patron-client bagi penulis menarik telah bertransformasi manakala kebuntuan dan kemandulan struktur pemerintahan hasil dari reformasi politik menghasilkan gerakan politik pragmatis, ketika suatu daerah tidak memberikan apa (suara) maka minim pembangunan atau ongkos politik yang besar lebih baik menutupi ongkos tersebut terlebih dahulu.

Jawabnya, pemimpin daerah tidak mampu menjawab harapan tuntutan petani.

Dari sudut pandang ini penulis melihat perlawanan yang dilakukan tidaklah elitis, justru sebaliknya mencerabut dari akar budaya petani dengan potret bahwa pemimpin harus memiliki sifat melindungi ibarat ayah dan bagi masyarakat Tanah Karo, simbolik ini bergelar Bapa Rayat Sirulo.

Dikenakan kepada Presiden Sukarno dan juga Presiden Joko Widodo yang diartikan bapak semua rakyat Tanah Karo. Demikian juga di Jawa, disematkan Romo, dengan maksud serupa dan saya rasa di seluruh Indonesia nilai ayah sebagai wujud pemimpin adalah cerminan Kebudayaan Indonesia.

Pertanyaan berikutnya apakah ini akan menjadi bentuk perlawanan baru dari petani mungkin saja jika ayah-ayah yang menjadi pemimpin mereka mandul, tumpul dan cenderung berkompromi ke dalam pusaran pertukaran kepentingan dengan politisi pragmatis dan pro status quo dan aktivis dan kelompok-kelompok gerakan sosial di luar lingkar kekuasaan nyaman dengan politik pragmatis jangan salahkan para petani mencari sosok ayah yang benar-benar ayah mampu menjawab permasalahan mereka.

Pemimpin bukan saja memiliki signifikasi administratif, legitimasi serta mengatur sumberdaya daerah tetapi lebih dari itu dalamnya terdapat nilai kebapakan yang lebih luhur sifat melindungi, memperhatikan dan menjamin kesejahteraan tanpa pandang apa dan siapa.

Sekali lagi, saya menilai untuk saat ini ayah mereka adalah Presiden Jokowidodo.

Salam Jeruk Tanah Karo yang manis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.