PERSEKUSI AGAMA DAN BAHAYANYA BAGI KEUTUHAN BANGSA — Refleksi Keagamaan 74 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh: Anjar Asmara

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sedangkan pengertian persekusi yang lebih luas adalah perbuatan penganiayaan, pelecehan, ancaman atau perlakuan buruk yang dilakukan oleh sekelempok orang kepada individu atau kelompok minoritas lain berdasarkan ras, agama, afiliasi politik, jenis kelamin atau orientasi seksual.

Sama seperti yang terjadi di negara-negara lain, persekusi di Indonesia dipicu karena faktor agama, politik, patronisme dan sebagainya.

Meski persekusi kerap terjadi, tetapi mungkin belum semua masyarakat Indonesia tahu lebih jauh apa itu persekusi, bagaimana bentuk-bentuknya, apa dampaknya dan konsekuensi hukum apa yang dapat dikenakan kepada pelaku persekusi.

Jenis-jenis Persekusi Agama

Semua bentuk persekusi adalah buruk karena mengandung ketidakadilan dan kekerasan, baik kekerasan secara langsung atau pun tidak langsung.

Dari banyak bentuk persekusi, persekusi agama dianggap sebagai bentuk yang paling menakutkan. Mengapa? Jika orang dipersekusi karena hal selain agama, korban persekusi lebih berpeluang ditolong pihak lain, atau mendapat perlindungan hukum yang memadai dari negara.

Sedangkan jika orang dipersekusi karena agama hingga korban kehilangan nyawa sekali pun, umumnya publik cenderung memilih diam dan tidak berani bersikap. Sebagian menilai korban persekusi agama pantas menerima akibat dari perbuatannnya karena dianggap menodai sesuatu yang dipandang suci.

Persekusi agama diberbagai negara telah menghasilkan begitu banyak bentuk kekerasan, baik kekerasan secara tidak langsung (intimidatif) maupun kekerasan langsung dalam bentuk penganiayaan sistematis terhadap individu atau kelompok masyarakat lain sebagai tanggapan atas keyakinan keagamaan mereka.

Fanatisme yang begitu kuat kepada agama sering dipandang menjadi penyebab sekelompok orang melakukan persekusi atas nama agamanya.

Selain itu, negara juga bisa menjadi aktor persekusi, yakni ketika negara memandang sebuah paham (ideologi), atau agama tertentu dapat menjadi ancaman terhadap kepentingan dan keamanannya.

Pada tingkat masyarakat, persekusi dapat menjadi dehumanisasi dengan praktek kekerasan yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa sehingga dianggap sebagai masalah hak asasi manusia (HAM).

Jim Denison, Ph.D, seorang filsuf agama dan pemerhati Budaya menyampaikan, ketika orang diperlakukan dengan buruk atau dilecehkan karena kepercayaan agamanya, maka perlakuan yang ia alami dapat dikategorikan sebagai bentuk persekusi.

Denison mengemukakan setidaknya ada 8 (delapan) jenis persekusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat karena perbedaan agama diberbagai negara, yakni:

1. Diskriminasi sosial, seperti pengucilan yang dilakukan oleh kelompok agama mayoritas kepada orang / kelompok agama minoritas.

2. Diskriminasi kelembagaan, seperti kesulitan mendapatkan perizinan bagi kelompok agama tertentu untuk membangun rumah ibadahnya.

3. Diskriminasi hukum, seperti mempersulit akses ke pengadilan dan memperoleh perwakilan hukum atau mendapatkan tindakan polisi yang segera ketika kelompok suatu agama diserang oleh kelompok agama lain yang lebih dominan.

4. Diskriminasi ketenagakerjaan, seperti tidak menerima tenaga kerja dari pencari kerja yang berbeda agama dengan pihak pemberi kerja.

(Left to right) Martha Collard, Founder & Catalyst for Emotional Wellbeing of Red Doors Studio; Jens Zygar and Alix Decker, rhythm and sound musicians from Germany

5. Penindasan dan agitasi kepada aktivis keagamaan ketika ia melakukan tugas-tugas kerohanian dengan tuduhan bermotif penyebaran agama.

6. Konversi agama secara paksa yang disertai dengan ancaman pembunuhan dan ancaman kekerasan lainnya.

7. Penindasan aktifitas ibadah, misalnya melarang kelompok agama tertentu melaksanakan kegiatan ibadah bersama karena khawatir dapat mempengaruhi umat agama mayoritas berpindah keyakinan ke agama lain.

8. Kekerasan terhadap individu. Ini merupakan bentuk paling umum dan paling mematikan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis agama kepada orang yang menjadi sasaran amarahnya.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Persekusi agama bisa terjadi di negara manapun dan dilakukan oleh kelompok agama apapun dimana agama mayoritas melakukan ‘pressure’ kepada kelompok agama minoritas agar tidak bebas dalam mempraktekkan ajaran agamanya.

Pemerintahan yang baik tentu tidak akan membiarkan sekelompok orang melakukan kontrol sosial atas nama agamanya kepada orang / kelompok agama lain, apalagi sampai bertindak semena-mena dan menjadi hakim yang menentukan benar-salah suatu praktek keagamaan, atau menjadi penentu tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan umat agama lain.

Jika negara tidak dapat melaksanakan fungsi penegakan hukum dengan baik, justru akan mencerminkan lemahnya negara dalam memberikan rasa aman dan perlindungan yang berkeadilan bagi seluruh warga negara yang sederajat di mata hukum.

Untuk itu negara harus melaksanakan fungsi penegakan hukum yang tegas apabila terjadi persekusi agama dengan disertai langkah-langkah preventif, misalnya:

Pertama, pemerintah harus segera merespon dan menangani hingga tuntas setiap kasus persekusi agama melalui penegakan hukum yang berkeadilan, baik kepada korban atau pun pelaku.

Dengan demikian sedari awal dapat dicegah berkembangnya bibit-bibit kebencian yang melahirkan rasa permusuhan sehingga berpotensi menciptakan perselisihan berdarah antar umat beragama di masa mendatang.

Kedua, pemerintah selalu melibatkan para pemuka agama dari kedua belah pihak apabila terjadi persekusi agama karena bagaimana pun pemuka / pemimpin agama merupakan sosok yang pikiran dan perkataannya dapat dipatuhi umat.

Pemuka / pemimpin agama sangat diharapkan mampu menjadi mediator yang baik dalam menyelesaikan perselisihan karena perbedaan keyakinan tersebut, sehingga tidak berkembang menjadi aksi kekerasan yang akan merugikan banyak pihak.

Apa yang Harus Dilakukan Korban Persekusi?

Para ahli hukum dan kelompok humanis sepakat bahwa persekusi dengan dalih apapun adalah perbuatan melanggar hukum dan bertentangan dengan HAM. Termasuk persekusi agama yang dilakukan dalam rangka mencegah orang menjalankan praktek keagamaannya, karena memilih suatu bentuk keyakinan merupakan hak dasar (asasi) setiap manusia.

Masyarakat tentu boleh melakukan kontrol sosial terhadap norma-norma yang diyakini, tetapi tidak boleh main hakim sendiri, atau bertindak sebagai penegak hukum terhadap keyakinan orang lain.

Karena itulah negara sebagai entitas bangsa mengatur nilai-nilai kehidupan sosial bersama melalui tatanan hukum dalam rangka menciptakan kehidupan yang baik dan harmonis bagi warga negara di dalam kehidupannya bermasyarakat.

Sedangkan bagi orang / kelompok orang yang menjadi korban persekusi agama sebaiknya mau dan tidak ragu melaporkan penganiayaan dan intimidasi yang mereka alami kepada institusi penegak hukum agar peristiwa serupa kedepannya tidak lagi terjadi.

Membiarkan pelaku persekusi sama saja dengan memberikan tempat dan legitimasi kepada mereka menjadi “polisi religius” atas keyakinan sepihaknya. Itu akan membuat pelaku persekusi merasa tindakannya tidak melanggar norma hukum dan kemanusiaan sehingga kejadian serupa dapat terus berulang.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, cukup banyak pasal yang dapat dikenakan kepada pelaku persekusi, seperti pengancaman pasal 368, penganiayaan 351, pengeroyokan 170 dan lain-lain yang sanksi pidananya lebih dari lima tahun, atau paling lama 12 (dua belas) tahun apabila korban persekusi meninggal dunia.

Persekusi Agama di Indonesia Berpotensi Terus Terulang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah masyarakat muslim terbesar di dunia. Namun dengan semakin menguatnya fundamentalisme keagamaan disebagian masyarakat muslim Indonesia, membuat semakin tinggi pula sensitivitas agama terhadap berbagai aspek kehidupan sosial yang ada di tengah masyarakat.

Di masyarakat muslim Indonesia juga banyak terdapat orang-orang yang lebih moderat atau liberal dalam cara pandangnya beragama.

Kalangan moderat dengan sikap keagamaannya yang toleran ini diakui atau tidak berperan besar dalam menghilangkan stigma agama dari sudut pandang negatif berbagai pihak.

Sayangnya kelompok moderat juga tidak dapat berbuat banyak ketika terjadi persekusi agama yang dilakukan oleh kelompok lain yang lebih radikal. Sebabnya mungkin lebih pada kekhawatiran dituding sebagai pro musuh agama dan turut menjadi korban pelaku persekusi yang bisa saja berakhir dengan brutal.

Perbedaan penafsiran ajaran agama membuat friksi antara kelompok moderat dan kelompok fundamentalis yang menghasilkan dua sikap berbeda dimana kelompok moderat menjadi lebih toleran, sedangkan kelompok fundamentalis kukuh pada keyakinan bahwa ajaran agama adalah dogma yang tidak bisa dinegosiasikan dan dikompromikan.

Bagi Kelompok fundamentalis, ajaran agama harus dilaksanakan secara ‘kaffah’. Artinya, ketika agama memerintahkan atau melarang sesuatu, maka tidak ada jalan bagi umat selain wajib patuh dan taat untuk melaksanakannya, atau akan membuat Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang murka dan menghukum dengan siksaan yang kejam, baik di dunia maupun di alam akhirat kelak.

Sensitivitas keagamaan yang disertai label sebagai pembela agama ini kemudian membuat rentan terjadinya persinggungan atau gesekan dengan kehidupan orang / kelompok masyarakat lain.

Jika terdapat sesuatu yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama yang terjadi di kehidupan masyarakat, maka kelompok fundamentalis tak ragu turun tangan untuk menindak, misalnya membubarkan kegiatan ibadah umat agama lain, membubarkan konser musik, melarang acara tradisi budaya dan lain-lain.

Semua pelarangan yang dilakukan itu selalu disertai dengan dalil-dalil agama dengan tujuan menjaga kesucian dan kemurnian nilai-nilai agama sekaligus sebagai bentuk peperangan melawan setan yang ingin menguasai kehidupan manusia.

Tetapi ironisnya, niat memerangi setan justru berubah hakekatnya menjadi memerangi sesama manusia dan dalam prakteknya berubah menjadi penguasaan sekelompok manusia atas manusia lain.

Persoalan semakin bertambah pelik ketika agama diyakini sebagai panduan moralitas dan sumber kebenaran satu-satunya.

Sebagai sumber kebenaran satu-satunya maka agama dianggap tidak mungkin salah karena sumber ajaran agama berasal langsung dari Tuhan.

Logika berpikirnya: “Kalau ajaran agama salah, maka Tuhan pasti salah. Sedangkan Tuhan pasti tidak mungkin salah, maka ajaran agama pun tidak mungkin salah”.

Persepektif ini yang kemudian menjadi pembenar atas semua tindakan untuk melarang, menekan dan mengancam pihak lain.

Atas dasar keyakinan seperti ini yang membuat persekusi agama berpotensi kembali terulang dan terjadi pada waktu kapan pun di Indonesia.

Keyakinan bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada ajaran agama sendiri secara tidak langsung membentuk sudut pandang bahwa sistem kepercayaan lain selain keyakinan yang mereka percayai adalah salah dan keliru, sehingga jika ada yang menurut mereka bertentangan dari sisi agama, maka kelompok fundamentalis tak ragu bertindak dengan menjadi pejuang-pejuang agama, meski untuk itu mereka harus berkonflik dengan banyak pihak.

Banyak orang / masyarakat takut kepada pejuang-pejuang agama ini karena mereka siap mati tanpa berpikir jernih demi menegakkan aturan agamanya. Mereka meyakini akan mendapat kematian yang indah ketika berjuang di jalan agama karena direstui oleh Tuhan, dan kelak akan mendapat balasan berupa kenikmatan surgawi nan abadi.

Hanya saja, hal yang mungkin terlewatkan dari alam pikiran kelompok fundamentalis agama adalah, bahwa ada begitu banyak sistem kepercayaan dan ketuhanan yang diyakini manusia di dunia ini. Selain itu ada begitu banyak budaya yang membentuk tatanan sosial kehidupan masyarakat yang beragam pula.

Memaksakan sesuatu yang kita yakini tetapi tidak diyakini orang lain tentu merupakan sebuah bentuk absurditas yang nyata. Sedangkan di dalam satu agama yang sama pun masih terdapat berbagai aliran agama dengan perspektif dan interpretasi yang berbeda-beda.

Bagaimana agar persekusi agama di masa mendatang tidak terjadi lagi?

Persekusi agama tidak hanya berdampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat karena menumbuhkan bibit kebencian yang melahirkan rasa permusuhan antara satu pihak dengan pihak lain, tetapi dapat berakibat sangat fatal, yakni dengan runtuhnya sebuah bangsa dan hancurnya negara.

Cukup banyak contoh yang dapat dilihat hingga saat ini tentang hancurnya sebuah bangsa dan negara karena konflik keagamaan, misalnya konflik agama yang masih banyak terjadi di negara-negara kawasan Afrika. Salah satu contoh adalah Sudan, yang pada 2011 akhirnya terbelah menjadi dua negara akibat kekacauan politik dan konflik keagamaan yang terus berkepanjangan.

Untuk menghentikan persekusi agama agar benar-benar tidak terjadi lagi di masa mendatang memang rasanya mustahil karena sudah seperti kodrat bagi setiap pemeluk agama meyakini ajaran agama yang dianutnya sebagai ajaran yang paling benar.

Harapan agar persekusi agama tidak terjadi lagi akan semakin suram jika penegakan hukum dari penguasa tidak berjalan secara adil dan maksimal. Apalagi jika ditambah penguasa turut menjadikan konservatisme agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Mungkin cara yang paling ekstrim agar persekusi agama tidak lagi terjadi adalah semua orang tidak lagi beragama dan mengganti tatanan nilai-nilai kehidupannya berdasarkan logika dan akal budi.

“Menjadi ateis gitu?”

“Eeiittsss..!!! Mohon jangan ada yang marah dulu…….”

Walau pun banyak penyelidikan ilmiah tentang dampak positif dan negatif agama bagi manusia, tetapi agama tetap harus diakui sebagai bagian yang telah melekat dalam sejarah peradaban manusia yang berlangsung selama ribuan tahun.

Terlepas dari aspek logika dalam melihat kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam ajaran agama, bagaimana pun agama pasti mempunyai niliai-nilai yang baik bagi kehidupan manusia.

Jika agama diyakini dapat membawa manusia pada kesucian diri yang berarti jauh dari segala perbuatan buruk, maka persekusi agama tidak akan pernah terjadi karena persekusi itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang buruk.

Kalau kesucian agama kemudian dilanggar oleh umat beragama itu sendiri dengan melakukan perbuatan buruk, terlebih dengan mengatasnamakan agamanya, maka umat agama itu mestinya tidak boleh marah ketika ada orang yang mempertanyakan dengan akal sehat mengenai kebenaran agama yang diyakininya.

Selama ini agama dipercaya sebagai sarana perenungan kehidupan bagi manusia, tetapi mau jugakah kita merenungkan sudah berapa banyak agama terlibat dalam kehancuran kehidupan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.