Kolom Edi Sembiring: PETANI KARO HILIR INGATKAN KEMBALI UCAPAN JOKOWI

Selain telah memiliki Sertifikat Hak Milik, SK Landerform 1964 dan 1984, serta di atas lahan telah dihuni dan dikelola petani sejak tahun 1951 secara turun temurun, para petani Karo Hilir ingatan kuat akan ucapan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas tentang Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan tanggal 3 Mei 2019.

Di Kantor Presiden, pada Rapat Terbatas itu, Presiden Joko Widodo meminta agar kasus-kasus sengketa tanah yang melibatkan rakyat dengan swasta, rakyat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun rakyat dengan pemerintah harus segera diselesaikan secepat-cepatnya agar rakyat memiliki kepastian hukum, ada rasa keadilan.

Presiden Jokowi mengatakan, “Konsensi yang diberikan kepada swasta maupun kepada BUMN, kalau di tengahnya itu ada desa, ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsensi itu, ya siapapun pemilik konsensi itu, berikan! Berikan kepada masyarakat kampung, desa, kepastian hukum.”

“Saya sampaikan, kalau yang diberi konsensi sulit-sulit, cabut konsensinya. Saya sudah perintahkan ini. Cabut seluruh konsensinya. Tegas-tegas. Ini rasa keadilan dan kepastian hukum harus dinomer satukan. Sudah jelas hidup lama di situ malah kalah dengan konsensi baru yang baru saja diberikan.”

Dapat dilihat di https://youtu.be/9AgMpoR5dZI 

170 petani yang merupakan perwakilan dari Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah hapal betul ucapan Jokowi ini. Mereka bahkan hapal di mana letak titik dan komanya. Di mana kalimat dengan nada tegas diucapkan oleh Jokowi.

Dan apakah instruksi Jokowi ini diikuti oleh para Menteri terkait dan Pemerintahan Daerah? Tidak!

Sudah 1 tahun lebih berlalu dan instruksi ini tidak diikuti oleh Sofyan Djalil (Menteri ATR/BPN) dan aparatur di bawahnya. Terbukti para petani Simalingkar dan Mencirim yang sudah puluhan tahun hidup di atas tanahnya masih saja digusur.

Bahkan Kementrian Agraria dan Tata Ruang menerbitkan Sertifikat Hak Guna Usaha dan Sertifikat Hak Guna Bangunan bagi korporasi PTPN II di atas lahan petani Simalingkar dan Mencirim walau para petani sudah memiliki Serifikat Hak Milik, SK Landerform 1964 dan 1984. Dan lahan telah dihuni dan dikelola petani sejak tahun 1951 turun temurun.

Dalam rapat tesebut, diputuskan oleh Jokowi penyelesaian akan masalah sengketa tanah di Desa Senama Nenek, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Tanah ulayat seluas 2.800 hektare yang masuk dalam wilayah konsesi PTP dilepas dan diserahkan sebagai hak milik masyarakat adat Kenegerian Senama Nenek. Ini dijadikan contoh oleh Jokowi bagi penyelesaian masalah pertanahan yang ada di seluruh Indonesia.

Dari media online Tempo tanggal 3 Mei 2019 didapatkan informasi :

“Hari ini secara spesifik diputuskan yaitu pertama sengketa masyarakat desa atau masyarakat adat Senama Nenek, nama desa di Kampar dengan PTP (PT Perkebunan) selesai,” kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Jakarta, Jumat, 3 Mei 2019.

Sofyan mengatakan, tanah ulayat seluas 2.800 hektare yang masuk dalam wilayah konsesi PTP nantinya akan dilepas dan diserahkan sebagai hak milik masyarakat adat Kenegerian Senama Nenek hari ini. Ia menuturkan, sengketa tersebut sudah lama sekali terjadi. Bahkan kejadiannya sejak Sofyan masih menjabat sebagai Menteri BUMN pada 2007-2009.

“Waktu saya jadi Menteri BUMN juga sudah saya ingatkan, kita menyelesaikan waktu itu kemudian belum tuntas. Ternyata baru hari ini tuntas. Kesimpulannya, 2.800 itu memang sudah pernah dibikin kebun selama 22 tahun, kebun PTP tapi tetap digugat masyarakat. Hari ini perusahaan BUMN akan melepaskan,” ujarnya.

Bayangkan, Sofyan Djalil pun sudah mengetahui konflik agraria itu sejak lama. Dan ketika menjadi Menteri ATR/BPN pun tak bisa diselesaikan segera. Dan baru ketika Jokowi memutuskan, konflik agraria di Kampar itu berakhir.

170 petani Simalingkar dan Mencirim telah berjalan kaki sepanjang 1.812 Kilometer dari Medan ke Jakarta sejak 25 Juni 2020. Telah 62 hari mereka menjalankan aksinya hingga hari ini.

Para petani Simalingkar dan Mencirim tidak percaya lagi pada Pemkab Deli Serdang, Pemprov Sumatera Utara dan Sofyan Djalil yang telah melakukan pembiaran konflik agraria bertahun-tahun dengan korporasi PTPN II. Para petani selalu dihadapkan dengan ribuan aparat Polri-TNI.

Mereka sudah cukup lama menderita. Dan tragisnya di bulan Maret 2020, di saat pandemi Covid 19 melanda dan harus berdiam di dalam rumah, areal pertanian dan rumah mereka diratakan oleh alat-alat berat. Mereka harus keluar dari rumah dan areal pertaniannya. Mereka menginap di kandang sapi, rumah saudaranya hingga tidur di rumah ibadah.

Setelahnya, para petani ini hanya percaya bahwa Presiden Jokowi yang mampu memberikan keadilan bagi mereka. Mereka berjalan kaki ribuan kilometer meninggalkan keluarganya hanya untuk bertemu Presiden Jokowi dan meminta kepastian hukum atas tanah mereka demi masa depan anak dan cucunya.

Pak Jokowi, para petani ini hapal sekali kalimat-kalimat yang Bapak Presiden ucapkan dalam Rapat Terbatas itu. Bahkan tahu di mana letak titik komanya.

Petani Simalingkar dan Mencirim berjalan kaki 1.812 kilometer untuk ingatkan kembali ucapan pak Jokowi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.