Kolom M.U. Ginting: Pilkada, Kekuasaan dan Identitas

M.U. Ginting 2identitas“Tanamkan dalam hati tentang kebenaran dan pengetahuan dalam bekerja. Tunjukkan kinerja yang baik. PNS akan bermakna jika bisa memberikan arti seluas-luasnya untuk kesejahteraan masyarakat.” ujar Terkelin Brahmana SH.

‘Kebenaran dan pengetahuan dalam bekerja’ betul sudah waktunya untuk dikemukakan saat ini; mengikuti jaman dan perubahan.

Apa ‘kebenaran’ sekarang, atau ‘pengetahuan dalam bekerja’ sekarang dibandingkan dengan tahun-tahun lalu atau sejak kemerdekaan sampai Reformasi ini? Ciri dan landasan pemikiran manusia sekarng supaya bisa bikin perubahan dalam sistem pemerintahan yang sudah puluhan tahun begitu-begitu saja, karena hanya pergantian orangnya tetapi tetap tak terlihat oleh publik bedanya sejak permulaan Kemerdekaan dulu.

Pegawai ditambah atau dikurangi, pemimpinnya diganti, tetapi hasil kerjanya itu-itu juga dari tahun ke tahun. Hanya korupsinya terlihat ‘berkurang’ karena ada KPK. Sebelum ada KPK korupsi hanya tambah saja tiap tahun dalam semua tingkat  pemerintahan negeri ini. Peranan KPK memang luar biasa, bisa bikin koruptor dan pencoleng uang negara jadi mikir-mikir atau angkar-angkar kata orang Karo.

Ada beberapa yang bersemangat bikin perubahan walaupun dengan penentangan dan oposisi yang berat seperti Surabaya dan DKI Jakarta. Ahok menghadapi problem kultural. Dia sendiri orang China dan menghadapi Jakarta berbagai etnis/ kultur dimana modal sosial sangat rendah, tak ada dominasi kultur lokal yang jadi panutan. Karena itu, Ahok sering harus menghadapi ‘bajingan’ seperti dia katakan sendiri. Kearifan lokal tak pernah jadi bahan pembicaraan Ahok. Tetapi dia tetap berusaha.

Selain kedua kota ini (Surabaya dan Jakarta) belum terlihat usaha ke arah perubahan secara signifikan dari pemimpin Pemda lainnya, yang lebih sering terdengar ialah jadi tersangka KPK. Tetapi sudah ada yang berusaha, seperti bupati Karo ini, setidaknya dia sudah katakan seperti di atas. Sudah ada maksud bikin perbaikan dan perubahan.

Kalau di Jakarta tak pernah ngomong soal kearifan lokal, di Karo sudah semakin mantap diyakini perlunya perubahan atas dasar kearifan lokal ini.

identitas 2Kearifan lokal adalah fenomena dunia setelah runtuhnya kekuasaan dua blok (Barat dan Timur) dalam era Perang Dingin. Cultural revival atau ethnic revival seluruh dunia menonjolkan ciri utama yaitu mengedepankan identitas tiap nation atau tiap suku dalam membangun daerahnya atau nationnya. Pembangunan dan perubahan tak bisa dipisahkan dari IDENTITAS, atau dengan perkataan lain, tak bisa dipisahkan dari kearifan lokal.

Di Karo atau daerah ulayat Karo, masih sangat kuat pengaruh identitas ini untuk diberdayakan dalam sinergi kekuatan lokal berdasarkan budaya dan kultur Karo. Korupsi dan kejahatan-kejahatan lain yang banyak terjadi di daerah multi-etnis seperti Jakarta, tidak seharusnya terjadi di Karo, atau mestinya bisa dihindari dengan memberdayakan kearifan lokal.

Cobalah misalnya di satu kampung/ desa tertentu dimana orang saling kenal dan tau ‘tutur‘ sesamanya, pastilah akan ‘mikir-mikir’ dulu sebelum bikin sesuatu di luar kebiasaan lokal. Apalagi kalau ada Lembaga Adat yang kuat seperti pernah diusulkan oleh Alexander F. Meliala di Sora Sirulo. Kalau orang ‘lain’ datang ke situ yang mau bikin macam-macam, ini akan langsung diketahui orang banyak.

Di sinilah perlunya IDENTITAS yang kuat. Tanpa identitas yang kuat berarti juga tak ada lagi dominasi kultur lokal. Tanpa dominasi pikiran dan kultur lokal, kekuasaan juga pasti lemah, gampang dipengaruhi oleh kultur lain atau budaya lain atau kultur pendatang. Karena itu, di sini harus diberlakukan ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ atau seperti Prof. MacDonald bilang: “Minorities (pendatang – MUG) should be welcomed but they should not be able to remake society in their own image.”

Sangat mengagumkan bahwa seorang profesor orang Barat bisa mengerti atau sejalan pikirannya dengan pepatah leluhur Indonesia itu. Karena itu juga berlainan halnya di kota/ daerah yang dihuni multi-kulti dan tak ada lagi dominasi penduduk lokal, dimana berlaku saling tak percaya yang sangat tinggi sesama penghuninya (Prof. Putnam).

The first approach entails redefining the international order so that it better reflects geopolitical realities,” kata Moisi dalam bukunya The Clash of Emotions.

Solusi persoalan sekarang harus berdasarkan situasi emosional di tiap daerah. Artinya, way of thinkingnya, kultur dan tradisinnya. Ini semua ditegaskan dan tercermin dalam IDENTITAS yang kuat dalam tiap suku/ daerah.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.