Sirulo TV: PURA WIDYA ARIH ERSADA — Sebuah Pura Hindu Dharma di Dataran Tinggi Karo

Laporan Bastanta P. Sembiring

Setelah peristiwa Gestok 1965, banyak penganut kepercayaan lokal termasuk Pemena (kepercayaan asli Suku Karo) yang berpindah ke agama-agama yang diakui oleh negara. Saat ini, Kristen dan Islam adalah dua agama besar dan mayoritas dianut warga Suku Karo, baik yang berdomisili di Taneh Karo, maupun di perantauan.

Baik yang sudah mereka anut saat masih di kampung halamannya maupun setelah di perantauan.

Selain Kristen dan Islam, Hindu adalah kepercayaan yang pernah memiliki jumlah penganut yang cukup besar di masyarakat Suku Karo. Sehingga, Suku Karo dan Taneh Karo merupakan kelompok etnis dan wilayah yang memiliki penganut Hindu terbesar ke dua di Indonesia setelah Bali.

Hal ini terkonfirmasi dengan berdirinya Pura Hindu di beberapa derah di Taneh Karo, seperti di Pintu Besi (Kecamatan STM Hilir, Deliserdang), di Rumah Pilpil (Kecamatan Sibolangit, Deliserdang), di Tanjung Pulo (Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo) dan Bintang Meriah (Kecamatan Kuta Buluh, Kabupaten Karo), dan di bebeapa derah Karo lainnya.

Dalam perjalanan kali ini, Tim Sora Sirulo berkesempatan mengunjungi 2 pura Hindu di Dataran Tinggi Karo, yakni di Desa Tanjung Pulo (Kecamatan Tigandeket) dan Bintang Meriah (Kecamatan Kutabuluh). Waktu kunjungan kami bertepatan dengan acara Kerja Tahun Bintang Meriah (10 – 11 Juli 2020), sebuah acara tahunan (seperti Tahun Baru) yang terhubung dengan daur hidup pertanian.

Setelah sebentar mengunjungi Pura Hindu di Tanjung Pulo, kami langsung beranjak ke Pura Hindu di Bintang Meriah dan menghabiskan waktu cukup lama di sana.

Pura ini terletak di pinggir jalan tanah, jalan menuju kawasan perladangan waga Bintang Meriah. Sekitar 1 km dari kuta (perkampungan) dan jalan utama Bintang Meriah (Perbesi – Tanjung Pulo).

Bangunan utamanya terbuat dari bahan kayu, beratapkan seng dan berlantaikan semen. Dikelilingi tembok batu setinggi sekota 1,5 meter. Namun tidak terawat. Sepertinya sudah lama tidak dipergunakan lagi.

Dindingnya yang terbuat dari papan sudah kusam dan beberapa bagian mulai buruk. Demikian juga atap sengnya yang sudah banyak bocor dan berkarat. Bahkan, di halamannya sudah ditumbuhi semak belukar yang tinggi. Terulang (terbengkalai)! Kalau kata orang Karo “enggo kerangen tua”, atau dapat saya terjemahkan, “sudah seperti hutan rimba”.

Di bagian depan berdiri sebuah gapura dari bahan bata dan semen dengan gaya arsitek Hindu Bali umumnya, dengan motif Garuda Wisnu Kencana di tampak depan dan dua kepala naga di tampak belakang.

Di bagian belakang juga berdiri dua tiang sebagai gerbang dengan gaya arsitek seperti banyak Pura Hindu Bali, khususnya Bekasih.

Dari pengmatan lapangan dan pamflet, Pura ini selain sebagai tempat ibadah juga dipergunakan sebagai tempat belajar. Namun sangat disayangkan kini kondisinya terbengkalai tidak terawat.

Hal yang sama juga terjadi di Pura Hindu Tanjung Pulo. Tidak terawat. Padahal Pura ini merupakan momentum penting bagi umat Hindu Karo, dimana peresmian pura ini menandai berdirinya PHDK (Parisada Hindu Dharma Karo) yang menjadi cabang PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Sumatera Utara di tahun 1985.

Menurut Prof. Dr. Silvie Vignato dalam desertasinya mengenai Hindu Tamil dan Hindu Karo di Sumut, pada peresmian PHDK itu, tercatat jumlah anggotanya 5 ribu orang dan simpatisan 5 ribu orang sehingga Hindu Karo dinyatakan terbesar di Indonesia setelah Bali.

Munculnya Hindu Dharma Karo ini tidak terlepas kuatnya tuduhan atheist dan komunis terhadap para penganut kepercayaan tradisional seperti halnya juga terjadi di Suku Toraja di Sulawesi, Kaharingan di Kalimantan, dan Tengger di Jawa.

VIDEO: Mengunjungi Pura Hindu di Bintang Meriah (Dataran Tinggi Karo). Silahkan ditonton dengan mengklik di SINI.

“Mereka tidak memilih Islam ataupun Kristen, seperti yang terjadi di Suku Karo, karena tuduhan atheist dan komunis itu justru datang dari kaum Muslim dan Kristen,” kata Juara R. Ginting dalam artikelnya berjudul “The position of Hinduism in Karo society (North Sumatra) ” di Hinduism in Modern Indonesia (Martin Ramstedt, ed.).

Semoga pihak terkait, seperti pemerintah setempat, terkhususnya lagi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Utara dan terkhususnya lagi PHDI Kabupaten Karo segera memperhatikannya dan melakukan pembersihan dan perbaikan terhadap tempat ini.

Mejuah-juah Indonesia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.