Kolom Eko Kuntadhi: REM DARURAT, POLITISASI BENCANA? — Menari di Atas Mayat

Tetiba Anies konfrensi pers. Isinya mulai Senen akan menerapkan PSBB serius di Jakarta. Ia menarik rem darurat. Semua penumpang kejeduk. Benjol. Pagi ini IHSG anjlok parah akibat respon panik pengumuman Anies. BEI langsung menghentikan perdagangan.

Kenapa IHSG anjlok, karena orang kaget.

Selama ini tidak ada langkah nyata Pemda DKI mengerem laju penyebatan Covid-19. Yang ada cuma gimmick soal peti mati. Lalu tetiba mendadak menghentikan laju ekonomi. Tapi sebetulnya kalau mau dibilang rem mendadak, gak juga sih.

Sebelum pengumuman Anies, didahului dengan permainan isu. Tetiba berita lama naik lagi, lalu seperti ada orkestrasi yang memviralkannya. Isinya tentang 59 negara yang menolak kedatangan WNI akibat Covid-19.

Lalu, serangan diarahkan ke Jokowi. Padahal itu berita lama. Dalam masa pandemi ini semua negara juga membuat aturan ketat untuk pintu gerbangnya. Indonesia juga melarang berbagai WNA masuk ke sini. Tapi berita seperti itu penting disiapkan untuk membuka jalan lain.

Tempo gencar menuliskannya. Kita tahulah hubungan Tempo dengan Anies. Setelah gaung orkestrasi membahana, baru Anies tampil. Mengumumkan kebijakan rem darurat. Ekonomi langsung rontok. IHSG berhenti.

Karena Jakarta menguasai lebih dari 50% ekonomi nasional, kondisi ini akan membuat limbung negara. Padahal saat PSBB transisi, kebijakan Anies justru berpotensi menambah penularan Covid19.

Coba kita urutkan satu-satu. Di awal Covid19 ada pengurangan armada angkutan umum. Hasilnya, penumpukan orang di halte. Anies menyebutnya efek kejut. Efek kejut yang membuat orang numpuk dan saling menyebarkan droplet.

Lalu CFD dibuka. Orang numpuk di jalan-jalan pada hari Minggu. Saat ditest, sebagian peserta CFD positif Covid-19. Kebijakan itu otomatis melebarkan cakupan penularan. Kini CFD ditiadakan. Kemudian ganjil-genap, yang bertujuan memindahkan pengguna angkutan pribadi ke angkutan umum.

Droplet di angkutan umum menyebabkan terbentuknya kluster baru. Orang yang mau ke kantor naik angkutan umum akhirnya membawa virusnya ke kantor. Dan di Jakarta yang terbesar adalah kluster perkantoran. Mungkin itu disumbangkan oleh kebijakan ganjil genap.

Belum lagi Pemda DKI memfasilitasi deklarasi KAMI yang menghadirkan ratusan orang bertumpuk di Tugu Proklamasi. Demonstran juga tidak dilarang untuk beramai-ramai di jalan. Tentu saja semua langkah itu berpotenai meningkatkan pasien Covid-19.

Dan, hantaman berikutnya datang lagi. Jakarta PSBB. IHSG anjlok. Ekonomi kembali hancur lebur. Lalu tudingan sudah disiapkan.

“Kita ikuti Presiden Jokowi seperti saat awal pamdemi. Bekerja dari rumah. Belajar dari rumah. Ibadah dari rumah,” ujar Anies dalam konferensi persnya.

Ia mau melempar persoalan ke Pemerintah Pusat. Seperti orkestrasi 59 negara yang menolak WNI itu. Karena Jakarta adalah jantung ekonomi nasional, kerusakan Jakarta langsung berimbas secara nasional.

Semoga saja ini bukan permainan politik. Meskipun kita sudah berpemgalaman ada yang suka mempolitisasi mayat. Betapa menjijikkan orang yang berpolitik sambil menari di atas mayat penderita Covid-19.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.