RIWAYAT KONFLIK AGRARIA ANTARA PETANI KARO HILIR DAN PTPN II

Oleh SULAEMAN W. SEMBIRING (Karo Hilir, Sumut)

Pada awalnya masyarakat mulai menggarap dan mengelola tanah Kebun Bekala (Bekala Estate) pada tahun 1951 setelah Kemerdekaan RI. Pada awal terbitnya UUD Pokok Agraria No 5 1960, mulai ada aktifitas dari PTPN IX di area ex perkebunan Belanda. Pada tahun 1963 PTPN IX terus memperluas area perkebunannya.

Masyarakat yang telah menguasai lahan itu sejak 1951 pun melakukan perlawanan.

Pada tahun 1964 – 1965, PTPN IX terus memperluas atea perkebunannya meskipun mendapat perlawanan dari masyarakat yang sudah sejak tahun 1951 menguasai dan bermukin di dalamnya.

Pada tahun 1975- 1968 PTPN IX semakin leluasa mengusir masyarakat yang melawan. Mereka mengkriminalisasi para petani dengan terlibat pemberontakan G30S PKI, terutama bagi mereka yang tidak menyerahkan lahannya kepada PTPN IX.

Pada tahun 1968 – 1974, PTPN IX terus menerus memperluas lahan perkebunannya dengan alasan mereka sudah mendapat SK dari Kementrian Agraria 1965 dan SK Menteri Dalam Negeri tahun 1975.

Pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1985, pihak PTPN terus menguasai lahan tersebut dengan luas lebih kurang 1.500 Ha dengan landasan SK Menteri Dalam Negeri. Kegiatan PTPN yang terus menerus di area Kebun Bekala memicu perlawanan dari para petani penggarap. Namun, karena pada saat itu Masa Orde Baru, masyarakat hanya bisa berkirim surat kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dari hasil laporan petani, Pemerintah Daerah Sumatrera Utara mengeluarkan SK Gubernur tahun 1984 No. 592.1- 76/DS/1984. Lalu, SK Gubernur NO 540 memerintahkan gaar diterbitkan Sertifikat Hak milik untuk petani penggarap seluas lebih kurang 450 Ha bagi 470 petani penggarap.

Namun, hingga saat ini, belum ada diterbitkan sertifikat itu. SK Gubernur yang sejak tahun 1984 dan 1985 itu pun baru diketahui masyarakat petani pada tahun 2017 kemarin.

https://www.youtube.com/watch?v=iODN_fcJXjU&t=156s

Pada tahun 1990- 1994 PTPN IX disinyalir mengalami kerugian dalam pengelolaan perkebunan tersebut. Sehingga pada tahun 1996 sampai dengan tahun 1997 pihal PTPN IX mengalihkan pengelolaannya kepada PTPN II Tanjung Morawa (Deli Serdang) pada tanggal 11 Maret 1996 sampai dengan 1997.

Pada tahun 1998, terjadi Reformasi di negeri tercinta ini. Setahun kemudian (1999), masa berlakunya SK Menteri Dalam Negri dan SK Menteri Agraria sudah habis untuk pihak PTPN itu sendiri.

https://www.youtube.com/watch?v=z0eeZL18om0

Konflik pun memanas mencapai titik kulminasi pada tahun 1999 paska Reformasi antara para petani di satu pihak dan PTPN II Tanjung Merawa di pihak lain. Selanjutnya diadakan Rapat Dengar Pendapat yang difasilitasi oleh DPRD Tingkat I dan Tingkat II.

Rapat Dengar Pendapat itu dihadiri oleh:

1. BPN dan Kepala BPN Provinsi Sumatera Utara

2. Kepala BPN Deliserdang

3. Bupati Deliserdang

4.Camat setempat

5. Para kepala desa setempat

6. Perwakilan petani

Dengan hasil yang difasilitasi oleh wakil rakyat tersebut didapat sebuah kesimpulan bahwa tanah yang terletak di Desa-desa Simalingkar, Namo Bintang, dan Dorin Tonggal bukan Tanah HGU (Hak Guna Usaha) dari PTN melainkan tanah garapan masyarakat sejak tahun 1951.

Paska Rapat Dengar Pedapat tersebut anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Deliserdang agar membagikan tanah tersebut kepada para petani Simalingkar yang sejak tahun 1951 sudah menggarap dan mendiami tanah Bekala.

Namun hingga saat ini rekomendasi DPRD tingkat II komisi tahun 1999 tidak dilaksanakan oleh Bupati Deliserdang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.