Dari Rumah Makan ke Rumah Adat Karo

bastantarumah makanBASTANTA P. SEMBIRING. JAMBI. Berbicara rumah makan ataupun kedai nasi, orang Minang patut berbangga. Dimana-mana dengan mudah dapat kita temui Rumah Makan Minang/ Padang ataupun rumah makan yang menyediakan masakan khas Minang. Jika kita melintas di jalur Tol Lintas Jawa, beberapa Rest Area juga ada Rumah Makan Minang atau rumah makan yang menyediakan masakan khas Minang. Dari berita VOA dapat kita ketahui kalau RM Minang juga ada di luar negeri.

Belakangan ini, warga Suku Karo juga gencar membuka usaha Rumah Makan Karo atau rumah makan yang menyediakan masakan khas Karo.

Dari pantauan Sora Sirulo di sepanjang Jalan Lintas Sumatera (Sumut – Lampung), sudah banyak kita temukan Rumah Makan Karo ataupun rumah makan dengan menyediakan menu utama masakan khas Karo, tentunya dengan menu utamanya babi panggang, kidu-kidu, tasak telu, cipera, lomok-lomok, dll.

Beberapa rumah makan Batak juga ikut menyediakan menu-menu masakan khas Karo, seperti BPK (Babi Panggang Karo) dan lomok-lomok. Ini membuktikan masakan Karo kian dikenal dan digemari serta sesuai dengan lidah dan selera bukan hanya orang Karo, tetapi juga orang-orang dari etnis lainnya.

Namun, apakah keberadaan Rumah Makan Karo atau rumah-rumah makan yang menyediakan menu khusus masakan khas Karo berbanding lurus dengan keberadaan masyarakat dan budaya Karo?

Bisa kita katakan, Rumah Makan Minang merupakan salah satu iconnya masyarakat Minang. Bukan saja karena nama-nama dari rumah makan itu yang identik Minang, misalkan: Bundo Kanduang, Ajo Pariaman, Minang Saiyo, dll. Tetapi juga tampak dari gaya bangunan yang mengadopsi Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau). Dari Rumah Makan Minang tercermin Rumah Gadang dan tentunya kebudayaan Minang. Masyarakat Jawa juga demikian, mempopulerkan joglo melalui usaha-usaha rumah makan.

Bagaimana dengan Karo?

rumah makan 2Dari pantauan kami di Sumatera dan Jawa, Rumah Makan Karo atau yang lebih populer dengan RM BPK (Babi Panggang Karo) itu telah banyak ditemukan hingga ke daerah pelosok/ pedalaman. Namun, kecuali dari namanya yang identik Karo, kita tidak akan tahu itu Rumah Makan Karo. Akibatnya, di beberapa daerah yang ada larangan terhadap menu yang dianggap tidak halal oleh sebagian orang, kita menjadi kesulitan untuk menemukannya, karena tidak ada pamplet nama.

Tentu tidak ada salahnya kita mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Minang. Semisalkan dari rumah-rumah makan yang dimiliki oleh orang Karo, setidaknya yang memang dikhususkan untuk masakan khas Karo, bangunannya mengadopsi tarum (atap) Rumah Adat Karo atau interiornya dihiasi ornamen-ornamen bermotif khas Karo. Jadi, walaupun kemudian tidak ada pamplet nama kita dapat mengetahuinya dari gaya bangunanya dan tentunya akan sangat elok dipandang dan lagi, bersamaan dengan keberadaan rumah-rumah makan ini juga, Rumah Adat Karo akan semakin dikenal.

Pemerintah RI melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Desember 2013 lalu telah menetapkan 77 Warisan Budaya Nasional Indonesia, yang salah satunya adalah Rumah Adat Karo dalam kategori Warisan Budaya Takbenda (intangible). Dalam hal ini, walaupun bukan kebendaannya yang menjadi sorotan utama, tetapi tidak ada salahnya kita lebih lagi memperkenalkan Rumah Adat Karo itu dari kebendaannya (bentuknya).

Bukankah banyak penulis, photografer, pelukis dan arsitek nasional dan internasional yang kagum akan keunikan, kemegahan, dan keindahan dari Rumah Adat Karo itu?

Sebut saja Henri Maclaine Pont (1918), Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1925), Joachim Freiherr von Brenner, Hendrik Petrus Berlage (1923), Prof. Ernst Vollbehr (1930), J.J. Midderigh (1935), Hendrik Paulides (1923),  dll.  Mengapa kita tidak percaya diri untuk menampilkan, “ini Rumah Adat Karo” dari tempat-tempat usaha kita, khususnya yang bergerak dalam usaha rumah makan?

Diharapkan, dari gaya bangunannya saja orang sudah tau itu Rumah Makan Karo. Dari Rumah Makan Karo orang juga akan semakin mengenal Rumah Adat Karo.

Mejuah-juah ras radu siajar-ajeren kita kerina.

  

2 thoughts on “Dari Rumah Makan ke Rumah Adat Karo

  1. “Diharapkan, dari gaya bangunannya saja orang sudah tau itu Rumah Makan Karo. Dari Rumah Makan Karo orang juga akan semakin mengenal Rumah Adat Karo.”

    Ide bagus dan hidup yang dalam jangka panjang pastilah juga bisa meningkatkan bisnis rumah makan itu sendiri. Sekarang umumnya rumah makan itu dimulai dengan perumahan darurat, jarang yang bankrut berarti jalan semua. Beberapa kali saya lihat di Bekasi malah tamu-tamu dari Korea juga ada.
    Walaupun lancar bisnisnya tetapi pengusaha BPK tak sempat memikirkan meningkatkan restoran itu ke tingkat rumah adat. Biaya?

    MUG

    1. Mejuah-juah.
      RM Karo atau populer RM BPK di manapun saya lihat jalan dan laris manis. Sehingga banyak orang Karo bukan RM BPK. Belakangan BakMie Karo juga mulai populer di beberapa tempat.

      RM BPK(Karo) sudah punya pangsa pasar tersendiri dan bisa dikatakan jadi pilihan utama, apalagi di lintas. Karena:
      1. Bisa bertemu orang Karo( mungkin alasan yg ini bagi orang Karo),
      2. Masakan khas Karo itu sudah terkenal enak,
      3. Selalu baru. Berbeda dengan kebanyakan RM yg punya hidangan yg sudah berhari-hari
      4, dll.

      Tapi ada beberapa pengusaha RM BPK yang saya temui, selain soal beaya, mereka beralaskan kalau nampak kali Karonya pelanggan berkurang(????).
      Halooo!!!! BPK apa kurang jelas KARO?
      Lagian sudah bunya pangsa pasar tertentu, kok takut kalah saing dengan RM lain.
      Inilah alasan yg juga pernah saya temui di lapangan.
      Mbera-bera ku lebe ola nari bage.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.