SADAR BUDAYA (Kaitannya dengan Karo Bukan Batak) [Bagian 2]

Para artis Sanggar Seni Sirulo saat mengaso di Penatapen Doulu dalam perjalanan malam usai nampil di Desa Limang
Para artis Sanggar Seni Sirulo saat mengaso di Penatapen Doulu dalam perjalanan malam usai nampil di Desa Limang

web4.jpgOleh: Ita Apulina Tarigan (Surabaya)

Jika mau jujur dan terbuka, siapakah yang peduli dan sadar dengan budaya Karo? Pasti jawabnya orang Karo sendiri. Beberapa contoh di waktu silam menunjukkan reaksi orang Karo atas ketidaknyamanan dan ketidakadilan budaya. Seperti misalnya Pak Jamaluddin Tarigan merasa perlu melakukan konferensi pers untuk meluruskan hal-hal yang dianggapnya mendegradasi ke-Karo-an itu.

Supaya lebih nyata, kita bisa ambil contoh konkrit di lapangan. Benteng Putri Hijau misalnya. Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis bahwa Benteng Putri Hijau sedang diperjuangkan supaya diakui oleh UNESCO supaya di masa yang akan datang situs ini tetap ada dan penelitian bisa terus berlanjut untuk mendapatkan pengetahuan lebih banyak tentang Kerajaan Haru. (Ketika saya menuliskan itu, ada yang menyepelekan ini seolah-olah sekedar keren-kerenan).

Berbagai pihak sudah terlibat dalam memperjuangkan situs ini, sampai-sampai melibatkan KOMNAS HAM dengan alasan situs ini masih dipergunakan oleh penganut agama tradisional Karo. Itulah salah satu pembelaan yang paling hakiki. Tetapi apa lacur, sekarang Benteng dalam kondisi hancur karena sudah sempat terbangun perumahan, walaupun masih tersisa. Beberapa teman putus harapan, bahwa situs ini tidak akan pernah menjadi salah satu warisan budaya. Sampai hari ini, situs ini masih terbengkalai.

Ada banyak situs di Karo yang mestinya menjadi perhatian kita semua. Jikapun tidak sampai ke level UNESCO, paling tidak pemerintah memberikan perhatian khusus. Bagaimana cara menarik perhatian pemerintah, tentu saja, kita yang merasa punya keterikatan dengan situs itu, yang merasa itu adalah bagian dari sejarah kita (walau belum terang benderang) harus menunjukkan betapa pentingnya itu untuk kita.

Saya malah berpikir, apa orang Karo takut berhadapan dengan sejarahnya sendiri sehingga merasa perlu membuat identitas seolah-olah berlindung di ketiak suku yang katakanlah jumlahnya banyak dan sudah terkenal? Apa orang Karo yakin, dengan bersembunyi di ketiak suku tersebut dan menjadi bagian-bagiannya, warisan nini bulang ras nini tudung kita itu lalu menjadi penting dan menjadi perhatian mereka? Jika tidak ada ikatan darah, tidak ada ikatan emosional, yakinlah tentu mereka lebih mementingkan yang terikat pada mereka. Merekapun punya nini bulang.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan supaya kita tidak tersesat pada logika-logika pendek, seolah matematis malah kelihatan menjadi tolol. Tidak ada kata berhenti untuk belajar dan mengenal, dalam 100 tahun ke depanpun yang kita bicarakan soal identitas masih akan tetap aktual. Karenanya, kepada yang peduli marilah dari sekarang menulis dan menulis, jangan berhenti. Itulah utang kita pada generasi yang akan datang (Tammat).

Di bawah ini redaksi menerakan liputan DAAI TV tentang Sanggar Seni Sirulo.

One thought on “SADAR BUDAYA (Kaitannya dengan Karo Bukan Batak) [Bagian 2]

  1. Mejuah juah,

    Ibu Ita Apulina Tariga,

    Kalo boleh disebutkan, dipaparkan, fakta/data, yg bisa menguatkan, kita bisa ambil kesimpulan bahwa Karo Bukan Batak, misal :
    1. Penemuan Tengkorak manusia di Gayo berumur 7400 SM, Gen karo
    2. Karo keturuna India
    3. Karo menyebut orang tapanuli sebagai kalak Teba
    4. Agama nenek moyang kita berbeda
    5. Perang Sunggal dipimpin Datuk Surbakti, adalah marga karo
    6. dst

    Coba dilist semua, mulai dari yg paling kuat sampai yg paling lemah. Syukur syukur bisa kam buat sebagai sebuah paper.

    Bujur
    benz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.