Kolom Eko Kuntadhi: SAYA DIBESARKAN OLEH KOMIK WAYANG

Saya ingat dulu, masih SD. Hobi membaca komik RA Kosasih. Kisah soal dunia pewayangan. Dari komik itu saya melanjutkan ke buku-buku yang lebih filosofis dan serius. Ada dua kisah besar yang saya pahami yaitu epos Mahabarata dan Rama-Sita.

Mahabarata berkisah soal konflik kekuarga dan kekuasaan.

Antara Pandawa dan Kurawa. Tentang perebutan kekuasaan, peperangan besar, pertalian bathin, keserakahan, egoisme dan intrik. Orang-orang dengan segala dimensi dan kepentingannya.

Saya menyukai tokoh Bisma dan Yudistira. Keduanya sebetulnya ada dalam ideologi yang sama. Tapi Bisma adalah seorang sakti yang cinta Tanah Air.

Ketika Tanah Airnya terpaksa berhadapan dengan kelompok Pandawa, Bisma terpaksa ikut bertarung. Meskipun secara ideologi ia lebih dekat ke Pandawa ketimbang Kurawa. Tapi bagi seorang Ksatriya, membela Tanah Air adalah jalan ninjanya.

Right or wrong is my country.

Kesaktian Bisma, lelaki tua itu, memang luar biasa. Dalam kancah peperangan dia sulit dikalahkan.

Akhirnya panah Srikandi berhasil melumpuhkannya. Srikandi adalah istri Arjuna, anggota Pandawa. Di tengah Padang Kurusetra itu, tubuh lelaki tua dipenuhi anak panah.

Kematian Bisma juga membuat keluarga Pandawa sedih. Meski mereka berdiri saling berhadapan di arena pertempuran besar dan biadab itu, tapi penghormatan pada sikap Ksatria tidak lekang.

Malam ketika perang terhenti, kelima anak-anak Pandu menghampiri jasad Bisma. Mereka menangis. Menangisi musuhnya. Menangisi perang yang telah menyayat-nyayat kemanusiaan.

Ada banyak kisah tragis dalam penggalan-penggalan cerita pewayangan. Dan agak sulit kita mengatakan ini salah, dan yang ini benar.

Sebab setiap manusia pada dasarnya punya motif sendiri-sendiri. Bahkan dalam diri seorang pahlawan, tetap ada sikap bangsatnya sendiri. Demikian juga dalam diri seorang bangsat, tetap ada nilai luhurnya juga.

Sesunguhnya setiap manusia adalah kumpulan sikap abu-abu.

Perang, dengan kata lain, adalah perwujudan kebangsatan sikap manusia. Dia adalah puncak dendam dan ikhtiar yang tak sedap.

Di ujung kisah. Tidak ada yang menang Perang. Bahkan sang pemenang pun, pada akhirnya harus menangisi rusaknya kemanusiaan dalam dirinya.

Banyak pelajaran kehidupan yang saya dapat dari kisah-kisah itu. Dari lembaran komik. Dari cerita dalang ketika memainkan boneka wayangnya di tengah terpaan lampu kenthir.

Banyak nasihat tanpa penasihat. Banyak anjuran kebaikan tanpa ceramah. Banyak hikmah kehidupan tanpa keluar dari mulut pendakwah.

Kata Imam Ali, hikmah adalah mutiara yang lepas dari agamamu. Pungutlah hikmah, dimanapun dia berada.

“Kalau ceramahnya Khalid Basalamah, ada hikmahnya gak mas?” tanya Abu Kumkum. “Kok, saya selalu gagal mendapatkannya.”

Lagian, orang kayak gitu didengerin…

“Mong-ngomong selamat hari Valentine ya, mas,” ujar Kumkum. Dia mengirim foto temannya dari Kampung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.