Kolom Boen Syafi’i: SEMUA BISA DISELESAIKAN DENGAN HATI

Saya dulu mantan buruh, jadi sedikit banyak tau seluk beluk karakter pekerjanya. Diakui ataupun tidak, orientasi rata-rata buruh di Indonesia itu inginnya adalah kerja ringan tapi bayaran tinggi. Ya memang tidak semuanya begitu. Namun, mental seperti ini yang ada di kebanyakan mereka.

Belum lagi kalau tidak dikasih waktu untuk ibadah, wih pasti ngamuknya sundul langitlah mereka.

Yang katanya manajernya kafirlah. Halal darahnya lah ataupun sumpah serapah lainnya hingga terkadang menjurus kepada aksi brutal penghadangan si manajer di saat pulang. Dengan karakter seperti ini, sebetulnya market buruh di Indonesia sudah sangat jauh tertinggal, jika dibandingkan dengan karakter buruh yang ada di Vietnam. Lebih-lebih Tiongkok.

Di sana, kerja itu ya kerja, tanpa ada kepentingan yang lainnya. Disiplin, tak mudah mengeluh, loyal dan berdedikasi tinggi buat perusahaan adalah yang utama. Prinsipnya, jika perusahaan berkembang pesat maka otomatis pula kesejahteraan yang mereka dapat akan ikut naik.

Itulah yang diyakini mereka selama ini. Entah sampai kapan hal ini terjadi. Mungkin ini bisa hilang jika banyak pabrik semakin menyusut jumlahnya di Indonesia. Tapi tidak adil jika hanya mengorek sisi negatif dari buruh, tanpa menunjukkan sisi lain dari banyak perusahaan.

Diakui ataupun tidak, UMK itu hanya besar di media saja. Faktanya, banyak perusahaan yang ternyata tidak mematuhi aturan. Apalagi jika UMK nya di atas p. 4 juta. Penetapan karyawan pun setali tiga uang.

Di dalam undang-undang perburuhan disebutkan bahwa karyawan yang sudah dikontrak kerja dengan durasi lebih dari 2 tahun, maka perusahaan wajib memberi status karyawan tetap kepada si pekerja. Dengan catatan, si pekerja dipakai kembali jasanya. Tapi apa yang terjadi?

Banyak perusahaan yang memberikan status kontrak terhadap si karyawan dengan durasi puluhan tahun lamanya. Ada? Banyak sekali. Itu belum pemberian jaminan kesehatan (BPJS) serta jaminan hari tua (JHT) di BPJS ketenagakerjaan yang tidak pernah mereka terima. Buruh melawan?

Ah, apa yang tidak bisa di negeri ini jika Tuhan uang sudah mengeluarkan sabdanya? Jadi sebenarnya aturan-aturan yang selama ini mengikat terhadap buruh dan perusahaan hanyalah formalitas belaka. Hanya tulisan dan tak lebih dari pajangan.

Maka pertinyiinyi?

Urgensi dari demo kemarin itu sendiri juga apa? Toh, aturan yang menguntungkan pun tidak pernah mereka rasakan sebelum Omnibus Law itu ditetapkan. Buruh dan pemilik perusahaan di negeri ini sebenarnya tidak butuh aturan-aturan baku tapi nihil pelaksanaannya.

Karena yang dibutuhkan kedua belah pihak adalah rasa saling mengerti, memahami, dan rasa memiliki agar tercipta suasana kerja nyaman dan saling menguntungkan.

Bagaimanapun juga, perusahaan adalah ladang rezeki bagi anda. Rawatlah baik-baik dan jangan pernah merusaknya. Jika rusak, maka yang rugi bukan cuma perusahaan. Orangtua, anak istri dan semua saja yang berkaitan dengan gaji yang anda terima.

Semua bisa diselesaikan dengan hati, dan tidak harus dengan kekerasan belaka. Hidup Buruh, Hidup Pengusaha..

“Wah, setelah keluar jadi buruh, tentu sampean sekarang sudah sukses dong, Cak?”

Sukses apane? Wong sekeluar jadi buruh malah jadi babu di warkope Yu Waginem og, Di Paidi?

“Weladalah???”

Salam Jemblem..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.