SIKAP “KITA” MENANGGAPI SATWA LIAR

Oleh SALMEN KEMBAREN (Medan)

Beberapa tahun terakhir kita sering disuguhi berita konflik manusia dengan satwa liar. Pada dasarnya hal ini dinamakan konflik karena terjadinya persinggungan kepentingan baik di pihak satwa liar maupun manusia. Setiap konflik tentunya membawa beragam efek dan reaksi di kedua belah pihak ini.

Ada beberapa konflik manusia dan satwa liar yang paling menyita perhatian.

Kementerian LHK sendiri mengklasifikasikan jenis konflik MSL dari tingkat risiko rendah, sedang dan tinggi. Di Langkat misanya, harimau Sumatera sering memasuki pemukiman, menyerang ternak warga bahkan pernah memakan korban jiwa manusia. Demikian juga di Aceh Selatan juga sempat menyerang manusia.

Di Kabupaten Karo pernah tercatat mendekati pemukiman di sekitar Tahura/ Jaranguda. Dan di awal tahun 2023 kemarin, perjumpaan langsung warga dengan harimau Sumatera di Pasir Tengah (Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi).

Kita belum persis tahu penyebab konflik yang semakin meningkat intensitasnya beberapa tahun terakhir. Secara teori, banyak penyebab terjadinya konflik manusia dengan satwa liar.

Pertama, adanya gangguan fisik pada satwa liar tersebut baik sakit, kelemahan fisik atau ketidakmampuan bertahan hidup secara alami di alam liar. Satwa liar demikian biasanya mencari mangsa yang mudah didapat seperti ternak di sekitar pemukiman atau dekat hutan.

Ke dua, gangguan habitat asli. Terganggunya habitat alami satwa liar tentunya membuat pakan berkurang dan memaksanya harus bergerak ke sumber pakan baru sekitarnya. Perambahan, alih fungsi lahan atau hutan, dan perburuan satwa pakan termasuk bagian dari hal ini. Pergerakan satwa liar demikian sering menyebabkan konflik dengan manusia.

Ke tiga, pergerakan musiman. Musim kawin misalnya, sering mengakibatkan satwa harus bergerak jauh menemukan pasangan mereka. Tidak jarang, sebelum bertemu pasangan, mereka bertemu dengan manusia dalam perjalanannya.

Demikian juga musim buah, sering satwa bergerak menuju area perkebunan atau perladangan warga. Beberapa satwa ini merupakan satwa pakan juga sehingga mengakibatkan seluruh predator juga ikut bergerak dan hal ini tentunya mengakibatkan konflik.

Ke empat, over populasi. Kawasan hutan tentunya memiliki batas daya dukung. Tatkala populasi satwa melebihi kapasitas jumlah pakan maka satwa liar akan bersaing dan tentunya sebagian harus bergerak mencari lokasi baru.

Ragam reaksi yang diberikan penduduk sekitar juga berkaitan dengan tingkat intensitas konflik dan tingkat risiko. Seperti dua kejadian konflik terakhir yakni orangutan di Kecamatan Mardingding (Kabupaten Karo) (Karo Berneh) dan harimau Sumatera di Pasir Tengah (Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi) (Karo Baluiren). Terlihat reaksi “berlebihan” yang diberikan warga menunjukkan bahwa intensitas konflik di sana sangat jarang atau mungkin sudah tidak ada selama belasan atau puluhan tahun.

Kita seolah terputus hubungan dengan satwa liar. Putusnya hubungan ini juga ternyata berkaitan dengan putusnya pengetahuan dan perhatian terhadap kehidupan satwa liar sendiri. Pengetahuan dan perhatian ini termasuk dalam hal mitigasi dan penanganan konflik.

Orangutan misalnya, bukanlah satwa liar yang suka menyerang manusia dalam kondisi normal. Artinya, kita tidak perlu memberi reaksi berlebihan ketika bertemu orangutan, cukup tenang dan menjauh sudah. Atau jika memang harus mengusirnya atau menggiring ke arah hutan cukup dengan membuat suara keras seperti mercon atau dentuman meriam paralon.

Hampir sama dengan satwa liar lainnya pada umumnya, mereka sensitif terhadap suara keras atau riuh. Karena itu, sering disarankan pada area potensi konflik harimau Sumatera agar tidak sendirian dalam bekerja atau beraktivitas. Mungkin saja sistem aron yang sudah dikenal Suku Karo dari zaman dahulu membuat mereka terhindar dari konflik dengan satwa liar.

Lain halnya dengan warga masyarakat Karo di Langkat Hulu. Mereka justru terbiasa dengan konflik satwa liar. Bahkan satwa liar dijadikan potensi wisata termasuk ketika musim konflik seperti di Tangkahen, Bahorok dan Cinta Raja.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan ketika terjadi konflik satwa liar?

Pertama, untuk areal konflik harimau Sumatera diusahakan agar bekerja ke kebun tidak sendirian. Menghindari berada cukup lama pada area semak belukar atau tempat melimpah pakan (mamalia). Selain itu, jika melihat tanda keberadaan satwa liar dapat melaporkan ke pihak berwajib seperti pegawai kehutanan, kepolisian atau pemerintahan desa.

Apabila sudah terjadi konflik, dapat melakukan patroli, misalnya membuat suara riuh dari meriam paralon atau mercon sebagai aksi pengusiran. Selain itu, hal penting lainnya adalah menghindari menempatkan ternak atau kandang dekat atau berbatasan dengan hutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.