SiruloTV: POTRET PETANI KARO — Lewat Rasa Seni Frans Uluna Ginting

Oleh ITA APULINA TARIGAN (Jakarta)

Di Minggu pagi yang mendung itu, Bang Juara R. Ginting memperkenalkan dan merekomendasikan kepada saya sebuah lagu Karo baru untuk didengarkan. Dia bilang, kamu akan menemukan sesuatu yang baru di lagu ini. Dia benar. Pertama sekali yang saya notice setelah mendengarkan beberapa kali, lagu Nande Butet jauh dari romansa asmara yang selama ini mendominasi lagu-lagu Karo.

Tidak ada selingkuh, cinta segitiga, jodoh dari orangtua atau pertengkaran sepasang kekasih.

Ini bagi saya cukup mengejutkan, karena tema tentang kehidupan sehari-hari jarang sekali terangkat di ranah lagu Karo. Syairnya tentang kehidupan petani yang mungkin dilihat oleh Frans di kampungnya dan kampung-kampung lain di Karo.

Bisa jadi pengalaman yang terjadi dekat dengan dirinya.

10 tahun berusaha menanam berbagai jenis tanaman; dari jeruk yang bergengsi hingga sayur mayur yang modal perawatannya bisa dibilang selangit. 10 tahun mencoba peruntungan tetapi hasilnya jauh dari yang diharapkan. Kehidupan masih sama, si petani dan istrinya masih memeras keringat.

Terbersit ide beralih profesi, siapa tahu rejeki ada di sana. Situasi seperti ini ada di semua bidang, bisa terjadi pada setiap kita. Istrinya dengan simple memberikan jalan keluar, “Ayo kita mengutang lagi!” Lingkaran setan semakin menjerat. Dampak ekonomi pas-pasan merembet dari ladang ke biaya dapur rumah dan kebutuhan lainnya.

Istri yang tidak terawat, tahunya hanya banting tulang bekerja. Bagaimana mau membeli skin care (agar “bulung galuh” tidak semakin lebar) atau rebonding rambut keriting yang kering jika sebentar lagi uang kontrak rumah akan jatuh tempo?

Si petani tidak menyumpahi istrinya yang tidak glowing, tetapi menyesali kekurangannya tidak bisa memberikan uang lebih untuk istrinya. Uang kontrakan jatuh tempo dan pemilik rumah sudah datang menagih, uang tidak ada.

Mereka bergegas mengangkut barang seadanya dan pindah sementara ke rumah mertua. “Pindah ke mana kita, Pak?” tanya anaknya yang belum mengerti apa-apa. Ujung-ujungnya kembali ke rumah orangtua. Pindah ke rumah kakek, kata bapaknya datar.

Mungkin si petani berharap, ayahku mungkin marah atau benci kepada ketidakberuntunganku, tetapi dia tidak akan bisa marah kepada cucunya. Harapan yang indah sekaligus miris. Akhirnya, seperti normalnya manusia di keluarga petani ini kembali pasrah kepada nasib, memulangkan masa depan kepada rencana Yang Maha Kuasa.

Apalagi yang bisa dilakukan ketika semua usaha sudah dijalankan tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. “Megegeh pe encari teridah malas adi la lit rejeki.” Tercubit sudut hati mendengar ungkapan ini, barangkali bapak pemilik kontrakan menuduh si keluarga petani malas sehingga tidak bisa membayar tepat waktu.

Malas bagaimana? Pagi hingga petang selama 10 tahun bekerja di ladang. Nasib dan rejeki entah di mana. Hilang tak berbekas seperti keringat kering tertiup angin dan waktu yang berlalu begitu saja.

Kemiskinan

Pikiran saya melayang ke halaman website Badan Pusat Statistik tentang definisi kemiskinan. Ada istilah Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Yang mereka dapatkan tidak cukup untuk melewati garis minimal agar lepas dari istilah kemiskinan di atas. Bukan tidak bekerja, bukan tidak berusaha, hasilnya tidak sepadan.

Saya tidak tahu apakah Frans Uluna menyadari bahwa lagu dan video yang dia tampilkan sangat, sangat dalam memotret kondisi petani Karo? Frans memotret kondisi ini tidak hanya sebagai seorang “fotografer” situasi sosial, juga sebagai seorang yang terlibat dalam situasi itu.

Dia ada di tengah-tengah mereka yang dia kisahkan, bahkan bisa jadi terlibat dalam situasi mereka. Bisa secara pribadi, bisa juga lingkungan sekitarnya mengalami kejadian yang dia potret.

Pendengar atau penonton bisa saja bilang, kemungkinan Frans terlalu meromantisasi penderitaan mereka, dia bias (melenceng) karena kenal dengan subjek syairnya, tetapi beberapa kisah saya rasa cukup memvalidasi “gambaran” di lagu ini.

Teringat kepada beberapa teman yang pulang kampung mencoba mengadu peruntungan dengan bertani setelah lelah berjuang di kota, serupa mengalami hal yang sama. Pupuk mahal, harga pertanian tidak menentu.

Yang paling menyakitkan dari semua adalah konflik antara “pendatang kota” dengan “orang desa”, meskipun si pendatang kota ini adalah keluarga sendiri. Orang kota datang dengan pemikiran kritis, ingin tahu proses setiap langkah dalam jenis-jenis pertanian yang ingin dikerjakan.

Apa yang terjadi?

Orang desa menganggap si orang kota terlalu ribet, rumit dan kompleks. Untuk apa tahu resep pupuk yang sudah diberikan toko pupuk? Toh, selama ini terbukti berhasil. Untuk apa tanya kandungan-kandungan obat, itu sudah umum dipakai.

Wajar, beli pupuk dan obat butuh uang. Tidak punya uang, ya mengutang. Kepasrahan tadi terkristal dalam ucapan istri Sang Petani: “Gelah sitambahi ka utangta.” Apatis, statis. Sudah umum.

Bolehkah kita berkata bahwa kondisi ini tidak adil bagi Masyarakat Karo? Apakah kebijakan pembangunan selama ini belum menjangkau seluruh masyarakat? Atau barangkali, masyarakat tidak bisa mengakses sumber-sumber kemudahan untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka?

Sumber kemudahan yang saya maksud adalah: Ketersediaan pupuk dan terjangkau harganya. Informasi-informasi pupuk, manual penggunaan, kebaikan, kerugian, keselamatan, dlsb.

Oh, jangan bilang Kalak Karo mesera man katanken atau Kalak Karo jago akapna bana! Ada banyak jalan untuk menyampaikan informasi agar bisa didengar dan digunakan masyarakat. Jika cara yang sama yang terbukti gagal terus digunakan, lalu hasil apa yang pemerintah harapkan?

Cara yang sama dan berhasil, begitukah? Bangunlah, bukan satu jalan ke Roma.

De Aku Kuja Mulihku, Arih?

Tetap masih ada asa, manjar-manjar usur-usur, begitu kata Frans. “Sipajekken pagi rumahta gelah teh anakta e ku ja cibalna.” Bagian ini menggetarkan dan membuat saya berkaca. Barangkali, si petani berpikir, siapa tahu di masa depan anakku tidak bisa juga lepas dari kesusahan ini, masih bisa pulang untuk menarik nafas satu dua hela, ada tempat berteduh, yaitu pulang ke rumah orangtuanya.

Pada akhirnya, saya berharap lagu ini bisa mengetuk mereka yang punya kemampuan memperbaiki keadaan agar melakukan sesuatu yang bisa menyentuh hal mendasar dalam kehidupan petani kita yang sudah jungkir balik bertahan hidup. Mudah-mudahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.