Kolom Asaaro Lahagu: SOAL MAYAT KORBAN DI DANAU TOBA

Titik perselisihan antara Menko Luhut Panjaitan dengan aktivis Ratna Sarumpaet soal mayat di Danau Toba adalah soal pengangkatan mayat korban. Ratna Sarumpaet ingin menjadi pahlawan kesiangan dengan memperjuangkan pengangkatan korban dari dasar danau.

Pemerintah yang diwakili oleh Menko Luhut dan kebetulan berasal dari Danau Toba, lebih memilih opsi pembiaran mayat dan bangkai kapal di dasar danau. Pemerintah selanjutnya akan membuat tugu peringatan disertai tabur bunga untuk melepas kepergian mereka yang tengggelam di danau.

Mengapa Ratna Sarumpaet selanjutnya disingkat RS datang jauh-jauh dari Jakarta dan menyusup dalam kerumunan keluarga korban di tenda saat Luhut sedang berbicara? Ini pertanyaan menarik. Ada dua alasan.




Alasan pertama, RS secara tulus membela keluarga korban dan ingin pemerintah melakukan segala upaya untuk mengangkat mayat korban. Dengan alasan kemanusiaan, RS berjuang di pihak korban dan menekan pemerintah untuk bertanggungjawab. Namun, dengan catatan, bahwa RS dengan ilmu yang dimilikinya sangat yakin, mayat korban bisa diangkat dari dasar danau.

Terkait dengan alasan pertama ini, pola pikir RS sederhana. Posisi kapal dan mayat korban telah diketahui dan bahkan ada foto-fotonya. Sekarang tinggal usaha pemerintah mengangkatnya. RS tidak paham mengapa pemerintah menghentikan usaha pencaharian mayat korban. Bukankah posisi korban sudah ditemukan? Inilah poin yang diteriakin RS kepada Luhut.

Alasan ke dua, RS secara licik memanfaatkan keluarga korban untuk mengadu-domba mereka dengan pemerintah. “Jangan mau dibayar pemerintah,” teriak RS. Artinya RS memprovokasi keluarga korban agar mereka terus menekan dan kalau perlu demo kepada pemerintah agar berusaha dengan segala cara mengangkat mayat korban.

Sementara RS mungkin sudah paham bahwa pengangkatan mayat korban dengan kedalaman 450 meter, sangat sulit dilakukan. Belum lagi RS sudah memperoleh informasi bahwa Indonesia tidak memiliki alat yang memadai untuk melakukan pengangkatan. Pun RS paham bahwa tempat kejadian perkara (TKP) ada di danau dan bukan di laut. Jika di laut, maka pengerahan alat pengangkat mudah dilakukan. Tetapi ini di danau, di atas ketinggian permukaan laut.

Nah di sini RS dengan licik bermain. Ia terus memprovokasi keluarga korban agar terus merengek kepada pemerintah agar melakukan segala cara mengangkat korban dari dasar danau. Artinya apa? Ketika keluarga korban terus merengek dan kalau bisa mengamuk, maka pemerintah akan tertekan.

Citra pemerintahan Jokowi pun tercoreng dan lukanya dibumbui garam oleh RS. Pemerintah setengah-setengah memperhatikan tragedi Danau Toba. Pemerintah tidak becus. Pemerintah tidak mampu mengatasi bencana. Pemerintah hanya mampu menyogok rakyatnya dengan tugu dan sejumlah uang. Inilah yang diharapkan RS. Artinya lewat tragedi Danau Toba, RS mempunyai tiga kepentingan yang tercapai sekaligus.

Pertama, ia memadamkan pencapaian pembangunan infrastruktur luar biasa yang dilakukan pemerintah di sekitar Danau Toba. Ke dua, RS menjatuhkan wibawa pemerintah di Sumatera Utara, dan ke tiga, RS ingin namanya dipuja sebagai pembela keluarga korban atas dasar kemanusiaan.




Pertanyaannya adalah bisakah bangkai kapal dan mayat korban diangkat dari dasar danau? Apakah tindakan yang dilakukan oleh RS sudah benar?

Terkait korban Danau Toba, penanganan sudah maksimal. Dan itu sudah ditegaskan oleh Luhut sebagai wakil yang sangat dipercaya pemerintahan Jokowi. Artinya, ucapan Luhut yang sekaligus putera daerah asal Danau Toba bahwa penanganan sudah maksimal, itu harus dimaknai serius.




Pemerintah sudah melakukan segala daya upaya sebagai manusia dengan segala alat-alat yang dimiliki, dan dengan jujur mangakui bahwa pengangkatan bangkai kapal dan mayat korban sangat sulit dilakukan.

Dalam siaran persnya, Luhut memaparkan bahwa bersama pihak yang terkait, antara lain Basarnas dan Kemenhub, Kepala BPPT, Kemenko Maritim telah diskusi secara teknis soal pengangkatan mayat. Hasilnya mayat tidak mungkin diangkat.

“Masalah pengangkatan itu sudah dijelaskan oleh Pak Unggul P. (Kepala BPPT). Saya sudah diskusi dari segi teknis memang tidak mungkin dilakukan pengangkatan karena kalau itu diangkat per 10 meter, tekanan itu 1 bar, jadi kalau ada 450 meter itu sama dengan 45 bar dan itu bisa meledak,” ujar Luhut.

“Dan dari Pak Ridwan (Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Maritim), melihat dari segi chemical, kalau itu sampai nanti masuk sampai atas, dapat menimbulkan kecarunan H2SO. Jadi kita sudah hitung semua,” jelas Luhut.

Tentu saja selain masalah mayat yang diangkat yang bisa meledak dan menimbulkan keracunan, juga alat yang dimiliki Indonesia untuk melakukan pengangkatan di kedalaman itu belum ada. Kalaupun bisa meminta bantuan dari negara lain, maka itu bisa dilakukan jika TKP-nya di laut. Namun, karena di danau, pengerahan alat berat tentu sangat sulit dilakukan.

Tragedi Danau Toba telah memantik evaluasi kritik diri dari pemerintah. Pembangunan infrastruktur di sekitar Danau Toba tak dibayangkan konsekuensinya. Akibat pembangunan lapangan terbang Silangit, jalan yang diperbaiki dan Samosir yang jalan lingkarnya diperbaiki, tiba-tiba terjadi ledakan manusia yang datang ke Danau Toba.

Menurut pengakuan Bupati Simalungun, kedatangan pengunjung ke Danau Toba dan Pulau Samosir meningkat sampai 80%. Itu pencapaian yang luar biasa. Namun, pembangunan jalan dan lapangan terbang itu tidak dibarengi dengan pengelolaan 6 pelabuhan yang memadai.

Luhut pun berjanji ke 6 pelabuhan akan diperbaiki dalam waktu 6 bulan. Sementara seluruh kapal-kapal yang ada di Danau Toba akan diaudit dan harus sesuai dengan standar Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tentang perhubungan darat.

Lalu, apakah tindakan RS yang nimbrung bak pahlawan kesiangan sudah benar? Sama sekali tidak. Memprovokasi masyarakat untuk mempersulit pemerintah adalah tindakan reseh. Semua paham soal kesedihan keluarga korban. Ada keluarga yang hilang 12 orang. Ini sangat menyedihkan.

Tentu saja keluarga korban hanya ingin melihat pemerintah berusaha maksimal. Mereka ingin diperhatikan. Dan itu sudah dilakukan oleh pemerintah. Keluarga korban sangat paham hal itu. Maka, ketika RS datang memprovokasi dengan alasan kemanusiaan, justru RS diusir oleh keluarga korban.

RS jelas gagal paham soal posisinya. Tadinya RS paham bahwa ia bisa menjadi pahlawan kesiangan terkait tragedi Danau Toba dengan berjuang di pihak keluarga korban. Pun RS paham akan mendapat kesempatan emas untuk menyerang habis pemerintah. Itu yang dipahami oleh RS. Namun, akibat gagal pahamnya ini, RS justru mendapat umpatan, sindirian, cibiran dan usiran.

Jadi, terkait tragedi Danau Toba, Ratna Sarumpaet gagal paham, Luhut benar.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.