Kolom Eko Kuntadhi: BEGITU SUCIKAH SEORANG DIDIET?

Dalam Pilpres ini kita bisa bicarakan semua hal. Bisa membicarakan kekurangan dan kelebihan orang dalam pusaran politik maupun keluarganya. Sebab semua tahu, keberadaan keluarga seorang Presiden sedikit banyak mempengaruhi langkah Presiden. Itu sudah menjadi hukum alam.

Makanya negara menyiapkan berbagai fasilitas untuk keluarga Presiden. Dibiayai dari duit rakyat.

Tapi diantara semua keluarga Capres, hanya satu yang tabu untuk dibicarakan : Didiet Hediprasetyo! Jika saya mengangkat soal Didiet, banyak orang akan mengingatkan. Didiet gak ikut-ikutan politik. Janganlah dibawa-bawa. Tampaknya, sadar atau tidak Didiet telah diperlakukan seperti porselen yang sama sekali gak boleh disentuh.

Padahal Didiet adalah anak tunggal seorang Capres. Ia putra Prabowo Subianto. Jika bapaknya terpilih jadi Presiden, apapun alasannya, Didiet tetaplah mendapat perlakuan sebagai keluarga istana. Seperangkat Paspampres disiapkan untuknya. Gaji Paspamres dibayar dari pajak kita.

Ke dua, sebagai anak, Didiet pasti punya pengaruh kepada bapaknya. Kita tahu Prabowo bukan orang yang terbebas dari pengaruh keluarga dalam berbagai kiprah politiknya. Keluarga dekatnya banyak mengisi pos strategis di Partai Gerindra.

Ada Hasyim Joyohadikusumo (adik), ada Aryo Joyohadisusumo (kemenakan), ada Rahayu Saraswati (kemenakan), atau Thomas Djiwandono (kemenakan). Semuanya aktif di Partai Gerindra. Pada Pilpres 2014, dua kakak Prabowo, Bianti dan Maryani juga aktif mengusung Prabowo sebagai Capres.

Artinya, keluarga Prabowo banyak terlibat mengisi pos-pos strategis. Ini menandakan Prabowo banyak menempatkan keluarganya jika ia punya kekuasaan.

Jika sekarang Didiet lebih memilih karir sebagai perancang busana di luar negeri, itu memang faktanya. Tapi fakta bahwa ia putra Prabowo juga gak bisa dicoret begitu saja.

Lantas, kenapa banyak orang mengharamkan kita membicarakan Didiet? Ingat, dia anak Capres. Keluarga inti dari calon pemimpin negeri ini. Masa sih, segitu sucinya sampai gak boleh disentuh?

Padahal anugerah demokrasi untuk Indonesia, memberikan ruang untuk mengulik seorang Capres sampai titik paling dalam. Gunanya agar kita gak salah pilih. Sebab kita tahu, keputusan seseorang dipengaruhi juga oleh lingkungannya. Termasuk lingkungan keluarga.

Kenapa kita justru tidak memanfaatkan anugerah ini untuk mencari pemimpin terbaik bagi bangsa ini?

Soal apa orientasi seksual Didiet, kita gak ambil pusing. Mau heteroseks, kek. Mau homoseks, kek. Atau biseks. Itu terserah dia. Tapi mungkin karena alasan itu juga yang membuat orang malas membicarakannya. Kuatir distempel anti-LGBT.

Seolah kalau membicarakan Didiet, kita akan terjebak menghakimi orientasi seksual seseorang. Maksudnya Didiet hanya dipandang dengan sudut pandang tunggal: Orientasi seksnya.

Padahal, selain soal urusan orientasi seks, ada banyak variabel yang bisa kita bedah. Karirnya sebagai perancang busana. Gaya hidupnya. Atau lingkungan sosialnya sekarang. Karir Didiet sebagai perancang busana cukup diakui dunia. Salah satu prestasinya adalah merancang interorir dan eksterior BMW Series-7. Mestinya Prabowo bangga dengan prestasi ini. Bisa menjadi variabel positif untuk kampanyenya.

Wong, Jokowi yang anaknya cuma penjual martabak dan pisang goreng saja dia bangga, kok. Itulah sikap seorang ayah sama anaknya. Membanggakan.

Begini. Jika Prabowo terpilih jadi Presiden, toh Didiet adalah anak Presiden Indonesia. Apapun alasannya di pundaknya membawa nama Indonesia. Sebagai anak penguasa negeri mayoritas muslim ini.

Apalagi ia tinggal di luar negeri. Otomatis akan mewakili wajah pemuda Indonesia di sana. Orang akan bilang, “Ini lho, putra Presiden Indonesia.” Jadi kenapa kita gak bisa menyenggolnya? Sesuci itukah Didiet, sehingga banyak orang yang merasa harus menutup rapat-rapat hubungannya dengan seorang Capres?

Jikapun ada perbedaan orientasi seksual, emang kenapa? Bukankah tuntutan orang-orang yang gak mau bawa-bawa Didiet dalam diskusi politik, karena mereka gak mau ada diskriminasi terhadap orientasi seksual seseorang?

Kalau gak mau ada diskriminasi, kenapa justru diposisikan gak boleh disentuh? Mestinya, ya biasa saja. Samakan dengan anak lainnya. Diskusikan saja semua secara terbuka. Toh, tidak ada salahnya.

Kalau gak mau disentuh, mestinya minta saja sama bapaknya jangan maju menjadi Capres. Kalau mau menjabat menjadi pucuk pimpinan negeri demokrasi ini, konsekuensinya harus siap diedel-edel seluruh isi rumahnya.

Sebab rakyat juga mau tahu, seluruh dalamen Capres agar gak salah pilih. Di negara demokrasi manapun, ketika Pilpres, semua unsur calonnya dibuka ke publik. Didiskusikan untuk jadi bahan pertimbangan bagi pemilih. Apakah di Indonesia kita menganut azas pengecualian? Sehingga mengharamkan anak seorang Capres untuk didiskusikan?

Saya gak tahu.

“Mas, kita bicarain soal Luncinta Luna aja, yuk,” ajak Abu Kimkum.

https://www.youtube.com/watch?v=Nz60ijX-m8Q

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.