TELUR TERAKHIR — Cermin

Oleh SRI NANTI

Desiran jantungku masih sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Kudekap ransel kecil berisi mukena dan sajadah, untuk menetralkan dingin yang menyergap tubuhku. Langkah kaki mereka satu persatu menjauh dari masjid.

Dan… Hening… Fajar mulai semburat di langit Timur menerobos sela dedaunan ketapang.

Kuayun langkah gamang, sementara gerimis kecil mulai menitik satu-satu membasahi kerudung tipisku. Aku menggigil.

“Pakai jaket,” Sebuah tangan terulur dari sampingku. Aku tersenyum tanpa menoleh, kuambil jaket itu dan langsung memakainya. Lumayan hangat.

“Di mana kau temukan jaketku?” Tanyaku sambil terus melangkah.

“Di teras gereja,” Sahutnya.

Hening. Aku ingat beberapa hari yang lalu menemaninya mendekorasi gereja.

“Kamu kapan kembali ke Jakarta?” Tanyaku setelah sekian puluh meter kaki kami melangkah bersama dalam diam. Cukup lama tidak ada jawaban. Aku menoleh, kulihat dia tersenyum, menatapku dalam. Ya Tuhan, jantungku berdesir nyeri.

Tangannya merogoh saku jaket dan mengeluarkan sesuatu, “Untukmu.”

Aku tertawa, “Aku sedang tidak ingin makan telur.”

“Tapi ini spesial…,” Lirihnya sambil menatapku semakin dalam. Seolah ingin menembus dinding yang kuciptakan untuk menutup semua rasa yang bersembunyi di sana.

Kuhembuskan nafas perlahan menetralisir gemuruh di dada, lalu kuambil telur itu. Ada coretan-coretan abstrak di kulitnya terlihat samar-samar diterpa cahaya lampu jalan. Indah sekali. Brian memang pelukis berbakat.

“Itu akan menjadi telur Paskah terakhir yang aku berikan padamu…” Bisiknya. Hujan semakin deras, kami bergegas berlarian menuju Gasebo di ujung jalan.

“Nanti sore antar aku ke stasiun ya,” Suara pertama yang keluar dari mulutnya setelah kami duduk berhadapan di Gasebo itu.

Aku mengangguk, “Telur terakhir?” Lirihku mengingatkan dialog yang sempat jeda.

“Sesampai di Jakarta aku akan Mualaf…,” Jawabnya.

Kutatap wajahnya sambil tersenyum, “Sudah dapat restu dari Keluarga Renata?”

Dia mengangguk, “Kalau tidak ada rintangan kami akan menikah akhir tahun ini. Kamu datang ya…” Dia tersenyum. Menatapku. Hening. Hanya hatiku yang mendadak terasa kosong seperti melayang di ruang hampa.

Sesaat dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, “Sebenarnya aku ragu… Seperti berada di mulut hutan belantara dan tidak tahu apa yang harus kulakukan di dalam sana.”

Aku tersenyum, sesaat mengalihkan pandangan ke langit pagi yang kini pekat oleh guyuran hujan. Sadar aku akan kehilangan sosok penuh perhatian yang selalu ada setiap aku merasa lelah dalam kesendirian menghadapi kerasnya hidup.

“Menurutmu apa hal yang paling sulit yang harus dijalani seorang muslim?” Tanyanya serius.

“Apa ya. Aku memeluk agama ini karena orang-orang di sekitarku juga memeluknya. Jadi, bagiku tidak ada yang sulit jika sebatas ritual.”

“Maksudmu?” Brian memperbaiki duduknya. Mendekatkan wajahnya ke arahku. Dia benar-benar tidak merasa bersalah membuatku menjerit sakit menahan semua rasa yang menyesaki rongga dada.

“Tugas berat umat Islam itu bukan menjalankan ritual agamanya, tapi membuktikan bahwa Islam adalah agama yang ramah bagi seluruh alam tanpa terkecuali, sehingga di manapun mereka berada, di situ harus ada kedamaian dan kemakmuran. Begitu juga kan bagi Umat Nasrani, kamu punya beban berat untuk membuktikan bahwa agamamu adalah Agama Kasih… Bahkan kalian harus ikhlas jika harus mengasihi musuh.”

Brian tersenyum, “Sepertinya kita satu server ya, cuma beda casing. Makasih ya, 5 tahun ini sudah jadi sahabat terbaikku. Menunjukkan padaku satu jalan yang mungkin akan menjadi sejarah tak terlupakan. Suatu hari nanti aku berharap bisa bertemu lagi denganmu dalam suasana yang tidak berubah.”

* * *

Senja bergulir perlahan, sebuah taxi berhenti di depanku. Dari jendela yang terbuka Brian tersenyum sambil melambaikan tangannya, “Sarah, ayo!” Teriaknya.

Aku masuk dan duduk di sampingnya. 15 menit berlalu hening sampai kami turun di depan stasiun. Kubantu dia mengangkat barang-barangnya. Lalu berdiri mematung di ujung ruang tunggu. Menanti dengan gelisah kereta yang akan membawa Brian pergi. Mungkin untuk waktu yang sangat lama bahkan mungkin tidak untuk bertemu lagi.

“Sarah…,” Brian meletakkan kedua telapak tangannya di pundakku. Aku hanya mampu diam.

“Sekali lagi terimakasih untuk kebersamaan yang benar-benar asyik selama ini. Aku cuma minta jaga kesehatan. Kerja semampunya. Kalau lelah istirahat. Dan tetap semangat. Di dunia ini ada milyaran orang, jadi jangan pernah merasa sendiri. Semangat!”

“Iya… Hati-hati ya. Semoga sukses dan bahagia… Salam untuk Renata dan adikmu Sabrina.”

Kulepas langkah kakinya masuk ke dalam stasiun dan hilang di balik kerumunan penumpang lain. Aku terduduk di bangku besi itu. Menutup wajahku dengan ujung kerudung dan menangis. Kadang aku berfikir dia menyayangiku lebih dari seorang sahabat. Tapi aku tidak berani mempertanyakan itu.

Dia seorang Sarjana, orangtuanya mapan, masa depannya cerah, dicintai gadis baik hati bernama Renata, anak pengusaha, seorang calon dokter gigi yang cantik. Sedangkan aku?

Aku hanya seorang yatim piatu, hidup dan besar di panti asuhan. Sekolah hanya sampai SMP, sekarang tinggal di kos-kosan, kerja jadi tukang bersih-bersih di toko buku.

Hanya kuasa Tuhan yang telah mengirimkan orang sebaik Brian untuk menolongku yang saat itu jatuh pingsan di jalanan dan membawaku berteduh di dalam gereja itu, memberiku selimut dan makanan.

Lalu, selama 5 tahun ini dia selalu ada, memberi perhatian dan semangat kepadaku yang sakit-sakitan. Dia terlalu sempurna untuk menjadi sahabatku bukan untuk jodohku.

Suara kereta telah bergerak menjauh. Aku berdiri dan berjalan menghampiri tukang ojek di luar pagar stasiun.

* * *

Waktu terus berlalu…

Semua karyawan sudah meninggalkan ruangan. Aku merasa malas berdiri. Kuteguk air mineral beberapa kali lalu mataku tertuju pada layar smartphoneku. Sebuah notifikasi permintaan pertemanan kubaca sambil mengernyitkan dahi. Brian Hadiwinata. Nama yang tak asing dalam benakku 10 tahun ini. Aku berdiri dan memilih duduk di sofa dekat jendela.

Lalu kembali kulihat photo profilnya, aku tidak mengenalinya. Seorang laki-laki berbaju putih dengan wajah tanpa senyuman. Penasaran aku coba menelusuri foto-fotonya. Dan aku menemukan satu foto yang sangat kukenal. Iya dia Brian yang dulu pernah sangat dekat denganku.

Aku terus menggulung layar ke bawah. Membaca postingan demi postingannya. Deg… Ini benar Brian yang dulu tapi bukan lagi dia yang dulu. Kini dia rasis dan jiwanya penuh dengan kebencian.

“Pulang sekarang atau masih mau di sini, Sayang?” Aku tersentak. Mas Gie tersenyum manis di depan pintu.

Aku berdiri, menuruni tangga dengan gelisah. Di dalam mobil kubuka lagi profil Brian. Lama kupandangi wajah itu dan aku memutuskan untuk menolak permintaan pertemanannya. Dulu aku bersahabat bahkan jatuh cinta dengan “domba” yang sangat manis itu. Kini domba itu telah tersesat di kandangku tapi aku justru tidak bisa lagi bersahabat dengannya. Maafkan aku, Brian!

Tamat

Selamat Merayakan Paskah, Saudara-saudaraku! Salam damai, kasih dan cinta untuk kita dan seluruh semesta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.