Kolom Joni H. Tarigan: TIDAK ADA DARAH RASISME DALAM DIRI ANAKKU, ANAKMU?

Sabtu lalu, 17 November 2018, kami menghadiri acara Open Lesson di sekolah anak kami. Acara ini merupakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa, untuk tingkat Play Group sampai dengan SMA. Akan tetapi, dalam acara ini, orangtua murid diundang menyaksikan bagaimana anak-anak dididik di sekolah.

Saya pribadi memandang open lesson ini sangat penting bagi orangtua agar memahami bagaimana cara mendidik anak di sekolah, yang semestinya juga diterapkan di rumah.




Kami sangat antusias melihat anak kami mengikuti pendidikannya. Dia yang duduk di tingkat TK terlihat sangat bersemangat mengikuti pelajarannya. Pelajaran pertama mereka belajar tentang burung dan makanan burung. Mereka mengenal huruf angka, halus kasar, dari belajar tentang burung.

Guru yang mengajarkan tentang burung itu membawa seekor burung ke dalam kelas, dan anak-anak serentak berteriak melihat burung itu. Mereka sangat tertarik tetapi juga menjaga jarak, untuk memahami seperti apa burung itu. Mereka bisa melihat, menyentuh, dan merasakan halusnya bulu burung tersebut, serta betapa kasar kakinya.

Mereka juga mengenal beras yang asalnya dari bulir padi. Sekolah ini mendidik anak didiknya dengan menghadirkan pengalaman yang sebenarnya. Dengan keadaan yang menyenangkan, anak-anak sangat paham apa itu burung dan darimana saja burung mendapatkan makanan.

Setelah mereka mendapatkan pengalaman bersama burung, merekapun meneruskan ke arena permainan. Saya melihat anak kami tetap dalam semangat yang tidak berkurang sedikitpun. Saya melihat seorang putri kecil, bermata sipit, dengan cekatan meraih tangan anak kami. Putri kecil itu dengan riang menggandeng, dan menarik tangan anak kami, kemudian melompat ria.

Di sudut lain, saya memperhatikan seorang putri mungil berhidung mancung berkulit agak gelap (khas keturunan India), memeluk temannya seorang putri berbadan tinggi, kulit putih, mata sipit (khas keturunan Tionghoa). Anak kami sendiri berkulit gelap, hidupng pesek, badan padat berisi (khas orang kampung SUMUT).




Mereka berbeda kulit, berbeda mata, berbeda tinggi, berbeda keluarga, akan tetapi genggaman tangan mereka sangat erat. Mereka menunjukkan ikatan yang sangat kuat. Mereka semua bersabahat, sekalipun mereka sangat berbeda.

Melihat perkembangan manusia, dari sejak kandungan sampai pendidikan tingkat TK, saya melihat tidak ada hal apapun yang membuat anak-anak kita untuk saling membenci. Mereka justru menunjukkan saling membutuhkan untuk merasakan pengalaman hidup mereka yang jenaka. Kenyataan ini membuat saya sangat yakin bahwa SETIAP KITA MANUSIA TERLAHIR TIDAK RASIS.

Kita semua terlahir dengan rasa ingin mencintai dan dicintai bukan karena merasa lebih baik atau lebih buruk. Kita terlahir dengan rasa selalu ingin berbagi dan menghargai. LALU DARIMANA RASIALISME ITU LAHIR??

Sebelum kita merenung lebih jauh tentang keberadaan rasialisme, marikita lihat sejenak apa itu rasialisme. Dalam bahasa Inggeris rasialisme disebut sebagai racism yang artinya adalah prejudice, descimination, or antagonism directed against someone of a different race based on the belief that one’s own race is superior (Lihat di SINI).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Lihat di SINI) memberi arti rasialisme sebagai prasangka berdasarkan keturunan bangsa atau perlakuan yang berat sebelah terhadap suku bangsa yang berbeda-beda. Arti rasialisme lainnya adalah paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.




Jika kita melihat situasi Indonesia saat ini, kita tentu tidak akan membantah bahwa perpecahan sedang terjadi. Satu pihak memandang pihaknyalah yang lebih baik, lebih benar, dan lebih pantas. Pihak lain menjadi bagian yang lebih buruk dan lebih pantas dihujat. Jika mengacu ke defenisi rasialisme, maka paham rasialisme bukanlah sebatas kata-kata, tetapi fakta yang kita hadapi. Kita melihat dan merasakan rasialisme itu dalam kehidupan kita, terutama menjelang pilkada atau pilpres.

Setiap anak terlahir tidak menganut rasialisme, akan tetapi fakta yang kita hadapi adalah perpecahan akibat rasialisme, lantas DARIMANA RASIALISME ITU LAHIR??.

Wahai PARA IBU negeri ini, engkau tidak melahirkan RASISME, lalu darimana ia datang Wahai PARA BAPAK negeri ini, anakmu terlahir tidak ada darah RASISME, lalu darimana semua kekacauan rasisme ini?

Anakku lahir dalam kehangatan cinta, indahnya kehidupan. Ia menikmati bahagia bersama teman-temannya bermata sipit, berhidung mancung, berkulit putih, berkulit gelap. Anakku menikmati jenaka kehidupan tanpa berfikir yang sipit beragama apa, yang mancung orang kaya atau miskin, yang kulit gelap orang Jawa atau bukan. Anakku tersenyum dengah kehidupan yang saling mengulurkan tangan, bukan saling menghina. TIDAK ADA DARAH RASISME DALAM DIRI ANAKKU, bagaimana dengan ANAKMU?

JANGAN KITA KOTORI ANAK KITA DENGAN DARAH RASISME, KARENA MEREKA TERLAHIR SUCI DAN MULIA.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.