Kolom Eko Kuntadhi: TKA MEMBUKA LAPANGAN KERJA

Berapa jumlah TKI di Malaysia? Sekitar 5 juta orang. Di Saudi ada 1,2 jutaan, Cina Taipei 900 ribuan dan di Hongkong ada 500 ribu orang. Total tenaga kerja kita yang mencari nafkah di berbagai negara mencapai 9 juta. Jika jumlah angkatan kerja kita 180 juta, maka 5%-nya jadi TKI di luar negeri. Sedihnya sebagian besar TKI kerja di sektor non-skill.

Mereka menempati posisi terbawah dari kebutuhan tenaga kerja di sana.

Ada yang jadi asisten rumah tangga, jadi kuli di kebun sawit, jadi buruh kasar, atau pekerja bangunan dan konstruksi. Pokoknya mereka bekerja di sektor 3D: Dirty, Dificult, Dangerous.

Lalu, berapa jumlah Tenaga Kerja Asing di Indonesia? Data Depnaker paling banter 120 ribu orang. Di mana rata-rata posisi mereka? Ya, di level terampil atau eksekutif. Peraturan kita melarang tenaga kerja asing masuk ke pekerjaan kasar.

Kenapa TKI kita datang ke luar negeri sebagai tenaga kasar, dan TKA di sini cenderung sebagai pekerja terampil dan ahli? Begini, 62% angkatan kerja kita setingkat SD atau SMP. Yang lulus sarjana gak lebih dari 5%. Itupun biasanya belum siap kerja.

Jadi, meskipun kita punya bonus demografis –dengan besarnya angkatan kerja– tapi rata-rata tidak terampil. Nah, gimana agar mereka tidak jadi mubazir? Ya, suruh kerja pada pekerjaan yang tidak butuh keterampilan tinggi.

Tapi pabriknya sudah gak nerima lowongan lagi. Untuk itulah kita butuh investasi, lokal maupun asing.

Kalau orang asing mau buka pabrik baru, nanti pemimpin pabriknya siapa? Direksinya siapa? Direktur keuangannya siapa? Mana mau mereka buka pabrik, kalau semua jabatan penting terlarang untuk mereka.

Emang kamu mau mempertaruhkan uang jutaan dolar tanpa punya akses untuk melindunginya?

Jadi, kita harus memberikan kemudahan orang asing itu bekerja di sini, justru agar nantinya bisa membuka peluang pekerjaan baru kepada jutaan pekerja lokal.

Bukan sebaliknya. Kehadiran TKA dianggap mengambil alih kesempatan warga lokal. Itu fikiran yang kacau. Emangnya berapa sih, upah kita? Kalau upah rata-rata kita masih di bawah negara lain, apa untungnya TKA bekerja di Indonesia?

Artinya, mana mungkin jenis pekerjaan kasar yang mereka masuki.

Logika ini yang membuat pemerintah mengeluarkan Perpres 20/2018. Isinya untuk mempercepat ijin pengurusan dokumen masuknya TKA. Dengan lancarnya pengurusan dokumen bagi TKA, investasi asing lebih cepat terealisasi. Ujungnya akan menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal.

Ngerti kan, mblo?

Tapi logika yang dibangun para kampret bahwa Perpres 20/2018 itu akan menyebabkan TKA membanjir di Indonesia, lalu menggusur tenaga lokal. Emangnya, TKA itu mau kerja di mana? Jika pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lokal diserahkan kepada tenaga asing, apa gak boros tuh? Mana ada orang usaha mau rugi.

Aturan kita masih jelas, pemerintah hanya mengijinkan TKA terampil yang bisa bekerja di sini. Urusan tenaga kasar biar dipegang orang Indonesia.

Padahal kalau mau jujur, semakin kaya sebuah negara, semakin banyak juga tenaga kerja asingnya. Lihat Singapura, TKA mencapai 20% dari total penduduknya. Atau Qatar dan Uni Emirat Arab, jumlah penduduk dan TKA hampir sama besar.

Apakah warga Sinagpura, Qatar atau UEA menjadi miskin? Gak tuh. Bahkan BUMN besar di Singapura CEO-nya orang Amerika. Negeri ini pintar, mereka membayar besar eksekutif kelas dunia agar bisa menghasilkan keuntungan. Buat siapa keuntungannya? Buat negara. Kan itu BUMN.

Tapi logika ini dibolak balik. Mereka melempar isu jutaan TKA asal China datang ke Indonesia. Mereka menghembuskan isu anti asing. Padahal jumkah TKA yang ada cuma secuil.

Dengan isu itu mereka menghambat investasi masuk. Akibatnya lapangan kerja gak terbuka. Rakyat nganggur. Ekonomi stagnan. Nah, mereka nanti akan menuding pemerintah gak becus.

TKA yang diisukan masuk ke Indonesia sampai jutaan. Terus jutaan orang itu mau kerja di mana? Jualan es nongnong?

Tujuannya cuma mau menghalangi investor asing masuk ke sini. Padahal, mana mau investor China membawa semua tenaga kerja dari sana. Kalau semua harus dari China mendingan bikin pabrik di China aja. Gak ribet. Di negaranya sendiri, lahan masih luas, kontrol bisa maksimal.

Gini deh. Kalau kamu orang kaya dari Medan mau buka pabrik di Surabaya. Apakah karyawanmu semua diboyong dari Medan? Kalau benar begitu, betapa mahalnya. Harus sediakan rumah, fasilitas kerja, transport bolak-balik dan sebagainya.

Lebih baik orang-orang tertentu saja yang dibawa. Selebihnya biarkan dikerjakan tenaga lokal. Biaya produksi akan jauh lebih murah. Investasi itu juga akan membuka lapangan pekerjaan buat warga Surabaya.

Makanya pemerintah harus lebih ramah pada investor. Dunia sedang berlomba menarik orang yang punya duit untuk ditanamkan di negerinya. Berbagai fasilitas diberikan. Tentu saja, dengan pertimbangan ada manfaat maksimal buat ekonomi lokal dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Pemerintah mencoba manarik investor dari seluruh dunia dengan RUU Cipta Kerja. Bukan hanya kepada investor asing, juga kepada pengusaha lokal kemudahan berusaha itu ingin diberikan. Bukan juga hanya untuk industri besar, tetapi juga untuk UMKM.

Yang penting, siapapun yang mau membuka usaha di Indonesia, diberikan kemudahan tanpa harus melanggar aturan dan keseimbangan. Tujuannya membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.

Ingat. Kita sedang berada dalam surplus demografi. Tenaga kerja berlimpah. Makanya kemudahan usaha harus dibuka lebar-lebar.

Jika mau ditelusuri, sebetulnya angka investasi asing di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan tenaga tetangga. Di Malaysia, Singapura, Thailand persentase angka investasi asingnya jauh lebih besar, dari total investasi di sana.

Dana dari seluruh dunia masuk, berputar dalam roda ekonomi negara tersebut. Ujung-ujungnya memberi kesejahteraan pada rakyat.

Bukan hanya itu. Proses transfer teknologi juga sangat dibutuhkan. Makanya dalam usaha tambang misalnya, Indonesia tidak mau lagi kayak dulu. Freeport mengeruk emas dan tembaga dari Indonesia. Bahan mentahnya diekspor. Diolah di luar negeri. Kita cuma dapat duit sedikit dengan alam yang rusak.

Kini aturan mengharuskan perusahaan tambang membuat smelter di Indonesia. Gak bisa lagi barang mentah diekspor. Nilai tambahnya harus diusahakan di sini. Selain itu membuka lapangan pekerjaan baru bagi anak bangsa, juga tenaga kerja kita bisa terus belajar teknologi.

Bukan hanya jadi buruh galian tambang yang beresiko.

Pada perusahaan-perusahaan raksasa biasanya bukan hanya pabrik untuk usaha mereka saja yang dibangun. Tetapi juga dengan prasarana dan infrastruktur penunjang. Infrastruktur itu bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar. Otomatis kesejahteraan masyarakat meningkat.

Morowali adalah contoh, bagaimana daerah di Sulawesi itu kini masyarakatnya lebih makmur dengan hadirnya sebuah perusahaan tambang nikel. Perusahaan itu merupakan investasi asing.

Mereka awalnya memang mempekerjakan tenaga dari China untuk menangani pekerjaan yang butuh keterampilan khusus. Tapi bersamaan dengan itu tenaga kerja lokal juga ikut terlibat.

Jadi begini, ya. Kehadiran TKA itu justru untuk membuka peluang kerja kepada tenaga lokal. Bukan malah mengambil alih.

Jumlah TKA di Indonesia hanya 120 ribu, angka gak naik signifikan setiap tahun. Bandingkan dengan lapangan kerja yang terbuka rata-rata 2,3 juta setahun, yang 25%-nya akibat investasi asing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.