Kolom M.U. Ginting: Trump, Sri Mulyani, dan JP Morgan

 

Dalam persoalan menghadapi manover Toyota terlihat jelas sikap Trump memihak siapa, kepentingan nasional AS atau kepentingan perusahaan besar neolib AS. Nationalist Trump sangat jelas dalam pernyataannya dan tidak meragukan bagi siapapun dimana dia berdiri dalam pertarungan dunia Abad 21, antara politik dan ekonomi nasionalis atau internasionalis globalis.

‘America First’ atau ‘Make Amerika Great Again’, juga tidak meragukan bagi siapapun, juga tidak meragukan bagi penentangnya yang mengatakan bahwa semboyan-semboyan Trump itu adalah rasist atau ‘dog whistle’, dikatakan oleh Clinton dalam kampanyenya.

Walaupun Clinton pakai istilah merendahkan begitu kepada nasionalist Trump, tetapi dalam kenyataan Trumplah yang memenangkan pemilihan lalu, didukung terutama dari kelas buruh orang putih Amerika atau golongan the silent majority yang selama ini tidak pernah bersuara dan diupakan oleh kedua partai besar Amerika. Dalam silent majority itu termasuk juga penduduk miskin pedesaan, dan penduduk pedalaman yang masih hidup seperti di era cowboy dalam jaman dulu.

Di Eropah The silent majority juga telah berhasil memenangkan Brexit keluar dari proyek globalis neolib UE. Kemenangan Brexit tentu tak lepas dari gerakan nasionalistme UKIP pimpinan Nigel Farage.

Toyota di AS terpaksa mengikuti aturan main Trump, yang mengutamakan kepentingan nasional Amerika. Kalau mau bikin fabrik di Mexico, pajak masuk hasil fabrik mobilnya ke Amerika akan sangat tinggi. Pikir punya pikir, kalau pajak masuk ke AS ditinggikan maka untungnya tidak sebanyak yang diharapkan dengan memanfaatkan tenaga buruh rendah Mexico.

Persis seperti ancaman Trump ke China, akan menaikkan pajak masuk barang-barang China ke AS, yang kebanyakan juga diproduksi oleh perusahaan AS yang hijrah ke China karena mengejar tenaga buruh rendah. Buruh-buruh di AS banyak nganggur karena perpindahan fabrik neolib ini ke luar, tetapi hasil produksinya di jual pula di AS dengan pajak rendah atau tanpa pajak sama sekali. Kalau semua perusahaan bikin begitu, sudah jelas kebangkrutan AS tetapi meningkatkan kekayaan perusahaan besar, bikin pengangguran besar-besaran bagi kelas buruh AS, dan AS semakin bangkrut.

Bagi Trump memang tak ada jalan lain, untuk menjaga kepentingan nasional AS. Dia pernah juga mengancam tiap peruasahaan yang pindah keluar akan didenda dan pajak tinggi bagi produksinya yang masuk ke AS.

Ancaman ‘nasionalisme Trump’ memang sangat hebat terasa nyata bagi perusahaan besar global neolib. Dibikinlah analisa ‘bakal kacau’ bagi ekonomi dunia, seperti bikin riset model JP Morgan di Indonesia, Brasilia, Turki, India dan Meksiko. Indonesia dibikin rendah nilai obligasi dan menganjurkan  jangan investasi di negeri-negeri yang indeksnya rendah, indeks yang mereka bikin sendiri pula.

Tindakan jitu, tegas dan berani dari Menkeu Sri Mulyani mendepak JP Morgan dari  Indonesia patut dihargai tinggi dan dipuji. Alasan Menkeu Sri Mulyani sangat tepat, karena riset JP Morgan itu menakut-nakuti investasi ke Indonesia yang berimbas mengganggu perkembangan  ekonomi nasional negeri Indonesia.




Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Bahlil Lahadalia mendukung langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutuskan hubungan kerja sama dengan JP Morgan Chase Bank.

“JP Morgan Chase Bank berbahaya sebab berusaha menciptakan opini destruktif untuk menggoyang perekonomian beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujarnya seperti ditulis Antara [Selasa 3/1].

Dia menduga ada upaya pihak luar menciptakan instabilitas di sektor keuangan dan perekonomian dikaitkan dengan meningkatnya tekanan politik Pilkada dan kasus penistaan agama.

Analisa BPP Hipmi memang betul sekali, tekanan politik dari luar tak bisa dipisahkan dari tekanan ekonomi juga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.