Uis Beka Buluh dan Keyboard

Oleh: Ligad Tarigan (Medan)

 

Seorang beru Ginting memposting fotonya di IG sedang menari, memakai uis beka buluh (kain tenun Karo, red.). Foto itu kini direpost/ dibagikan oleh beberapa akun Fb, alhasil foto itu menuai pro dan kontra.

Bagi yang pro menganggap tidak ada masalah dgn foto tersebut, hanya sebuah ekspresi kencintaan terhadap uis beka buluh yang keren itu dan toh dipakai bukan pada saat acara adat, hanya untuk foto semata.

Bagi yang kontra, foto tersebut dianggap tidak sopan dan melanggar tata adat karo, dimana uis beka buluh seharusnya hanya dipakai oleh pria. Bukan oleh wanita. Alhasil, beru Ginting ini mendapat bully dari pihak yang kontra, sampai-sampai dia harus membuat permintaan maaf di akun medsosnya.

Uis beka buluh itu memang keren, keren warnanya, keren motifnya. Sehingga seorang wanitapun tergerak untuk memakainya hanya untuk sesi foto. Itulah saking kerennya beka buluh. Kalo jelek tidak mungkin dia mau foto dengan uis itu.




Jauh sebelum ini, beka buluh sudah sering kita lihat digunakan bukan pada saat acara adat. Contohnya sebagai seragam Mamre (kaum bapak Gereja Karo), jadi taplak meja, jadi hiasan di dinding, oleh Plato Ginting dipakai sebagai sabuk gitar, Mpuh Sembiring memakainya sebagai properti saat magic shownya, Brando mamana membawa beka buluh ke atas ring MMA. Semua itu wujud kecintaan pada beka buluh. Sekali lagi pemakaiannya itu bukan pada saat ada acara adat. Dan belum pernah ada yang protes apalagi membully.

Jadi, menurutku, apa yang dilakukan beru Ginting itu merupakan bentuk kecintaannya terhadap kain tenunan Karo juga, sama halnya dengan mereka-mereka tadi. Gak usah dibully. Itu hanya untuk foto saja. Dia tidak memakainya di acara adat. Jika di acara adat, sepakat bahwa beka buluh dipakai oleh Pria.

Bandingkan dengan acara adat sesungguhnya, contohnya pada saat ada kemalangan (meninggal dunia). Kalau menurut adat, ada namanya Gendang Pengalo-ngalo. Itu alat musiknya sarune, gendang, penganak, dan gung. Setiap alat musik ada filosofinya, ada maknanya. Itulah alat musik tradisional kita, adat kita.

Tapi ironisnya pada acara adat resmi alat musik itu sudah tersingkir, diganti oleh kibot buatan Jepang. Sejak kapan kibot sebagai alat musik tradisional kita? Apakah ini bukan pelecehan adat juga? Pemain-pemain musik tradisional ini sudah langka sekarang.
Coba sebutkan 3 nama penarune! Pasti kesulitan menemukannya karena langkanya.

Coba perhatikan lagi saat gendang salih, lagu Iwak Peyek, Bang Toyib dan Goyang Lambada sudah menggusur lagu Nangka Nguda dan Famili Taxi. Dalam waktu singkat lagu Despacito yang lagi booming itu sepertinya akan masuk list gendang salih terfavorit.

Kalau sudah seperti itu, masih adakah “roh” adat itu? Silahkan masing-masing dijawab.

Hal seperti inilah seharusnya kita lebih kritis. Ironisnya kita malah diam seribu bahasa, saat ritual adat kita diisi alat musik Jepang. Yang sudah jelas ancamannya yaitu kepunahan alat musik dan pemain musik tradisional kita.

Jadi apa yang dilakukan beru Gnting itu adalah sebuah “riak kecil” saja jika dibandingkan dengan fenomena kibot itu yang seperti “gelombang besar” yang sudah kita biarkan dan diamkan sekian lama sehingga seolah itu sudah benar adanya.

Jangan sampai suatu waktu nanti kita harus ke Belanda untuk menyaksikan Gendang Karo asli karena sudah punah digusur kibot.

Bagi orang yang suka mengkritik, fenomena kibot ini jauh lebih pantas untuk dikritik.

Ayo silahkan dikritik kibot Jepang itu. Jangan beru Ginting itu. Beru Ginting itu terlalu cantik untuk dibully. Hehehe …..

Salam odak-odak.

Video di bawah adalah clip lagu Berharap yang diciptakan dan dinyanyikan oleh penulis.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.