ULUN JANDI: Hubungan Pendatang–Pribumi di Suku Karo

Mengamati Peristiwa-peristiwa Struktural Yang Ditelan Manipulasi dan Spekulasi Sejarah

Oleh: Juara R. Ginting

Di Hikayat Deli ada disebutkan Sultan Deli sebagai Raja dan Sunggal sebagai Ulun Jandi dari Deli. Lalu, T. Lukman Sinar menyebutkan Sunggal sebagai Ulun Jandi di Deli dan Sultan Deli sebagai Anak Beru. Pernyataan T. Lukman Sinar kemudian diulang-ulang (copy paste) oleh penulis-penulis lain. Tapi ….

Tak seorang pun menjelaskan apa itu Ulun Jandi kecuali terjemahannya dalam Bahasa Indonesia “hulu atau awal perjanjian”.

Ada 2 hal yang menarik dari penjelasan ini.

Pertama, semua menyadari (temasuk keluarga Sultan Deli dan Keluarga Datuk Sunggal) bahwa istilah Ulun Jandi adalah dari Bahasa Karo. Tapi, tetap juga ada orang-orang Melayu dan Karo yang menganggap Sunggal adalah wilayah Melayu berpenduduk Suku Melayu (bukan Karo).

Ke dua, walaupun Hikayat Deli dan T. Lukman Sinar serta banyak pengcopy-paste mengulang-ngulangi tentang hubungan Raja–UlunJandi atau UlunJandi–AnakBeru ini. tidak ada satupun yang menjelaskan apa itu Ulun Jandi, temasuk T. Lukman Sinar sendiri.

Satu-satunya literatur yang menjelaskan apa itu Ulun Jandi adalah Juara R. Ginting (2000) berjudul “Inter-group Relations in North Sumatera” dalam Tribal Societies in Malay World: Singapore-Leiden.

Dalam artikel itu saya menjelaskan hubungan Raja–UlunJandi maupun UlunJandi–AnakBeru di Deli bukanlah sebuah peristiwa sejarah dalam arti kebetulan terjadi. Meski di Deli terdapat banyak kampung Melayu dan kuta Karo, keseluruhannya dikonstruksikan seperti satu perkampungan besar yang strukturnya sama dengan apa yang kita dapati di masing-masing kuta Karo.

Dokan, sebuah kampung Karo (kuta) di tahun 1990. Foto: Juara R. Ginting.

Masing-masing kuta (kampung Karo) dipimpin oleh 2 pengulu: Pengulu Silebe Merdang alias Ulun Jandi dan Pengulu Kuta. Tapi, Pemerintah Kolonial “menghapuskan” Pengulu Silebe Merdang sehingga hanya ada kepemimpinan tunggal.

Dualisme kepemimpinan seperti itu tersebar di mana-mana di Indonesia dan juga Malaysia, Brunai dan Filipina yang pada intinya adalah hubungan antara Pribumi dan Pendatang.

Keagungan atau keperkasaan atau kekayaan pendatang membuat seorang pemimpin lokal terangkat diantara para pemimpin lokal lainnya setelah hubungan ini, tapi juga sebaliknya pemimpin yang terangkat ini menjadi penentu atau penguasa tanah. Dia yang menentukan apakah pendatang ini bisa mendirikan kerajaannya di tanah yang menjadi wilayah pribumi.

Otonomi diberikan kepada raja pendatang untuk menerapkan tradisinya sendiri tapi dalam hal-hal tertentu dia harus melepaskan keotonomiannya dan mengakui wilayahnya sebagai bagian kerajaan lokal. Terutama dalam kematian. Perjalanan mengusung mayat raja pendatang dari rumahnya ke pemakamannya adalah sebuah perjalanan dari negeri kehidupannya sehari-hari ke negeri kematian.

Meskipun rumah Sultan Deli dan makamnya sama-sama berada di Kampung Ilir (wilayah otonomi Sultan Deli), tapi ritual pemakaman Sultan Deli yang diiringi musik dan tari Karo adalah menghantarkannya ke Kampung Ilir sebagai bagian ulayat Tanah Karo. Ritual itu sekalian “menyunglap” Kampung Ilir (Melayu) sebagai bagian dari Kuta Sunggal (Karo).

Sepasang foto model Sora Sirulo yang juga penari dan musisi Sanggar Seni Sora Sirulo.

Keberadaan bangunan tradisional Karo di depan rumah sultan adalah relevan dengan ritual pemakaman Sultan Deli di masa Pra Kolonial. Saat ritual berlangsung, tidak ada otonomi. Seluruh wilayah Deli adalah bagian Taneh Karo dengan pimpinannya Datuk Sunggal sebagai Ulun Jandi Deli. Kehadiran Raja Berempat di bangunan itu mewakili leluhur Karo yang menjadi leluhur Sultan Deli melalui garis keturunan ibu.

Ketika ritual selesai, Kampung Ilir kembali menjadi wilayah otonomi. Orang-orang Karo tetap bebas berdagang hingga ke laut (Deli Hilir yang wilayah Melayu), tapi orang-orang Melayu tidak bisa menyentuh apalagi memasuki Deli Hulu (wilayah Suku Karo) kecuali mereka yang ibunya adalah orang Karo atau berjalan lewat sungai (menentang arus).

Penghulu Buluh Cina (Melayu) yang mengawini putri Sunggal (Karo) saja tidak bisa memasuki Sunggal, tapi putranya (Sultan Ahmad) bebas keluar-masuk Sunggal (Karo) karena ibunya berasal dari sana.

M. Drakard menunjukkan hubungan seperti ini tercemin dalam Hikayat-hikayat Barus (Pantai Barat Sumatera). Barus Hilir lebih menekankan otonomi mereka yang bersumpah “menduduki tanah sendiri” dan “meminum air sendiri” sedangkan Barus Hulu selalu menyebut kedua belahan Kerajaan: Hulu dan Hilir.

Prof. Dr. Watson Andaya (istrinya Dr. Leonard Andaya) memberi gambaran yang sama di seluruh Sumatera dalam hubungan Hulu-Hilir. Dia sendiri meneliti di Jambi.

Di tulisan saya tesebut di atas, saya menyimpulkan bahwa Sultan Deli dan Raja-raja Melayu adalah pendatang, sedangkan Raja-raja Urung Serbenaman, Sepuludua Kuta Laucih, Sukapiring, dan Senembah (semuanya Karo) adalah pribumi di Deli .

Keanehan terjadi pada Hamparan Perak. Logisnya Raja Berempat Deli adalah keempat urung Karo, tapi mengapa di Jaman Kolonial Datuk Hamparan Perak yang masuk sedangkan Laucih tidak ikut?

Rumah Kinangkong, sebuah kampung Karo di Deliserdang.

Hamparan Perak mengaku pula sebagai pribumi dengan “mengolah” Kisah Guru Patimpus (putra Karo yang mendirikan Medan) sebagai nenek moyangnya. Padahal, sebelum kedatangan Belanda, Hamparan Perak adalah Anak Beru kesayangan Datuk Sunggal.

Bibit konflik dengan Sultan Deli sudah ada sebelum kedatangan John Anderson. Anderson melihat dan menulisnya dengan meramalkan konflik ini suatu saat akan meledak.

Apakah karena putra Hamparan Perak kawin dengan putri Sultan Deli sehingga Hamparan Perak menjadi Anak Beru dari keduanya (Sultan Deli dan Datuk Sunggal)?

Mari coba kita bandingkan sistim sosial-pemerintahan di Karo Hilir (Karo Jahe) dengan Karo Barat (juga disebut Karo Jahe di masa Pra Kolonial).

Di Barat, ada Raja Berempat Perangin-angin (Kutabuluh, Bangun, Sebayang, Pinem), Perangin-angin yang lain menggabungkan diri ke Kutabuluh: Keliat, Singarimbun, Jinabun, dan lain-lain. Di Hilir ada Surbakti, Purba, Karosekali, dan Barus.

Anak Beru Tua Karo Barat adalah Kembaren asal Pagaruyung, sedangkan Anak Beru Tua Karo Hilir adalah Sultan Deli (Meliala) asal Aceh. Tidak heran kalau seluruh wilayah Karo disebut Taneh Karo meskipun hanya bagian Timur yang Taneh Karo-karo mergana, sedangkan Karo Barat secara khusus disebut dalam kisah-kisah lama Taneh Perangin-angin.

Coba kita lihat Raja Berempat yang satu ini: Barus, Sinulingga, Suka, Meliala. Kalau di Hilir terjadi dualisme kepemimpinan Sultan Deli — Datuk Sunggal dan di Karo Barat antara Kembaren — Kutabuluh, maka di sini terjadi dualisme Silo (Tarigan) — Barus.

Apakah Silo (Tarigan) adalah pendatang bagi orang-orang Karo lainnya yang pribumi?

Jangan lupa, ada mitos yang mengatakan bahwa Tarigan adalah umang atau ada saudaranya yang menjadi umang. Ciri utama umang adalah “erbalik tapak-tapak nahena” yang artinya adalah “berjalan melawan waktu”. Dia adalah penduduk paling awal yang kemudian menjadi pendatang.

Saat mereka sudah bermukim di situ, belum ada “negeri”. Syarat mendirikan negeri harus ada hubungan pendatang–pribumi. Umang adalah penduduk awal yang mengawini putri seorang pemimpin lokal sehingga terjadi hubungan ganda yang tercemin dalam istilah TURANG.

Turang artinya saudara/i (sibling) (tidak boleh kawin) tapi juga berarti kekasih (lover) (boleh saling kawin). Kawin dengan sepupu silang (dalam beberapa generasi) akan menciptakan hubungan dimana “istrimu itu adalah saudarimu sendiri”.

Balai pengadilan khusus untuk orang-orang Karo di Karo Hilir yang disebut juga Karo Doesoen. Bangunan ini bediri di lokasi dekat Kantor Pengadilan Pembantu di Pancubatu, Deliserdang.

Di dalam mitos asal usul Tungkat Penalun Guru Pakpak ada mengatakan kepada istri raja: “Menantumu itu adalah anakmu, kemberahen.” Itulah dasar konsep Anak Beru Tua yang secara patrilineal adalah orang asing, tapi secara matrilineal adalah anak sendiri (dirindu).

Ini sebanding dengan posisi Munte yang memegang mandat segala yang paling tua di Tanah Karo. Ada Palas Rumah Sipitu Ruang (rumah Karo tertua), nama Pitu Ruang mengingatkan Ume Pitu Rue dari Gayo (suku tertua), dan Sibuaten (gunung tertinggi di Sumut) yang kawin dengan Raja Umang (manusia paling awal menduduki Taneh Karo).

Ada satu hal yang membuat Tarigan dan Kembaren menarik untuk dibandingkan. Dalam nomenclature Karo, ada 2 jenis harimau; Arimo Tarigan (la erkesehen gatipna) dan Arimo Kembaren (erkesehen gatipna). Dalam mitologi Tarigan, ada saudaranya yang kemudian bergabung dengan bangsa umang, sedangkan dalam mitologi Kembaren ada saudaranya yang masuk hutan dan bergabung dengan bangsa arimo.

Dengan itu, Tarigan dan Kembaren sama-sama memegang mandat alam liar (wildernis) Karo.

Menjadi pertanyaan menarik adalah mitologi Sultan Langkat yang mengaku Raja Melayu tapi juga mengaku keturunan Sibayak Kutabuluh alias Suku Karo. Saya katakan, agar ini tidak menjadi spekulasi dan manipulasi sejarah, bagaimana kalau diadakan Test DNA membuktikan apakah mereka benar keturunan Karo atau omong doang alias politis?

Salam mejuah-juah, Indonesia!

Foto head cover: Lukisan karya Okkie Barus yang diangkatnya dari foto penari Bernita br Sembiring yang sedang menarikan petani Karo di Karo Hilir karya Juara R. Ginting (Lokasi Hotel Danau Toba Internasional, Medan)

Aksi mengubur diri yang dilakukan petani Karo di Simalingkar (Kecamatan Pancurbatu, Deliserdang)

2 thoughts on “ULUN JANDI: Hubungan Pendatang–Pribumi di Suku Karo

  1. Bacaan bagus, keharusan bagi orang Karo dan juga suku-suku lain yang berdiam di Sumtim, Deli, Serdang dan Langkat. Pengetahuan dan Informasi di era Internet soal ethnic-cultural revival setelah melalui lintasan terjal ethnic-assertion and struggling for power dalam tiap nation dan khusus Sumut.
    “TUAN PRESIDEN, MANDAILING BUKAN BATAK” adalah salah satu pencerminannya. Dikalangan orang Karo disebut juga KBB (Karo Bukan Batak).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.