Kolom Eko Kuntadhi: USULAN MEREVISI 300 AYAT

Ada orang ngaku pendeta, namanya Syaefuddin Ibrahim. Sudah berganti menjadi Abraham ben Moses. Dia membuat pernyataan kontroversial. Syaefuddin –untuk mudahnya saya akan menyebutnya Udin– meminta kepada Kementerian Agama untuk merevisi 300 ayat dalam Alquran.

Udin ini aneh. Mana bisa sebuah teks kitab suci direvisi.

Kita bisa telusuri siapa Udin ini. Dia sebelumnya beragama Islam. Pernah jadi pengajar di pesantren Al Zaytun, pesantren yang dikenal penganut mazhab NII (Negara Islam Indonesia) ala Karto Suwiryo.

Lalu jadi mualaf, maksudnya pindah agama menjadi Kristen. Ketika dulu beragama Islam, dia aktif di NII. Nah, NII ini adalah gerombolan yang melegalkan kekerasan dan membenci umat lain. Sekaligus sebagai gerakan politik.

Jadi, ketika dia muslim, dia memang menafsirkan ayat-ayat Alquran sesuai persepsinya. Ke-300 ayat yang mau direvisi itu sebetulnya penafsiran Udin sendiri.

Buktinya apa? Buktinya gak semua umat Islam memahami ayat tersebut seperti dipahami Udin. Hanya sebagiak kecil saja yang punya pemahaman seperti Udin.

Makanya ketika masih muslim dia berkeras ikut gerombolan NII. Karena itu tadi, cara dia menafsir ayat, berbeda dengan orang lainnya. Cara dia memandang Alquran jauh sama Habib Quraish Syihab, misalnya.

Jadi ketika Udin pindah agama, yang pindah hanya ritual agamanya saja. Tapi cara berfikirnya gak berubah. Dia tetap Udin yang dulu. Udin yang menafsir Alquran sebagai legitimasi kekerasan dan kekejian.

Begini ya, Din.

Jumlah orang seperti kamu yang menjadikan agama sebagai legalisasi kekerasan itu gak banyak. Ada 1,9 miliar umat Islam di seluruh dunia. Sebagian besar tidak sebringas kelompokmu dulu. Mayoritas mereka menjalankan agama yang sehat. Yang ingin menjadi bagian dari kehidupan yang damai.

Iya, memang, ada sekelompok kecil yang menjadikan agama ini sebagai tunggangan untuk melakukan kekerasan. Mereka memelintir penafsiran untuk melegitimasi kekerasan itu. Tapi itu tafsirmu. Cara pandangmu terhadap kitab suci., Bukan kitab suci itu sendiri.

Soal kekerasan dengan legalisasi agama juga banyak terjadi pada agama lain. Bukan monopoli Islam saja.

Di abad pertengahan, kekerasan juga terjadi di masyarakat Kristen. Ada lembaga inkuisisi yang sadis, yang mengadili keimanan seseorang dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Dan lembaga inkuisisi ini berada di bawah naungan gereja saat itu.

Dengan legitimasi apa lembaga inkuisisi bergerak? Ya, legitimasinya adalah Alkitab. Maksudnya isi Alkitab yang mereka tafsirkan sendiri. Lengkap dengan latar belakang politik, kekuasaan, ekonomi, dan pengaruh.

Tapi saat itu, jutaan pemeluk Kristen juga gak setuju dengan tindakan berlebihan. Mereka lebih menganut ajaran kasih, ketimbang ajaran pemurnian agama yang ditafsir melawan kemanusiaan.

Demikian juga soal anti pengetahuan. Galileo Galilie yang meneruskan mazhab heliosentris dari Copernicus pernah dinyatakan sesat oleh geraja. Padahal apa yang dia rumuskan sampai saat ini menjadi rujukan ilmu pengatahuan mengenai astronomi.

Kekerasan juga terjadi di Burma, misalnya. Para penganut Buddha melakukan persekusi kepada umat Islam disana. Juga terjadi di Syuriah, ketika orang yang mengangkat bendera hitam bertuliskan arab membunuhi kelompok Yazidi.

Saat kemerdekaan India pada 1947, kekerasan agama juga terjadi antara Hindu dan Muslim. Makanya India akhirnya memecah diri menjadi Pakistan. Membuat Gandhi menangis sedih.

Di India, ada penganut Hindu seperti Gandhi. Ada penganut Hindu garis keras yang memuja kekerasan. Dan semuanya mengaku bersandar pada Bhagawat Ghita.

Ujung dari semua kekacauan ini adalah ketika agama diterjemahkan sebagai lawan dari kemanusiaan. Padahal seluruh agama pada hakekatnya hadir untuk meluhurkan nilai kemanuisaan itu sendiri.

Saya memandang problem ini terjadi karena nilai agama sebagai sesuatu yang sakral, ketika diterjemahkan dalam kehidupan, bercampur dengan kepentingan, ego, kepicikan, bahkan keserakahan. Akibatnya ada sekelompok orang yang menerjemahkan agama untuk melegalisasi nafsu purbanya sendiri. Agama disini jadi alat stempel.

Dan itu terjadi di semua agama. Bukan hanya satu agama saja.

Ada nasihat yang menarik bagi saya. Ujung dari keindahan beragama adalah menghargai kemanusiaan. Sebab semua agama justru bertujuan untuk memuliakan kemanusiaan.

Pemahaman agama yang kehilangan sifat kemanusiaan, akan jadi sejenis iblis yang memakai jubah.

Yang perlu direvisi adalah cara kita manafsir nilai agama. Yang perlu direvisi adalah isi kepala Udin dalam menafsir ayat. Yang perlu dipertajam adalah nilai kemanusiaan kita.

Penghargaan pada kemanusiaan adalah puncak beragama. Penghargaan pada kemanusiaan itu juga dasar dari sikap toleransi dan pengakuan pada pluralitas.

Orang-orang kayak Syaefuddin ini, saat jadi muslim, dia sumber masalah. Ketika masuk Kristen juga bikin masalah.

Intinya adalah isi kepalanya memang bermasalah. Bukan soal apa agamanya.

Syaefuddin pindah agama. Tapi cara berfikirnya gak berpindah. Isi kepalanya tetap Syaefuddin yang dulu.

“Mas, sesungguhnya Udin tetaplah anggota NII yang berprofesi sebagai pendeta,” ujar Abu Kumkum.

Iya, bener, Kum…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.