3 PENYANDANG DISABILITAS DARI SUKU KARO DALAM SEJARAH INDONESIA MODERN

Tulisan kali ini saya beri judul “3 Penyandang Disabilitas Suku Karo dalam Sejarah Indonesia Modern”. Mengapa?

 

Karena sangat sedikit sekali literatur yang memuat prestasi para penyandang disabilitas. Padahal, banyak sekali prestasi yang telah mereka torehkan. Bila dibuatkan daftarnya, mungkin 100 halaman kertas berukuran A4 dengan font size 12 spasi 1.5 tidak akan menckupi. Oleh karena itu pula, saya memberi batasan pada 3 orang yang saya pilih dan juga batasan pada lingkup Suku Karo.

Harapan saya, teman-teman dapat membuat tulisan yang sama dalam ruang lingkup daerah atau satuan etnis lainnya, atau juga dalam lingkup Suku Karo dengan data yang lebih lengkap.

Sebelumnya, kita juga harus buat batasan jelas kata Karo di sini merujuk pada Suku Karo yang secara garis besar penyandang 5 merga Karo yang dikenal dengan Merga Silima (Karo-Karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, Peranginangin) dengan banyak sub (sub-klan)-nya masing-masing dari 5 merga itu.




Saya pakai istilah ‘sub’ bukan ‘cabang’ yang sering dipergunakan banyak penulis. Karena saya menganggap kata ‘sub’ lebih tepat dibanding kata ‘cabang’, sebab jika bicara cabang berarti tumbuh dari batang, maka ini sudah pasti berkaitan dengan geneologi (garis keturunan). Sedangkan dalam tradisi Suku Karo dan merga-merganya, itu sangat tidak relevan. Dalam alam pikir budaya Karo berkaitan dengan merga (marga) bukan tumbuh dari (cabang tumbuh dari batang), tetapi berintegrasi (berbaur, bergabung, dsb) ke salah satu dari 5 merga Karo itu.

1. Ramona Purba

Ramona Navarof Purba atau Ramona Purba merupakan salah satu seniman (spesifik: penyanyi) asal Karo yang pernah populer di blantika musik nasional pada era 80-an dengan lagunya yang hitz kala itu, ‘Terlena’ dan ’Jalan Sore-sore’ yang tentu sangat familiar di telinga penikmat musik, khususnya anakmuda masa itu.

Pria kelahiran Kabanjahe, 12 Maret 1964 dari merga Karo-Karo Purba ini juga dijuluki sebagai ‘Stevie Wonder’nya Indonesia. Mengawali karier musiknya bersama Rudang Hotel Vocal Group yang membawakan lagu-lagu daerah Karo dan sering tampil di TVRI pada dekade 70-an. Pria yang seorang penyandang disabilitas (tuna netra) ini sangat melekat denga style bernyanyi sambil bergitar, layaknya vokalis-vokalis masa itu.

Suaranya yang merdu dan mendayu dengan nuansa rengget (legato) Karo membuat setiap lagu yang beliau nyanyikan akan terasa sejuk dan indah mendengarnya. Selain memiliki suara merdu, kepiawaiannya dalam bermain alat musik khususnya gitar dan keyboard juga tidak diragukan.




2. Cerdas Barus

Bagi Suku Karo, olahraga asah otak catur sudah menjadi permainan sehari-hari. Di wilayah Suku Karo, setiap pemukiman sekecil apapun wajib setidaknya ditemui minimal 2 kedai kopi. Tiap kedai kopi itu wajib tersedia koran dan papan catur. Bahkan, hampir di setiap rumah orang Karo juga ada papan catur.

Suku Karo juga memiliki permainan caturnya sendiri yang dikenal dengan Satur Karo (catur Karo).

Sejak masa kolonial, Taneh Karo juga dikenal sebagai sarangnya pecatur-pecatur handal yang militan, banyak juga yang misterius yang dalam masyarakat Karo sering disbut pemain gelap (tidak suka kompetisi resmi dan gelar). Tanah Karo juga dalam catatan sejarah pernah memiliki pecatur yang sangat ditakuti di masanya, bahkan satu di antaranya oleh media-media Kolonial dan di Daratan Eropah disebut sebagai Raja Catur dari Karo.

Narsar Karo-karo Purba yang oleh media disebut-sebut Raja Catur dari Karo karena berhasil menumbangkan banyak jawara-jawara catur dari seluruh Hindia Belanda dan orang Eropah yang sengaja datang menantangnya. Pa Kantur, demikian pangilan akrabnya juga sempat bermain imbang melawan Prof. Machgielis Euwe, PhD (Max Euwe).

Sebagai catatan tambahan, Max Euwe adalah seorang Grandmaster catur, matematikawan, dan penulis berkebangsaan Belanda dan menjadi orang ke 5 tercatat sebagai Juara Catur Dunia (1935 – 1937), yang kemudian menjabat Presiden FIDE (Fédération Internationale des Échecs/ Federasi Catur Dunia) dari tahun 1970 hingga 1978.

Mama Karo (panggilan bagi kaum pria dari klan Karo-Karo) berikutnya ini juga seorang pecatur handal yang pernah dimiliki Indonesia dan tentunya Suku Karo. Cerdas Karo-karo Barus atau lebih familiar Cerdas Barus juga satu dari 7 pemegang gelar Grandmaster dari Indonesia (+ 1 GMW). Bahkan, satu-satunya Grandmaster dari Pulau Sumatera (silahkan dikoreksi jika ada update terbaru).




Memulai karier internasionalnya saat masuk dalam anggota regu Kota Medan pada Kejuaraan Kota Asia di Hongkong (1983), disusul satu tahun berikutnya pada Olimpiade Catur di Yunani (1984), sejak itu Barus menjadi langganan dalam kompetisi catur bergengsi baik di Indonesia maupun Internasional.

Tahun 2003 adalah masa berat baginya dan turut menghambat karienya yang kala itu sedang bersinar. Pasalnya, beliau mengalami insiden tromatik, yakni perlakuan kasar (dipukul) di Bandara Internasional Soekaro – Hatta. Insiden yang bermula dari suara detikan jarum jam yang biasa dibawanya menemainnya selama ini yang oleh petugas bandara dicurigai sebagai bom dan berbuntut pemukulan terhadapnya, membuatnya harus istirahat panjang dan tidak tampil dalam kejuaraan apapun selama 5 tahun.

Banyak yang menyayangkan insiden tersebut. Apalagi saat itu karir Cerdas Barus harusnya sedang pada puncaknya, dimana sebelumnya di November 2002, Cerdas Barus berhasil memenangkan mendali emas pada Olimpiade Catur di Bled (Slovenia) dan meraih norma GM ketiganya (pertama Jakarta 1997 dan ke dua Surabaya 2002) setelah mengumpulkan angka 8,5 dari 10 partai.




Pria kelahiran Dataran Tinggi Karo, 1 Januari 1961 dengan ID Fide: 71000094 ini merupakan seorang penyandang disabilitas (tuna rungu dan tuna wicara) sejak lahir, namun mampu menjadi seorang GM di masanya dan mungkin satu-satunya di dunia. Sebuah prestasi yang sangat luarbiasa dan mebanggakan.

3. Julia Verawati Sembiring

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya juga bagi masyarakat Suku Karo, mungkin nama Julia Verawati beru Sembiring atau Julia Verawati tidak sepopuler atlet asal Karo lainnya, sebut saja seperti Advent Bangun (alm.) atau atlet muda bulutangkis andalan Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting yang tampil inpresif di gelaran Asian Games 2018 lalu dan saat menjuarai Victor China Open 2018.




Julia Verawati adalah salah satu atlit Indonesia yang turut memperkuat kontingen Indonesia di Asian Paragames 2018 yang baru saja selesai dilaksanakan di Jakarta, dimana Indonesia sebagai tuan rumah berhasil mengumpulkan 135 mendali (37 emas, 47 perak, dan 51 perunggu) menduduki posisi ke 5 dari 43 negara peserta.

Bukan satu. Tapi 2 mendali emas yang berhasil disumbangkan beru Sembiring kelahiran Medan, 2 Juli 1981 ini untuk Indonesia dari cabang olahraga Lawn Bowls pada nomor perorangan dan nomor ganda campuran.

Catatan prestasi Julia cukup baik dalam karier atletnya dalam 2 tahun terakhir ini. Pada Tahun 2016 dia berhasil meraih mendali perak (Tenpin Bowling) di Perpanas Jawa Barat, mendali perak (Tenpin Bowling) HWDI Bowling Tournament 2017, mendali perunggu (Lawn Bowls) Langkawi Goodwill Game 2018, dan 2 mendali emas (Lawn Bowls) di Asian Paragames 2018. Suatu pencapaian yang sangat luar biasa, dan tentunya menjadi motivasi bagi generasi muda Indonesia, tekhususnya lagi bagi kaum disabilitas.

Masih banyak sekali prestasi dari penyandang disabilitas yang dari berbagai profesi, mulai dari atlet, pemusik, pelukis, hingga penginjil. Namun 3 nama di atas saya sajikan sebagai contoh dan kiranya dapat memberi motivasi bagi kita semua.

Mejuah-juah Indonesiaku.




One thought on “3 PENYANDANG DISABILITAS DARI SUKU KARO DALAM SEJARAH INDONESIA MODERN

  1. Tulisan bermanfaat, mencerahkan dan memberi semangat bagi kita semua terutama sekali bagi penyandang disabilitas.
    Bujur
    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.