Analysis Harga Sayuran: RIIL DAN TIDAK RIIL

Oleh JUARA R. GINTING dan ELISABETH BARUS

Dalam berita harga cabe Pagi kemarin [Jumat 24/11] kami menggunakan istilah riil dan tidak riil terkait harga cabe: “…. Melambungnya harga cabe merah keriting tiga hari lalu dan masih naik lagi kemarin dulu ternyata tidak riil …. Naik turunnya harga cabe jengki dan cabe caplak masih bisa dikatakan riil karena tidak setajam naik turunnya cabe merah keriting ….”

Apakah yang dimaksudkan dengan riil dan tidak riil terkait harga ini?

Mari kita mengulangi sejenak hukum pasar. Menurut hukum pasar, harga ditentukan oleh perbandingan antara ketersediaan barang dan besarnya permintaan. Bila jumlah barang tetap sementara permintaan meningkat, maka harga barang akan naik. Bila permintaan turun maka harga barang juga turun.

Sebaliknya, bila ketersediaan barang menurun permintaan tetap, maka harga meningkat. Bila ketersediaan barang meningkat sedangkan permintaan tetap, maka hargapun menurun.

Riil dan tidak riilnya harga terkait dengan ketersediaan barang. Sebagaimana terjadi pada kasus cabe merah keriting barusan, jumlah barang yang mengalir ke pasar menurun, tapi bukan berarti sama sekali tidak ada barangnya.

Hujan terus menerus yang menerpa Sumut dan Aceh membuat para petani menunda panen cabe merah keriting. Bukan hanya karena menghindari basah diterpa hujan, tapi batang cabe akan rusak bila buahnya dipanen saat hujan.

Itu kita katakan tidak riil karena para petani dan pedagang Indonesia belum terbiasa mengikuti ramalan cuaca sehingga mereka terkejut karena tidak menduga tiba-tiba saja barang kosong di pasar. Otomatis harganya pun melambung tinggi.

Harga yang melambung tinggi membuat para petani tergoda pula untuk mencuri-curi kesempatan memanen cabenya. Tidak mengherankan pula bila sehari atau dua hari kemudian harganya tiba-tiba turun drastis.

Kasus seperti itu bisa kita bandingkan dengan angka tekanan darah bila diukur oleh perawat di rumah sakit. Biasanya tekanan darah lebih tinggi di rumah sakit daripada diukur di rumah sendiri. Angka tekanan darah di rumah sakit itu bisa dikatakan tidak riil.

Dalam meramalkan naik turunnya harga cabe, kita bisa menyebut harga tidak riil ini dengan istilah harga sementara.

Ketidakriilan harga bisa juga terkait dengan naik turunnya produksi mengikuti ritme musim panen. Pernah suatu ketika beberapa tahun harga tomat sampai pada titik terendah. Seorang politikus Karo dan seorang lainnya yang aktivis facebook berteriak-teriak di media sosial. Mereka menuntut pemerintah melakukan intervensi harga.

Menurut pengamatan kami, mereka hanya mengambil kesempatan rendahnya harga tomat untuk meningkatkan popularitas sebagai orang yang prihatin terhadap nasib petani. Mereka tidak peduli ketika ada yang mengingatkan hukum pasar.

“Kalau itu, semua kita sudah tahu,” katanya ketika ada yang mengingatkan untuk tidak lupa pada hukum pasar itu.

Orang yang mengingatkan itu sebenarnya hendak lanjut menjelaskan kalau sekarang sedang membanjir tomat. Bahkan banyak tomat yang batangnya sudah tua, yang sudah saatnya diganti dengan penanaman baru, tetap menghasilkan buah yang kemudian mengalir ke pasar.

Jadi, ketika mereka menemukan vidio adanya petani yang membabat batang-batang tomatnya, mereka merasa terkonfirmasi atas fakta betapa kasihannya nasib petani tomat Karo saat itu. Padahal, itu memang batang-batang tomat yang sudah saatnya dibabat meskipun masih tetap menghasilkan buah yang kualitasnya rendah.

Berbicara mengenai petani, orang-orang di Indonesia memang selalu menempatkan petani sebagai orang papa yang pantas dikasihani. Mungkin ini masih pengaruh propaganda kaum komunis di masa lalu dimana petani selalu ditempatkan sebagai korban pemilik modal.

Itu mungkin karena petani yang diperjuangkan oleh kaum komunis di masa lalu kebanyakan adalah buruh tani yang tidak memiliki tanah sendiri. Itu berbeda sekali dengan para petani Karo yang kebanyakan bekerja di ladang sendiri dan kadang mengupahkannya kepada para buruh tani yang datang dari Tanah Batak atau Pulau Nias.

Seperti kenalan kami baru-baru ini. Setelah panen tomat, dia langsung membeli sebuah mobil pribadi dan kemudian menanam wortel di lahan hitungan hektar. Dia sendiri adalah seorang sarjana dari salah satu universitas di Medan.

Apa yang dialami oleh kenalan kami itu adalah sesuatu yang lazim di kalangan petani Karo. Tapi, memang, sudah merupakan ocehan latah kalau petani itu hidupnya susah dan menderita. Padahal, kalau sakit, mereka berobatnya ke Penang (Malaysia).

Jangankan sakit, checkup kesehatan saja mereka ke Penang. Jangan heran kalau di jalan-jalan Kota Penang kita mendengar orang-orang berbicara dalam Bahasa Karo di jalanan.

Tapi, itu tadi, memang sudah terbiasa dengan ocehan latah kalau petani itu selalu ada di posisi korban.

Kami memperhitungkan dengan harga cabe merah keriting di atas Rp. 20 ribu/ kg, petaninya masih beruntung, Ketika kami memberitakan harga cabe merah keriting turun dari harga Rp. 35 ribu/ kg ke harga Rp. 30 ribu/ kg, misalnya, masih ada saja petani mengeluhkan tingginya harga pupuk.

Kami sudah memperhitungkan harga pupuk yang tinggi itu dalam menyimpulkan harga cabe merah keriting di atas Rp. 20 ribu/ kg sudah menguntungkan petaninya. Hanya saja, para petani Karo rupanya tidak pernah puas.

Itulah salah satu contoh pikiran yang tidak riil. Kalau dihitung dengan serius pemasukan para petani per tahunnya, masih jauh lebih tinggi daripada pemasukan pegawai negeri.

Memang, permodalan masih merupakan kendala bagi sebagian orang untuk “berani” bertani. Kami katakan “berani” karena bertani ini juga banyak resikonya, baik akibat cuaca yang sekarang ini tidak menentu maupun akibat fluktuasi harga (harga yang tidak menentu dan sulit diramalkan).

Kedua hal itu bisa membuat petani terpuruk dan tidak bisa bangkit lagi pada musim tanam berikutnya. Untuk itu, memang perlu dikemas sistim permodalan yang lebih rapi dan menjamin.

Begitulah yang kami maksud dengan RIIL (dari kosa kata Inggris REAL) yang artinya adalah kenyataannya. Beda dengan propaganda atau “perasaan lae saja”.

Karena itu, dalam Pilpres 2024 ini, kami kurang tertarik untuk berkompetisi dengan “adu gagasan” tapi lebih memilih “adu data lapangan”. Lebih dekat pada kenyataan.

Satu contoh lain mengenai kondisi tidak riil tapi di atas kertas kita bisa tertipu di dalam menyimpulkan. Pada saat harga cabe merah keriting berada pada angka Rp. 60 ribu/ kg empat hari lalu, banyak orang akan menduga kalau para petani cabe merah keriting akan bersoraksorai gembira.

Apa yang mau digembirakan kalau mereka sendiri tidak panen? Harga di pasar memang tinggi. Ibu-ibu rumah tangga pasti mengeluh dengan melambungnya harga cabe merah keriting dan, bila berkepanjangan, maka akan menaikan angka inflasi sehingga harga barang-barang lainnya juga naik. Tapi, ini hanya menguntungkan segelintir petani yang berhasil memanen cabenya.

Menemukan realitas itu tidak mudah. Jangan percaya dengan selayang pandang sudah langsung berhasil menemukan realitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.