Kolom Joni H. Tarigan: BAHASA ANAK

joni hendra tariganbahasa 2Beberapa keluarga protes kepada kami (saya dan istri) ketika berada di kampung (Dataran Tinggi Karo). Protes itu karena kami berbicara bahasa Indonesia kepada anak kami yang berumur 2 tahun. Kerabat yang protes itu mengatakan: “Janganlah berbahasa Indonesia, berbahasa Karo saja, nanti anak ini akan kehilangan dirinya sebagai Karo”. Kami hanya menimpali protes itu dengan senyum dan tertawa.

Mari kita lihat proses bagaimana seorang manusia itu bisa memahami sesuatu (ini pemahaman pribadi). Ketika di kandungan, si bayi memahami keberadaanya lewat ibunya. Ini kemudian yang membuat kebanyakan orang menganjurkan agar si ibu menjaga suasana hatinya. Setelah lahir ia mulai memahmi sekelilingnya dengan suara, panas dan dingin, serta juga emosi ibunya dan mungkin juga emosi orang di sekitarnya.


[one_fourth]nada suara dan tindakan[/one_fourth]

Anak akan meningkatkan pemahamannya dengan nada suara dan tindakan orang-orang yang ia lihat. Pada tahap ini, si anak akan mendefenisikan suatu kata ketika melihat atau merasakan kejadian terntentu. Misalnya, kita mengatakan jatuh ketika buku yang kita pegang terjatuh maka si anak akan mendefiniskan sesuatu yang dari atas ke bawah itu jatuh (padahal turun juga bisa). Pada tahap ini juga anak mulai mengucapkan kata seperti yang ia dengar.

Dari sisi pemahaman bahasa, seorang anak memahami arti dengan melihat atau mengalami kejadian.  Maka jika langsung kami terapkan  bahasa Karo untuk kami apa salahnya? Tentu tidak ada salahnya, dan kami yakin anak kami akan dengan cepat memahami bahasa Karo. Tetapi kami tetap belum berbahasa Karo terhadap anak kami.

Bagi kami, yang tinggal di Kabupaten Bandung, anak ini akan berinteraksi di luar rumah bukan dengan orang Karo. Kami membayangkan bagaimana ia akan terbeban dengan kebingungan karena apa yang diucapkan orang lain tidak mengerti dan juga orang lain yang berbicara tidak dimengerti anak kami.

Saat ini, yang menjadi fokus kami adalah bagaimana anak kami bisa terlatih berpikir kritis dan kreatif. Itu bisa terwujud jika media komunikasi (bahasa) itu adalah bahasa yang ia mengerti di rumah dan juga di mengerti orang lain di luar rumah.

bahasa 3Bagi kami, menumbuhkan pemahaman anak itulah yang paling utama bukan jenis bahasa apa yang utama. Karena kami di lingkungan yang kebanyakan orang berbahasa Indonesia, dengan bahasa itulah kami didik anak ini. Ketika kemudian si anak sudah bisa memahami kehidupannya, barulah kemudian akan kami tambahkan bahasa-bahasa lain untuk ia ketahui.  Karena kami orang Karo, sudah tentu bahasa karo akan kami ajari.

Kami (saya dan istri) kebanyakan berbahasa Karo dan juga Indonesia. Kadang anak kami mendengarkan kami berbahasa Karo, sehingga saat ini anak kami sudah mengerti “ue = ya; enggo = sudah; anjar-anjar= pelan-pelan). Pada umur 2 tahun 2 bulan, anak kami sudah bisa berbicara bahasa Indonesia dan menunjukkan karakter yang kritis dan kreatif.

Untuk pertumbuhan anak-anak kita, sebagai orang Karo, bukan masalah cinta atau tidak sama kekaroan kita. Kita harus melihat di mana lingkungan kita. Kita harus bertanggungjawab agar anak kita menerima haknya mampu berpikir kreatif dan kritis. Sama halnya dengan orangtua yang ingin anaknya pintar berbahasa Inggris, sejak bayi disuguhi yang English English segala. Begitu bermain dengan anak-anak tetangga, anak kita pun ditinggal anak tetangga karena bahasa yang tidak dimengerti temannya. Terutama bagi kita Karo yang dirantau, bahasa pengantar untuk anak kita sudah tentu harus dengan bahasa lingkungan kita.

Sekali lagi bukan masalah cinta atau tidak sama Karo, tetapi kita harus mengantarkan anak kita memahami lingkungannya. Kelak bahasa Karo dan bahasa lain itu tidak terlambat untuk kita ajarkan.

Salam semangat dan perjuangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.