BAHAYA PEMBERITAAN STIGMA PADA SEBUAH PENYAKIT

Oleh MARIA KRISTI

Setelah lebih dari 10 tahun berkecimpung dalam dunia medis, ada satu hal yang saya sadari: bahayanya pemberian stigma pada suatu penyakit. KBBI mendefinisikan stigma sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

Jika stigma disematkan pada penderita penyakit, orang tersebut mengalami penderitaan ganda.

Pertama adalah penderitaan karena penyakit yang diidapnya dan kemudian penderitaan karena stigma yang disematkan masyarakat pada penyakitnya.

Ada banyak penyakit yang diberi stigma oleh masyarakat sejak dahulu sampai saat ini. Contoh penyakit yang distigma di masa lalu adalah kusta. Di masyarakat Yahudi kuno, penderita kusta diasingkan karena dianggap tidak tahir dan harus tinggal di luar kota.

Mereka juga dilarang beribadah di Bait Allah selama menderita kusta. Saat ini, jika ada penderita kusta yang diasingkan oleh masyarakat tentu saja sudah bukan karena dianggap tidak tahir, melainkan karena ketakutan tertular penyakit.

Bukan hanya kusta, ada berapa penyakit lain yang menyebabkan penderitanya dijauhi di masa kini karena ketakutan tertular. Contohnya antara lain tuberkulosis, HIV-AIDS, dan jangan lupakan yang baru-baru ini membuat kita semua mendekam di dalam rumah selama hampir tiga tahun: COVID-19.

Selain ketakutan masyarakat akan penularan penyakit, ada penyakit-penyakit yang diberi stigma terkait anggapan tentang gaya hidup pengidapnya. Sebut saja tuberkulosis dan stunting yang diidentikkan dengan kemiskinan, serta HIV-AIDS yang diidentikkan dengan pergaulan bebas dan pemakaian Narkoba.

Stigma-stigma yang melekat pada penyakit tertentu itu menyebabkan penderitanya enggan untuk memeriksakan diri ke dokter. Mereka takut terkena stigma, takut dijauhi masyarakat, bahkan tidak jarang menjadi marah jika diberitahu bahwa menderita penyakit tertentu.

Inilah yang menyebabkan ada istilah “vonis dokter”, seolah-olah jika dokter tidak memberitahu bahwa seseorang menderita tuberkulosis (atau kusta atau HIV-AIDS, atau penyakit apapun yang distigma masyarakat) maka penyakit tersebut tidak ada. Padahal kan tidak begitu.

Hal yang diberitahukan dokter pada pasiennya adalah diagnosis. Dalam hal ini, dokter lebih menyerupai seorang detektif yang mencari tahu apa yang terjadi (diagnosis atau nama penyakit) berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada (gejala, tanda, dan hasil pemeriksaan penunjang).

Dokter tidak sama dengan hakim yang vonisnya, jika tidak diucapkan, berarti tidak ada. Jika seorang terdakwa divonis hakim empat tahun penjara, maka ia akan masuk penjara selama empat tahun, namun jika divonis bebas maka ia akan bebas.

Selain takut memeriksakan diri ke dokter, orang yang sudah didiagnosis penyakit yang “kebetulan” memiliki stigma memiliki kemungkinan untuk tidak melanjutkan pengobatannya. Mengapa? Ya karena takut ketahuan oleh masyarakat tadi.

Akibatnya, penyakitnya akan menjadi semakin parah dan, jika penyakit ini termasuk penyakit menular, bukan tidak mungkin ia akan menyebarkan penyakit itu kepada lebih banyak orang (karena tidak diobati sampai tuntas).

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa membebaskan penyakit-penyakit tersebut dari stigma. Mempelajari tentang suatu penyakit akan membuat kita lebih paham tentang gejala, tanda, cara penularannya, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam pengobatannya.

Dengan lebih memahami tentang hal-hal ini, ketakutan berlebihan kita akan teratasi. Kita tidak lagi takut tertular penyakit jika kita tahu cara pencegahannya. Kita tidak lagi mencap orang dengan penyakit tertentu memiliki gaya hidup tertentu.

Kita bisa menjadi warga yang lebih berempati dan welas asih. Pada akhirnya, kita akan menciptakan dunia yang lebih baik dan sehat bagi semua orang.

Yuk, kita cegah pemberian stigma pada penyakit.

* Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.