BISAKAH TERWUJUD “TOBA BUKAN BATAK”? — Pengetahuan Orang Karo Tentang Batak atau Batak Toba Sangat Minim

Dalam Dunia Tulis Menulis, mereka sering disebut dan menyebut diri Batak Toba dengan asumsi bahwa Batak mencakup Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Karo. Dalam bahasa sehari-hari, istilah Batak yang mereka pergunakan terbatas pada kelompok-kelompok yang disebut Toba (Partoba), Samosir (Parsamosir), Humbang (Parhumbang), dan Silindung (Parsilindung).

Misalnya saja, pengumuman untuk Kebaktian Minggu di beberapa rumah ibadah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), disebut jam berapa ke jam berapa Kebaktian Bahasa Indonesia dan jam berapa ke jam berapa Kebaktian Bahasa Batak.

Itu mengindikasikan ada sebuah kelompok sosial yang bahasa daerahnya adalah Bahasa Batak. Mari perhatikan dengan seksama dengan perenungan mendalam mempertanyakan siapa kira-kira yang mereka maksud berbahasa daerah Bahasa Batak ini.

Orang-orang di luar Sumut umumnya tidak tahu kalau orang-orang Karo sama sekali tidak mengerti Bahasa Batak kalau tidak mempelajarinya. Beberapa orang luar tahu, tapi sebagian besar orang-orang di luar Sumut tidak tahu bahasa pemersatu Batak yang diasumsikan mencakup Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Karo.

Karo beda sedikit dengan Simalungun dan Pakpak yang memang sejak kanak-kanak banyak orang-orang Pakpak dan Simalungun sudah terbiasa berdampingan dengan orang-orang Batak sehingga banyak diantara mereka lancar berbahasa Batak. Lain lagi dengan Angkola dan Mandailing. Terhadap Bahasa Batak, Bahasa Angkola dan Bahasa Mandailing banyak miripnya seperti miripnya Bahasa Karo dengan Bahasa Pakpak.

Bagaimanapun juga, sudah sangat jelas yang mereka maksud dengan Bahasa Batak seperti diumumkan di rumah-rumah ibadah HKBP itu bukanlah yang mencakap Batak ini dan Batak itu, tapi terbatas pada orang-orang Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung. Keempat kelompok ini dalam komunikasi sesama mereka secara lisan mengakui dirinya “hita Batak on” yang dalam Dunia Tulis Menulis disebut dan menyebut diri Suku Batak Toba.

Lalu, dalam debat-debat terkait Gerakan KBB (Karo Bukan Batak) sebagian kita mengatakan tidak ada Batak dengan alasan kalau Batak adalah konstruksi Belanda bersama missionaris Nomensen. Mereka berasumsi kalau Batak Toba adalah istilah lain dari Toba seperti halnya Batak Karo istilah lain dari Karo. Oleh karena itu, ketika belakangan ini sebagian orang-orang Toba mengatakan pula bahwa mereka adalah Suku Toba Bukan Batak, mereka menganggapnya sama seperti Karo menolak disebut Batak Karo.

Orang-orang Karo umumnya tidak tahu kalau Toba itu adalah salah satu dari Batak yang terdiri dari Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung. Mereka pikir pengakuan Toba Bukan Batak adalah sebuah penolakan disebut Batak Toba seperti Karo menolak penyebutan Batak Karo.

Perhtikan komposisi suku-suku di Sumut menurut website DPRD Sumut. Komposisi suku-suku yang sama terlihat juga di website resmi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Saya juga berada di posisi yang menganggap tidak ada Batak yang mencakup Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing kecuali sebagai Fakta Kepustakaan (lihat dua tulisan saya sebelumnya) di media ini. Tapi, jangan terlalu percaya tidak ada Batak sama sekali karena jelas sekali ada orang-orang menganggap dirinya Suku Batak yang memiliki satu bahasa yaitu Bahasa Batak.

Mari kita hormati mereka. Mengatakan tidak ada Suku Batak adalah sebuah penghinaan bagi mereka.

Perlu diketahui, pembedaan Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung bukan hanya sekedar pembagian wilayah, tapi juga pengelompokan marga-marga dari Suku Batak.

Kalau kam katakan dirindu Anak Singalorlau, belum bisa orang-orang Karo lainnya langsung menduga apa mergandu. Di setiap kampung Karo (kuta) sudah ada Merga Silima, tercemin pada Aron Beru Silima di setiap kerja tahun.

Tapi, kalau mereka mengatakan dirinya Parhumbang, kam sudah bisa menebak mereka pasti bukan Simbolon, Simarmata, Tamba, Naibaho, Sagala, dan beberapa lainnya yang menyebut diri Parsamosir. Sudah pasti pula bukan Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Siregar, Tobing, Hutabarat, Panggabean, Panjaitan yang menyebut diri Parsilindung. Juga sudah pasti bukan Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede, Sitorus, Pasaribu, Situmorang, dan lain-lain yang menyebut diri Partoba.

Marga-marga yang menyebut dirinya Parhumbang adalah  Simatupang, Siburian, Sihombing, Lumban Toruan, Purba, Nababan, dan lain-lain. Lihat artikel Wikipedia di tautan ini –> Marga Batak di Humbang – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

Nah, kam juga perlu tahu bahwa Parsilindung sama sekali tidak mau disebut Suku Toba. Demikian juga Parhumbang, dan Parsamosir. Ini bukan main-main. Mereka bisa menerima disebut Suku Batak Toba karena memang sudah Bahasa Tulis Menulis sejak Jaman Kolonial. Tapi jangan sekali-kali menyebut mereka Suku Toba. Biasanya mereka anggap itu sebagai penghinaan.

Kalau ada sebagian Partoba mengatakan mereka adalah Suku Toba Bukan Batak, mereka akan menghadapi rintangan 100 kali lebih berat daripada rintangan yang dihadapi perjuangan Suku Karo Bukan Batak. Sebabnya, mereka menggunakan Bahasa Batak. Memang Sisingamangaraja 12 mengaku diri “ahu Raja Toba“, tapi tidak pernah ada Bahasa Toba (Hata Toba) kecuali Hata Batak atau di kepustakaan biasa disebut Bahasa Batak-Toba.

Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo) di tahun 1989. Foto: Juara R. Ginting

Saya tahu, orang-orang Karo minim sekali pengetahuannya mengenai orang-orang Batak Toba sehingga tidak melihat perbedaan yang jauh sekali antara Karo dan Batak Toba. Seperti tadi saya katakan, bukan hanya di wilayah Singalorlau, Berneh, Baluren, Gunung-gunung, Julu, Sinuan Bunga, dan Sinuan Gamber semua merga Karo ada. Di setiap kampung Karo ada semua merga Karo di dalamnya.

Lain dengan kampung-kampung Batak Toba, hanya istri-istri mereka yang berasal dari luar wilayah mereka. Sementara para lelakinya berasal dari wilayah setempat yang sama dan merupakan bagian dari kesatuan marga yang sama.

Saya ambil contoh Ronggur Ni Huta di Samosir. Mereka tinggal di lumban-lumban yang berbeda. Masing-masing lumban ditempati oleh orang-orang bersaudara seketurunan ayah, kakek atau generasi lebih atas lagi. Tapi jelas mereka satu kesatuan dongan tubu atau dongan sabutuha dan dari marga yang sama. Tidak ada marga lain tinggal di satu lumban.

Marga-marga yang mendirikan lumban-lumban di Ronggur Ni Huta adalah Simbolon, Simarmata, Tamba, dan lain-lain yang semuanya tergolong Parna.

Sejak mereka dengan kuatnya menganut Dalihan Na Tolu, mereka menyebut sesama Parna dongan sabutuha atau dongan tubu yang di Karo bisa dibandingkan dengan sembuyak. Seolah-olah tidak ada lagi dongan sahuta (kawan sekampung) yang bisa dibandingkan ke Karo dengan senina.

Di Karo, semua merga yang terhimpun di dalam Siwah Sada Ginting berhubungan sembuyak satu sama lain, tapi dengan Munte, Jawak, Manik dan lain-lain yang terhimpun di dalam Sipitu Kuta mereka berhubungan senina.

Memang di sebuah wilayah yang disebut bius (sebanding dengan urung di Karo), ada beberapa huta dan salah satunya dari marga boru. Bius Limbong (di kaki Pusuk Buhit), misalnya, kebanyakan huta didirikan oleh marga Sagala. Tapi ada huta bernama Bonan Dolok yang didirikan oleh marga Simanjorang. Simanjorang adalah boru sihabolonan (anak beru simbelin) dari Sagala si pendiri Bius Limbong.

Dengan asumsi Toba adalah suku mandiri dan bukan bagian Batak, maka muncul pertanyaan apa jadinya dengan Samosir, Silindung, dan Humbang? Apakah tinggal mereka yang Batak? Bagaimana mereka bisa mengaku sebagai Batak Toba di Dunia Tulis Menulis kalau kelompok Tobanya sendiri sudah tidak mau mengaku Batak? Di atas kertas hampir tidak mungkin terwujud Toba Bukan Batak.

Bagi orang-orang Karo, asumsi Toba Bukan Batak kemungkinan besar menganggap Toba yang mereka maksud adalah semua yang disebut di Kepustakaan Batak Toba atau dulu disebut oleh orang-orang Karo Kalak Teba. Anggapan itu salah. Toba Bukan Batak merujuk hanya pada marga-marga dari wilayah Toba seperti Bakkara, Harianboho, bagian Selatan Samosir, Balige, Laguboti, Porsea, Parsoburan, Sigumpar. Marga-marga dari sana antara lain Pasaribu, Situmorang, Napitupulu, Simangunsong, Marpaung, Pardede, dan Sitorus.

Anggapan yang salah itu seolah-olah mengkonfirmasi asumsi mereka tidak ada Batak kecuali yang diciptakan Belanda ataupun Nomensen.

Kita perlu hati-hati dalam hal ini. Jauh sebelum Kolonialisme, Ferdinan Mendez Pinto sudah menulis adanya Batak meskipun Pinto tidak membuatnya jelas wilayahnya. Itu dia tulis dalam laporan perjalanannya terbit pada tahun 1583 (sebagai perbandingan, VOC baru berdiri pada tahun 1602). Kolonial Inggris sudah mengakui adanya Batak yang tercermin di dalam bukunya William Marsden berjudul THE HISTORY OF SUMATERA terbit pada tahun 1811.

Buku John Anderson yang terbit pada tahun 1826 dengan judul MISSION TO THE EAST COAST OF SUMATERA IN 1823 juga sudah menyebut Batak dan bahkan menggunakan istilah “the Karo Batak”. Memang, saya mengkritik Anderson dalam sebuah artikel berjudul INTER-GROUP RELATIONS IN NORTH SUMATRA diterbitkan oleh International Institute of Asian Studies (Leiden) pada tahun 2002.

Inter-group Relations in North Sumatra (Chapter 16) – Tribal Communities in the Malay World (cambridge.org)

Namun, pada saat buku Marsden dan Anderson sudah beredar, Belanda masih jauh. Terbantahkan asumsi Batak adalah ciptaan Belanda maupun Nomensen. Di sisi lain, terlihat ada sebuah kesatuan terintegrasi antara Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung yang sama-sama menggunakan Bahasa Batak dan mengakui dirinya Batak. Ini harus kita hormati.

Jangan sempat mengatakan tidak ada Suku Batak. Mereka akan merasa dihina seperti ketika mereka mengatakan tidak ada Suku Karo (kasus yang masih panas) yang membuat orang-orang Karo marah karena merasa dihina..

Yang kita tolak adalah Pembatakan Karo. Karo Bukan Batak.

Mejuah-juah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.