Kolom Juara R. Ginting: DAMPAK KEPUTUSAN MKMK UNTUK PILPRES 2024

Keputusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) kemarin [Selasa 7/11] adalah untuk menemukan ada tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh para hakim MK (Mahkamah Konstitusi) dalam mengambil keputusan batas usia terendah Calon Presiden (Capres) RI.

MKMK bahkan mengebut pengambilan keputusan pada tanggal 7 November 2023 untuk memberi kesempatan pergantian Bacawapres hari ini 8 November 2023 bila diperlukan.

Itu memastikan adanya hubungan erat antara Sidang Etik MKMK itu dengan Pilpres 2023. Lalu, pertanyaan kita, adakah dampak Keputusan MKMK itu terhadap Pilpres 2024?

Secara umum, Keputusan MKMK kemarin menyatakan adanya beberapa pelanggaran etik yang dilakukan oleh para hakim MK dalam mengambil keputusan terhadap usia terendah Capres RI.

Ada pelanggaran ringan dan ada pula pelanggaran berat. Pelanggaran ringan sifatnya adalah kelalaian saja karena para hakim menganggapnya sudah sebagai kewajaran selama ini dalam persidangan.

Misalnya prinsip kesataraan diantara hakim dilanggar dan itu sudah dianggap sebagai kewajaran. Semua hakim dinyatakan melakukan pelanggaran ringan atas prinsip kesetaraan ini.

Pelanggaran ringan lainnya adalah berlaku terhadap prinsip kemandirian (independensi) masing-masing hakim yang terkait pula dengan kebebasan berbeda pendapat diantara para hakim serta kerahasian perbedaan pendapat ini terhadap publik.

Adanya ketidaksetujuan salah satu hakim terhadap keputusan akhir tidak harus merubah keputusan akhir, tapi ketidaksetujuan itu harus disampaikan kepada publik.

MKMK menjatuhkan penilaian pelanggaran berat telah dilakukan oleh Ketua MK (Anwar Usman) yang semuanya berada di seputar apa yang disebut “conflict of interest”. Sidang MK itu sendiri dilaksana terkait dengan sebuah permohonan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap undang-undang yang membatasi usia Capres RI.

Dari semua penelusuran, MKMK menilai kalau sidang itu sangat eksplisit terkait dengan pencalonan Gibran Rangkabuming Raka yang merupakan kerabat dekat salah seorang hakim MK, yaitu ketuanya sendiri (Anwar Usman).

Keputusan MK akan menentukan apakah Gibran bisa diajukan menjadi Bacawapres atau tidak. Adanya hubungan kerabat antara Gibran dengan Anwar Usman mengasumsikan adanya keberpihakan yang disebut “conflict of interest”. Dalam hal ini MKMK sebagai komisi etik mengatakan, “seharusnya Anwar Usman tidak mengikuti persidangan”.

Melihat reaksi-reaksi publik di berbagai media, baik media sosial maupun media konvensional, kiranya publik di Indonesia cukup puas atas Keputusan MKMK. Memang ada pakar hukum dan pakar tata negara yang mengatakan kalau MKMK bisa menjatuhi Anwar Usman tidak hanya hukuman diberhentikan dari Ketua MK, tapi pemberhentian secara tidak hormat dari kedudukannya sebagai Hakim MK.

Namun, mereka juga menyadari mengapa MKMK tidak mengambil tindakan itu. Pemberhentian dari hakim MK secara tidak hormat akan memberinya kesempatan mendapatkan sidang MKMK bandingan. Dengan begitu, episode Sinetron Pangeran Mahkota Solo masih akan berlanjut.

“Itu bisa memancing kekacauan Pilpres 2024,” kata sebagian pengamat.

Namun, bagaimanapun juga, ada orang-orang yang tercemar oleh Keputusan MKMK itu. Semuanya berada di lingkaran Presiden RI (Jokowidodo).

Pertama adalah besannya sendiri Anwar Usman. Ke dua adalah putranya (Gibran Rangkabuming Raka) yang diuntungkan langhsung oleh Keputusan MK yang dipimpin oleh pamannya itu. Ke tiga adalah Bacapres RI dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) (Prabowo Subianto) yang berkepentingan atas lolosnya Gibran sebagai Bacawapresnya.

Apalagi MKMK menyalahkan Anwar Usman melakukan pembiaran terhadap campur tangan dari luar. MKMK tidak menyebut dengan jelas apa atau siapa orang luar yang melakukan campur tangan itu.

Ini membebaskan publik menduga-duga atau menganggap semakin pasti dugaan mereka selama ini, yaitu skenario dari Jokowi sendiri yang ingin mempertahankan kekuasaannya lewat Dinasti Keluarga.

Selama ini Jokowi bersikap seolah dia sama sekali tidak mencampuri pencalonan Gibran. Tapi, pertemuannya dengan relawan Koalisi KIM di Gianyar (Bali) secara terang-terangan serta penyingkiran sementara baliho Ganjar-Mahfud dan bendera PDIP semakin menguak perannya dalam “sinetron” ini.

Demikian juga ketika dia kemarin menyindir adanya orang-orang yang menggunakan perasaan, bukannya adu gagasan, bagaikan bermain drama, sinetron, dan DraKor (Drama Korea). Semakin nyata dia tercemari toxic. Selama ini dia yang menjadi sasaran nyinyir dan sindir dari lawan-lawannya, terutama dari para pendukung Prabowo di Pilpres lalu. Kini dia terjangkit penyakit menyinyiri dan menyindir lawannya.

Singkat cerita, wibawa Jokowi hancur lebur. Lucunya, ketika Gibran berkata kepada Prabowo, “jangan takut, saya sudah ada di sini”. Dia lupa kalau dia itu berkata kepada seorang mantan Komandan Kopasus. Telah mengalami perang di Timor Timur. Ada fotonya menangkap paksa Jenderal Ahmad Haris Nasution.

Dan, Gibran itu siapa dibandingkan dengan Prabowo sehingga kata-katanya seolah dia yang melindungi Prabowo? Karena dia anak presiden yang tidak punya wibawa lagi sekarang?

Hasil polling baru-baru ini menunjukan kasus pelanggaran etik di MK telah menurunkan eletabilitas Prabowo dan Gibran. Itu artinya, Jokowi sudah lesu darah dalam mengendors elektabilitas Prabowo-Gibran.

Puja puji terhadap kaum milanial dengan mengambil Gibran sebagai “contoh barang” ternyata gagal total. Para kaum muda alias milanial ternyata lebih mengagumi sosok Mahfud MD daripada sosok Gibran yang terkesan congkak dan “anggar bapak Presiden”. Justru itulah awal dari kehancurannya.

Ini Indonesia, Bung! Gak usah anggar jago kau. kakekku pun ikut mendirikan negara ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.