FAKTA — And Its Nature (Karo Bukan Batak)

Ada sebagian orang yang hendak membuktikan Karo adalah bagian Batak dengan menunjukan bahwa kepustakaan-kepustakaan lama menggunakan istilah Karo Batak atau Batak Karo. Itu dikatakannya FAKTA. Di sisi lain, orang-orang Batak merasa tersinggung bila ada yang mengejek Tarombo Siraja Batak sebagai sebuah pembohongan. Sementara mereka sendiri mempercayainya sebagai sejarah dan kadang balik menyerang Karo dengan menanyakan “bagaimana rupanya terjadinya Merga Si Lima (?)”.

Asumsi mereka, merga-merga Karo berasal dari Batak. Dan mereka pun menganggap itu FAKTA.

Tarombo Siraja Batak memang sebuah fakta, tapi itu FAKTA MITLOGIS. Mereka mau mengklaimnya itu sebagai FAKTA SEJARAH. Saya pernah menulis apa perbedaan FAKTA MITOLOGIS dengan FAKTA SEJARAH. Nanti saya akan kembali ke situ. Kita toleh dulu kembali ke FAKTA KEPUSTAKAAN.

Pertama, sejauh mana istilah Karo Batak atau Batak Karo itu hanya ikut-ikutan menggunakan istilah tanpa pernah mempertanyakan bahwa itu hasil dari sebuah proses yang berawal dari PERISTIWA atau berawal dari “omon-omon” tidak jelas ujung pangkalnya?

Pertunjukan Karo di Utrecht (Foto: Moan Mata)

Kita akui itu memang menjadi FAKTA di kemudian hari karena banyak orang mengulanginya dan mengulanginya. Tapi, itu tetap saja masih merupakan FAKTA KEPUSTAKAAN.

Memang ada upaya-upaya menjadikan fakta kepustakaan itu menjadi fakta-fakta lain; seperti fakta politik, fakta administrasi pemerintahan, fakta hukum, dan kalau bisa menjadi fakta dalam komunikasi sehari-hari. Pada ujungnya FAKTA SEGALANYA.

Di sisi lain, adalah juga sebuah fakta bahwa GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) satu-satunya organisasi Karo yang menggunakan nama Batak Karo. Itupun baru sejak gereja ini resmi berdiri pada 23 Juli 1941. Sebelumnya hanya ada Karo Kerk (Gereja Karo).

Bukankah juga itu sebuah fakta bahwa gereja-gereja lain yang didirikan oleh Karo tidak ada menggunakan nama Batak Karo? Bahkan ada gereja yang meneruskan nama lama Gereja Karo di Siantar dan sekitarnya.

Juga adalah fakta bahwa GBKP satu-satunya organisasi yang menggunakan nama Batak Karo, sementara organisasi-organisasi Karo lainnya hanya menggunakan nama Karo atau Merga Silima. Misalnya HMKI (Himpunan Masyarakat Karo Indonesia), PMS (Pemuda Merga Silima), Perkoeah (Perkumpulan Karo Eropah), Kabupaten Karo, dan banyak lainnya.

Sanggar Seni Sirulo sedang latihan di Pelataran STMIK Neumann, Medan

Kembali ke FAKTA KEPUSTAKAAN. Dalam Sejarah Kepustakaan, pertama kali disebut Karaw adalah di buku William Marsden berjudul THE HISTORY OF SUMATERA terbit pada tahun 1811. Sebelumnya tidak ada di kepustakaan manapun yang menyebut Karaw maupun Karo. Itupun hanya dalam satu kalimat ketika Marsden menyebut “nun jauh di sana ada Karaw, Riah, dan Achin”.

Maksudnya Riah kemungkinan besar adalah Bener Meriah dan Achin adalah Aceh. Sementara Karaw adalah Karo. Di situ, Marsden belum menganggap Karo atau Karaw bagian Batak.

Baru di bukunya John Anderson yang berjudul MISSION TO THE EAST COAST OF SUMATERA IN 1823 terbit 1826 dan terbit ulang 1971 ada persepsi mengenai Karo adalah bagian Batak.

Itupun, sebagaimana saya tunjukan di paper yang saya presentasekan di sebuah seminar di Universitas Singapor pada tahun 1995 dan paper saya itu diterbitkan oleh IIAS (International Institute for Asian Studies) (Leiden) pada tahun 2000, saya menunjukan bagaimana Anderson sangat ragu membedakan mana suku, mana bagiannya dan mana clan.

Persepsi Anderson sangat banyak didasari pada “omon-omon” di Malaka. Sebelum ke Deli, Anderson bekerja di Malaka. Sementara satu-satunya kepustakaan yang menulis wilayah itu adalah Mendez Pinto yang mengaku sudah sampai ke pemukiman Kerajaan Haru di Delitua.

Pinto mebedakan wilayah Haru dengan wilayah Batak. Memang dia sendiri tidak bisa mendefenisikan dengan jelas apa yang dimaksudnya dengan Batak dan seluas apa wilayahnya. Tapi dia membedakan wilayah Haru dengan wilayah Batak. Dia belum menyebut Karo. Sementara banyak orang Karo dan sebagian sejarawan mengasumsikan Kerajaan Haru adalah Kerajaan Karo.

Adalah Pemerintah Kolonial Belanda yang mendefenisikan semua yang bukan Melayu atau Islam di luar wilayah Minangkabau dan Aceh adalah Batak. Makanya perang perlawanan Datuk Sunggal terhadap Belanda mereka sebut Batak Oorlog.

Nantinya T. Lukman Sinar mengubahnya menjadi Perang Sunggal dan Uli Kozok dalam media sosial memilih istilah Perang Karo. Orang-orang Karo sendiri mengenangnya Perang Tandak Benua.

Setelah perang itu, Belanda memanggil C.J. Westenberg untuk meneliti orang-orang yang mereka sebut Batak Merdeka. Sebutan Batak Merdeka diberikan karena menganggap Simalungun dan Karo bagian Batak tapi bukan bagian wilayah administrasi Resident van Tapanoeli (nanti berganti nama Resident van Bataklanden).

Lalu mereka bentuk Afdeling Simalungoen en Karolanden sebelum dimekarkan menjadi Afdeling Simaloengoen Landen dan Afdeling Karolanden. Sedangkan perkampungan-perkampungan Karo di Karo Jahe dimasukkan menjadi bagian Kesultanan Deli dan Kesultanan Langkat.

Pada saat itu memang publikasi tulisan-tulisan berbahasa Belanda mengenai Karo selalu menyebut De Karo Batak, termasuk yang ditulis oleh para missionaris seperti halnya M. Joustra dan J.H. Neumann.

Tapi, herannya, mengapa surat menyurat antara para missionaris dengan organisasi induknya di Belanda, NZG (Nederlands Zendeling Genootschap) (Masyarakat Missi Belanda) tidak menyebut Karo Batak tapi Karo saja?

Misalnya mereka menyebut kegiatan yang mereka lakukan “in Karo veld” (di ladang Karo). Demikian juga ketika mereka mendirikan rumah ibadah di Buluh Awar untuk pertama kalinya. Mereka menyebutnya Karo Kerk (Gereja Karo). Tanpa ada kata Batak.

Itu juga sebuah FAKTA, bukan?

Saya menilainya sebagai sebuah FAKTA ng dianggap lebih mendekati REALITAS di alam pikir orang-orang Karo sendiri sementara istilah Batak Karo merupakan FAKTA KEPUSTAKAAN yang lebih dekat dengan PENGENALAN BARAT TERHADAP DUNIA.

Para penulis Indonesia kemudian melanjutkan istilah Batak Karo dalam publikasi-publikasi kepustakaan mereka. Demikian juga buku-buku pelajaran sekolah, budaya, dan sejarah. Hingga saat ini, FAKTA KEPUSTAKAAN itu belum pernah diuji secara ilmiah.

Begini ceritanya. Fakta adalah sebuah tahapan dalam proses ilmiah seperti di bawah ini.

Peristiwa –> Data –> Fakta –> Teori –> Pengujian Ulang

Teori yang ternyata terus benar setelah diuji secara berulang-ulang bisa menjadi –> Konsep. Tapi, saat dia diuji ulang, Teori diturunkan statusnya menjadi Hipotesis atau setidaknya Asumsi (Dugaan).

Nah, ketika para anti KBB mengetengahkan FAKTA KEPUSTAKAAN sebagai sebuah REALITAS PENENTU (Determinant), kita mempertanyakan apakah FAKTA KEPUSTAKAAN itu sudah melalui tahapan kajian terhadap Data atau serangkaian Data-data atau hanya sekedar mengikut Kepustakaan sebelumnya?

Tentu saja sangat naif mengatakan sebuah fakta kepustakaan adalah juga FAKTA ILMIAH. Dugaan kita adalah sangat dominannya FAKTA KEPUSTAKAAN yang satu ini adalah hasil pengulangan dan pengulangan alias copy-paste.

Apa itu DATA?

DATA adalah catatan secara kualitatif maupun kuantitatif atau keduanya dari serangkaian peristiwa yang diasumsikan menjadi faktor munculnya sebuah FAKTA.

Contoh kecil ulasan kami mengenai berlangsung lamanya harga tomat yang tinggi. Kita mencatat (DATA) beberapa bulan lalu terjadi Musim Hujan dengan tingginya curah hujan (PERISTIWA). Tingginya curah hujan menuntut penyemprotan obat-obat tanaman yang banyak.

Sebagian petani tidak sanggup memenuhi tuntutan itu karena tidak punya modal. Mereka berhenti merawat tomatnya dan membiarkannya mati (PERISTIWA). Sebagian kecil berjuang terus karena memiliki modal yang cukup memenuhi tuntutan musim.

Maka ujung dari serangkain peristiwa ini (cuaca, permodalan, dan perjuangan), adalah penyebab sedikitnya produksi tomat di lahan dan, karena itu, ketersediaan barang di pasar sangat minim. Hukum Pasar pun berlaku, menurunnya ketersediaan barang sementara permintaan tetap maka harga pun naik.

Itulah faktanya mengapa tingginya harga tomat di Pasar Induk Lau Cih (Medan) berlangsung begitu lama. TEORI: harga akan stabil bila cuaca normal kembali sehingga para petani tomat bermodal kecil bergairah lagi untuk menanam tomat.

Itu TEORI, bisa jadi benar bisa juga tidak. Perlu diuji berulang-ulang dengan menurunkan status TEORI menjadi HIPOTESIS dan kemudian mencatat lagi peristiwa-peristiwa terkait sebagai DATA.

Apakah sudah ada studi yang menguji ulang FAKTA KEPUSTAKAAN yang menyebut Karo adalah bagian Batak? Setahuku belum pernah.

Apa salahnya kalau muncul Hipotesis Nol yang menduga FAKTA KEPUSTAKAAN itu muncul atas kemalasan para penulis mencari FAKTA lain di luarnya. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Rita S. Kipp dalam bukunya BEYOND SAMOSIR, “bagi kita (penulis asing maksudnya, red.), Batak bisa kita anggap sebagai payung sehingga kita sebut Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan Batak Mandailing.”

Karena dunia lebih mengenal Batak sehingga para pembaca mereka langsung bisa mengidentifikasinya di peta dunia ketika mereka menyebut Batak Karo daripada menyebut Karo saja. Dengan kata lain penulisan Batak Karo hanya KEBUTUHAN TEKNIS, bukan FAKTA SEBENARNYA.

Dalam salah satu tulisannya yang lain, Kipp pernah menceriterakan kalau ada yang menyebut mereka Batak Karo orang-orang Karo sendiri tidak membantahnya, tapi setelah bubar mereka berbisik satu sama lain mengatakan mereka sebenarnya bukan Batak Karo, tapi Karo.

Kip sendiri menulis desertasinya dan terbitan-terbitan ;ain dengan istilah Karo saja, tidak Karo Batak. Demikian juga antropolog Prof. Mary M. Steedly dan etnomusikolog Dr. Philip Yampolsky selalu menulis the Karo tak pernah the Karo Batak. Itu karena mereka mempertanyakannya kepada orang-orang Karo di sekitar mereka.

Saya masih ingat jelas Philip Yampolsky bertanya pada saya apakah sebaiknya dia menulis Karo atau Batak Karo. Saat itu saya masih tingkat 2 di bangku perkuliahan. Saya katakan cukup dengan Karo.

Jadi, apa salah dengan Gerakan Karo Bukan Batak (KBB)? Kok dibilang pulak tak berdasarkan DATA dan FAKTA selain PERSEPSI?

Saya akan membahas dalam tulisan terpisah bagaimana FAKTA MITOLOGIS dipaksakan menjadi FAKTA KEPUSTAKAAN dan FAKTA SEHARI-HARI dengan claim itu adalah FAKTA SEJARAH. Sementara ini saya akhiri ulasan ini yang, dalam dunia hukum, bisa dikatakan sebagai sebuah JUDICIAL REVIEW terhadap FAKTA KEPUSTAKAAN.

Orang tetap menulis Batak Karo tanpa tertarik terhadap judicial review mempertanyakan apakah itu sudah tetap atau tidak karena tidak punya kepentingan atas benar tidaknya atau sengaja terus menulis Batak Karo atas kepentingan tertentu.

Gerakan KBB (Karo Bukan Batak) adalah sebuah judicial review untuk mendekatkannya kepada realitas sosial yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Foto Cover: MANUK CABUR BINTANG (Rudy Pinem)

One thought on “FAKTA — And Its Nature (Karo Bukan Batak)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.