GARUDEYA ATAU GARUDA — Simbol Ikonografi Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan Kebudayaan Bangsanya

Oleh: IRA INDRAWARDANA (Antropolog UNPAD, Bandung)

Bukan suatu kebetulan. Bukan suatu mimpi. Bukan juga suatu perencanaan. Saat saya bisa berada di Candi Sukuh, yang pernah saya lihat dan baca tentang cerita arkeologisnya. Termasuk ikon Garudeya atau Garuda atau Jatayu ini yang ternyata berkaitan dengan literasi-literasi yang saya baca tentang sejarah Lambang Negara Burung Garuda yang kemudian menjadi sebutan Garuda Pancasila.

Kalau menyimak sekilas cerita epos tentang Garudeya ini dari sub Maha Karya Bujangga dunia yaitu cerita Mahabarata, ada kisah Adiparwa pada masa Raja Darmawangsa Tguh sekitar abad 9, yang disadur dan diterjemahkan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Jawa Kuno.

Inti makna cerita di balik ikonografis Garudeya itu yang dipahatkan pada relief salah satunya di Candi Sukuh pada jaman Kerajaan Majapahit abad ke 14, bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Sang Garudeya atau Garuda anak dari Dewi Winata (salah seorang istri Bagawan Kasyapa) merupakan ekspresi bakti anak kepada ibu.

Dalam konteks yang lebih luas, kisah itu bisa disebut sebagai bakti kepada Ibu Pertiwi atau Tanah Air. Artinya, perjuangan untuk membebaskan Tanah Air dari penjajahan asing demi meraih kemerdekaan. Dalam konteks demikian, Sang Garuda tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan.

Saya coba mengupas /menginterpretasi terkait ikonografi Garuda di Candi Sukuh itu (bukan menafsirkan tafsir alien seperti kebanyakan awam yaaa..) bahwa :

  1. Tokoh Bhagawan Kasyapa yang dalam kisah Ramayana Rsi Kasyapa adalah putra Rsi Marici dan cucu Dewa Brahma. Dewa Brahma merupakan penguasa arah Selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya “Ba”, di Bali dia dipuja di Pura Andakasa. Dewa Brahma merupakan Bapak Dewa Ilmu Pengetahuan.

Kalau menilik ke Nusantara, ragam budaya di Nusantara ini sejak masa kuno sudah menjadi inspirasi para ilmuwan dunia, para tokoh ilmuwan yang mempelopori bidang-bidang Ilmu Pengetahuan Alam & Sosial. Meski cerita ini tidak banyak terungkap dikisahkan (entah disengaja oleh bangsa luar atau memang kekurangtahuan para ilmuwan negeri ini?).

Namun, minimal dengan banyaknya bukti-bukti arkeologis dengan ragam karya budaya arkeologis seperti menhir, lingga Yoni, circle stone, relief-relief, patung-patung, candi-candi dan ragam artefak arkeologis lainnya dari berbagai bahan mineral bumi Nusantara (batu, tembaga, emas dan logam-logam lainnya) ini saja sebagai bukti jauh sebelum peradaban kemajuan di bangsa luar Nusantara sana, leluhur bangsa Nusantara sudah memiliki peradaban pengetahuan yang tinggi, luhur dan agung.

  1. Rsi atau Bhagawan Kasyapa adalah rohaniawan yang berpengaruh terhadap para dewa karena sifatnya yang adil dan bijaksana.

Leluhur bangsa Nusantara sudah religius sebelum datangnya misi-misi keagamaan dari agama-agama pendatang dari luar Nusantara. Sehingga tidak tepat jika ada yang mengatakan bahwa leluhur bangsa Nusantara baru mengenal hakikat “Tuhan” setelah pengaruh datangnya misi dan syiar agama-agama pendatang dari luar bangsa Nusantara.

Justru karena bangsa Nusantara ini sudah berkarakter berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka ketika datangnya pengaruh misi dan syiar agama-agama dengan ragam aliran-aliran dan sekte keagamaannya bisa hidup berdampingan di bumi Nusantara. Karena para Empu, RSI, Bhagawan, Para Ajar, para Raja, Prebu dan pinandita leluhur Nusantara ini begitu Arif dan bijaksana maka mereka bisa menerima kebenaran ajaran-ajaran agama luar tersebut dengan tidak harus saling memaksakan keyakinan satu dengan lainnya.

  1. Diah/Dewi Winata (ibunda Garudeya) adalah tokoh epos Adiparwa dari Maha Barata. Dia sebagai salah seorang istri dari Bhagawan Kasyapa. Istri lain bernama Kadru. Winata mengutamakan kualitas. Kadru mengutamakan kuantitas.

Para kaum perempuan Nusantara memiliki sifat keibuan yang “gugon tukon” atau taat kepada adat dan tradisi leluhur Nusantara yang sarat dengan nilai-nilai tuntunan etika moral yang luhur meski ada yang sifatnya lebih mengutamakan kualitas ataupun kuantitas. Namun mereka semua begitu bertanggungjawab terhadap para generasi penerus bangsanya.

  1. Garudeya atau Garuda atau Jatayu sebagai anak dari Dewi Winata (yang kemudian menjadi inpirasi para pendiri bangsa baik M. Yamin, Supomo, Sukarno dan tokoh bangsa lainnya). Merupakan gambaran putra Nusantara yang memiliki jiwa pemberani, melawan ketidakadilan, berbakti pada orangtua dan leluhurnya, juga pejuang kemerdekaan dan kedaulatan budaya bangsa dan tanah airnya.

Kini, apakah generasi Bangsa Indonesia sudah sejauh ini dalam memahami ikonografis dan simbol budaya warisan budaya bangsa sendiri? Adakah keinginan untuk “membaca, menfasirkan, mengkaji dan menghayati nilai-nilai peradaban luhur bangsanya sendiri?

Adakah kesadaran para orangtua dan para pendidik serta tokoh masyarakat di lingkungan masing-masing mendorong putra-putrinya untuk mendekat, mengenal dan mencintai khasanah budaya bangsanya sendiri demi terciptanya generasi bangsa yang intelek, cerdas, berkarakter teguh dan setia pada kebangsaannya dan luas wawasan pengetahuan budaya bangsanya dan dunia?

(Banjar dari Karang Anyar Jateng menuju Bandung: 11 Juni 2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.