KEBANGGAAN ATAS KEMIRIPAN DARI SI “BUTA”

Saya pernah berbicara dengan beberapa orang Batak [Toba] tentang foto ini.

Dengan sebuah depth interview (wawancara mendalam) saya menyimpulkan kalau mereka semua beranggapan bahwa pria yang terlihat pada foto adalah seorang Batak [Toba].

Kalau saya menulis Batak [Toba], itu artinya merujuk ke seorang Batak tapi bukan Simalungun maupun Karo, Pakpak, Angkola atau Mandailing. Batak [Toba] merujuk ke Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Samosir, Batak Humbang, dan Batak Silindung.

Dari wawancara mendalam itu juga saya mengetahui apa dasar pikiran utama mereka sehingga mengatakan foto itu adalah seorang pria Batak [Toba], yaitu kitab kulit kayu yang sedang dibaca oleh pria itu.

Ada asumsi umum dan terutama kuat sekali di kalangan orang-orang Batak [Toba] bahwa kitab kulit kayu seperti itu adalah “milik” Suku Batak [Toba]. Memang, nantinya suku-suku di sekitar juga mempelajarinya dan mengembangkannya pula. Tapi, kira-kira bisa disebut, hak patennya ada di tangan Suku Batak [Toba]. Pikir mereka.

Hal itu diperkuat pula oleh keterangan foto yang menyatakan bahwa foto itu “seorang datu Batak sedang membaca pustaha”. Meski orang-orang Simalungun, Angkola, dan Mandailing juga menyebutnya pustaha (sementara Karo dan Pakpak menyebutnya pustaka), bagi mereka pustaha adalah kosa kata Batak [Toba].

Demikian juga halnya dengan istilah datu. Istilah yang sama digunakan oleh Batak [Toba], Angkola, Mandailing, dan Simalungun. Sementara orang-orang Karo dan Pakpak menggunakan istilah guru.

Hanya saja, kalau kita perhatikan secara seksama beberapa detil di dalam foto, kita bisa melihat bahwa itu sama sekali bukan foto seorang pria Batak [Toba], tapi melainkan seorang pria Simalungun.

Mari kita mulai memperhatikan perhiasan metal yang tergantung pada sisi kiri kepalanya. Perhiasan itu berfungsi mengukuhkan tutup kepalanya yang terbuat dari kain (gotong). Perhiasan seperti itu hanya terdapat pada Suku Simalungun. Tidak ada di Suku-suku Karo, Pakpak, Batak [Toba], Angkola maupun Mandailing.

Penutup kepalanya terbuat dari kain batik. Selain Simalungun, kain batik sebagai penutup kepala di suku-suku asli Sumatera Utara hanya terdapat pada Suku Karo. Itupun terbatas pada acara pertarungan silat (ermayan).

Gelang tangannya juga terbuat dari metal (kuningan). Gelang tangan seperti itu selain di Suku Simalungun hanya kita dapati pada Suku Karo yang mengenakannya pada kedua pergelangan tangannya oleh pengantin pria atau seorang raja pada acara-acara resmi kerajaan atau ritual. Namanya di Karo adalah Gelang Keruncung.

Dari foto yang terhidang di hadapan kita, saya tidak bisa mengidentifikasi kain tenun yang dikenakan oleh pria itu sehingga saya lewatkan untuk tidak mendiskusikan kain tenun yang dikenakannya itu.

Lalu, mari kita pindah ke bagian kolong bangunan [rumah] yang di belakang pria itu. Terlihat balok-balok bersusun secara bertingkat dengan selang seling panjang dan lebar. Balok-balok itu akan disatukan oleh beberapa tiang setelah melobangi balok-balok itu.

Bagi pembaca yang pernah memelihara babi di masa lampau dengan membuat kandangnya dari bambu akan lebih mengerti dengan membandingkan balok-balok bersusun itu dengan bambu-bambu bersusun disatukan oleh beberapa tiang penopang atap.

Dalam literatur arsitektur, konstruksi tiang seperti itu disebut “cross-log construction”. Konstruksi seperti itu hanya bisa kita jumpai di Suku Simalungun dan Suku Karo. Tidak ada pada Suku Pakpak, Batak [Toba], Angkola maupun Mandailing.

Kalau data kita hanya terbatas pada foto kolong rumah itu, kita tidak bisa memastikan bahwa itu bukan rumah Karo. Tapi, foto pria itu yang memperlihatkan perhiasan kepala (gotong) dapat dipastikan kalau itu bukan Karo.

Bagaimanapun juga, cross-log construction dari rumah itu sudah bisa memastikan kalau foto itu tidak berasal dari pemukiman orang-orang Batak [Toba] maupun Pakpak, Angkola atau Mandailing.

Apa yang terlihat oleh mata kita bukan hanya terkait pada ketajaman mata secara fisik, tapi juga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang kita miliki.

Dalam rangka menggiatkan Gerakan KBB (Karo Bukan Batak) saya sering mengajak para penentang yang berasal dari Suku Karo untuk mempelajari budaya suku-suku lainnya.

Ajakan saya itu terkait dengan adanya pikiran bahwa penampakan budaya-budaya Simalungun, Karo, Pakpak, Batak [Toba], Angkola, dan Mandailing mirip.

Bagaimana kita mengatakan mirip kalau Batak [Toba] hanya memiliki satu tipe konstruksi tiang, yaitu Rassang, sedangkan Karo memiliki tiga tipe konstruksi tiang yakni Pasuk, Sangka Manuk, dan Sendi. Tak satupun mirip dengan Rassang pada rumah Batak [Toba].

Simalungun memiliki dua tipe konstruksi yang satunya mirip Sangka Manuk Karo dan satunya lagi mirip Pasuk Karo. Tapi Simalungun tidak mengenal konstruksi Sendi.

Rumah adat Pakpak yang sekarang ini bisa dikatakan sudah punah, mengkombinasikan konstruksi tiangnya mirip ke Batak [Toba] sementara konstruksi atapnya mirip ke Karo. Adapun rumah-rumah adat Mandailing mengkombinasikan Batak [Toba] dan Minangkabau.

Dengan kata lain, untuk bisa seksama memperhatikan detil-detil penampakan budaya dari sebuah kawasan, dibutuhkan pengetahuan yang meluas dari semua kebudayaan di kawasan itu.

Selain memperluas pengetahuan mengenai keanekaragaman budaya-budaya di kawasan itu, perlu juga menghilangkan asumsi murahan mengenai penyebaran budaya.

Seperti halnya suatu kali, kelompok seni yang saya dirikan mempertunjukan Tarian Tongkat. Seorang Karo anti KBB mengejek-ngejek saya yang katanya tidak tahu bahwa tongkat berukir itu aslinya adalah dari Batak [Toba].

Secara tidak langsung dia melecehken saya sebagai seorang antropolog yang telah belasan tahun melakukan penelitian lapangan dan kepustakaan di Sumatera Utara.

Saya pernah 3 tahun 6 bulan penelitian lapangan dengan Mary M. Steedly yang nantinya menjadi guru besar Antropologi di Universitas Harvard. Dengan Uli Kozok yang nantinya guru besar di Universitas Hawai.

Serta dengan beberapa antropolog, etnomusikolog, dan lain-lainnya. Di samping penelitian lapangan saya sendiri dengan tinggal di beberapa desa masing-masing beberapa bulan.

Soal tongkat itu. Suatu kali sewaktu kami masih sama-sama mahasiswa, Uli Kozok meminta saya menuntaskan transliterasi yang telah dilakukannya terhadap sebuah naskah pustaka mengenai Kisah Aji Dunda Ketakutan.

Karena Uli tidak bisa berbahasa Karo, maka dia juga tidak bisa menuntaskan transliterasi itu. Soalnya, naskah-naskah kuno seperti itu tidak ada penggalan katanya.

Misalnya: sayasedangmenulisartikelmengenaifotodatumembacapustaha.

Kalau anda tidak mengenal Bahasa Indonesia, maka anda tidak bisa menuntaskan transliterasinya meskipun anda sudah mahir membaca akasaranya.

Setelah saya menuntaskan transliterasinya, Mary M. Steedly menterjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris atas bantuan saya karena hanya saya yang lancar Bahasa Karo diantara kami bertiga.

Nantinya, saya tegaskan kepada Uli Kozok dan Mary Steedly kalau naskah itu sudah bisa dipastikan adalah naskah Karo. Selain aksaranya adalah Karo, bahasanya adalah Karo, kisah yang dituturkannya adalah juga Karo.

Mengenai kisahnya itu, tentang asal usul Tungkat Penalun, ada beberapa poin yang membuat kita bisa memastikannya Karo. Satu diantaranya adalah adanya tokoh Guru Pakpak Pitu Sendalanen. Meskipun dikatakan Guru Pakpak, orang-orang Pakpak sendiri tidak mengenai figur Guru Pakpak di dalam khasanah sejarah dan budaya mereka.

Satu-satunya yang mengenal figur Guru Pakpak adalah Karo.

Poin ke dua adalah istilah Kemberahen. Di dalam Bahasa Karo ada beberapa istilah yang bisa kita terjemahkan “istri” ke Bahasa Indonesia; Kemberahen, Ndehara, dan Diberu. Kosa kata Kemberahen hanya terdapat di Karo. Kata dasarnya adalah “mberah” yang artinya “buah dada”.

Dari pemahaman kosa kata Kemberahen tentu kita bisa paham sekarang bahwa tanpa mengetahui Bahasa-bahasa Simalungun, Pakpak, Batak [Toba], dan Mandailing saya tidak akan berani memastikan Kemberahen hanya ada di Karo.

Saya juga sudah membaca banyak naskah suku-suku itu dalam bentuk pustaha/ pustaka sehingga tahu kata-kata apa saja yang sering muncul atau bahkan cenderung pengulangan.

Kembali ke naskah asal usul Tungkat Penalun (Batak [Toba], Tunggul Panaluan) pernah diringkas dan dipublikasi oleh Merwalt, seorang pegawai pemerintahan kolonial Belanda di Tapanoeli. Ringkasan naskah itu pernah pula dianalisis oleh W.H. Rassers dari Leiden serta didiskusikan kembali oleh P. Ter Keurs (Leiden, Belanda) bersama M. Prager (Muenster, Jerman) di buku yang mereka tulis bersama

Kebetulan saya ketemu dengan M. Prager di dapur Jurusan Antropologi Universitas Muenster (Jerman) saat sama-sama mau membuat coffee. Pada saat itu saya sedang dosen tamu di sana dan dia sudah dosen tetap di situ. Dia tanyakan kepada saya mengenai naskah itu. Langsung saya katakan kalau itu naskah Karo, bukan Batak.

Langsung dia mendiskusikannya dengan co-writer P. Ter Keurs lewat telepon. Entah bagaimana, Ter Keurs juga meyakininya itu Karo setelah berbicara dengan Prager. Lalu, di daftar koleksi Museum Nasional Jakarta, di situ sudah dijelaskan naskah itu adalah Karo.

Tapi, memang, saya sudah kebal oleh seringnya dihantam dan diejek-diejek oleh KETIDAKTAHUAN.

Mejuah-juah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.