KEDAULATAN PANGAN SEBAGAI KAMPANYE UTAMA PDIP DI PEMILU 2024 — Apa Istimewanya? (Bagian 5)

Oleh JUARA R. GINTING

Bagian 5 ini membandingkan thema kampanye PDIP untuk Pemilu Indonesia 2024 (Kedaulatan Pangan) dengan kampanye koalisi Partai Buruh (PvdA)-Partai Hijau (Groen Links) untuk Pemilu Belanda 2023 (Green Deal).

Kita mulai dengan persamaannya sebelum membahas perbedaannya.

Adapun tujuan membandingkannya adalah untuk memahami keistimewaan kampanye PDIP itu secara politik, idiologi, dan kedekatannya dengan rakyat pemilih.

Persamaannya sehingga relevan untuk dibandingkan adalah pertama sekali, sama-sama dipergunakan sebagai thema kampanye untuk mendapat suara pemilih dalam Pemilu maupun Pilpres.

Persamaan ke dua adalah mengajak masyarakat luas berprilaku dan bertindak mengarah kepada pengupayaan hidup bersahaja dengan mengutamakan kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan. Upaya ini menuntut pemerintah yang berkuasa dan para politisi menjadikannya prioritas dalam mengambil keputusan politik.

Persamaan ke tiga adalah sama-sama menjauhi diri dari kapitalisme dan harapan-harapan kosong. Sementara mereka sendiri (PDIP, PvdA, dan Groen Links) adalah sosialis, meski PDIP di konteks Indonesia lebih memperkenalkan dirinya sebagai nasionalis.

Sebagai catatan, nasionalisme bagi negara-negara Barat pengertiannya berbeda dengan nasionalisme sebagaimana dipahami di Indonesia.

Saya akan membahas pandangan mereka tentang kapitalisme setelah menjelaskan apa perbedaan di antara kedua thema kampanye mereka.

Perbedaannya adalah bahwa PDIP fokus pada pengelolaan pangan, sedangkan PvdA dan GLinks pada pengelolaan alam.

Latar Belakang Sejarah Green Deal

Thema Green Deal muncul pertama kali dalam menghadapi krisis ekonomi dunia 1930 setelah ambruknya bursa (1929). Krisis ekonomi ini berlanjut ke krisis Dust Belt di Amerika Serikat. Karena para petani tidak punya uang, ladang-ladang mereka jadi terlantar.

Kebetulan pula terjadi kekeringan di sana saat itu. Akibatnya, lahan-lahan pertanian itu menjadi tanah debu (dust).

Sesuatu yang perlu kita catat dalam peristiwa itu adalah bahwa munculnya istilah Green Deal terkait dengan krisis ekonomi dunia yang kemudian diikuti oleh krisis pertanian alias pangan.

Pikiran terhadap Green Deal muncul kembali setelah terjadi the credit crisis of 2008 yang berlanjut ke krisis ekonomi dunia. Krisis kali ini (berlangsung selama sekitar 8 tahun), berputar pada masalah finansial dan turunnya harga rumah. Krisis Ekonomi 2008 ini mengingatkan kembali Green Deal akibat Krisis Ekonomi Dunia 1930.

Tapi, kali ini, mereka menyebutnya Green New Deal.

Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, mengapa istilahnya Green Deal kalau masalahnya berputar pada soal keuangan dan perumahan? Sementara Green [New] Deal mengajak masyarakat luas, politisi, dan pembuat keputusan untuk lebih berhemat dalam arti lebih bersahabat dengan alam (environmentally friendly).

Di situlah kunci korelasi krisis keuangan dan perumahan dengan prilaku lebih bersahabat dengan alam. Asumsi utamanya adalah bahwa Krisis Ekonomi Dunia 1930 dan 2008 adalah akibat eksploitasi alam secara berlebihan.

Meski Krisis 2008 tidak diikuti bencana alam seperti halnya Krisis 1930 yang mengakibatkan Dust Belt di Amerika Serikat, ada anggapan kalau Krisis 2008 dapat diatasi dengan sikap politik yang lebih bersahabat dengan alam.

Misalnya saja dengan melakukan daur ulang, pengurangan energi berbahan minyak bumi, memperbanyak sumber-sumber energi terbarukan yang tidak melakukan pencemaran (udara dan air) maupun peningkatan pemanasan global. Termasuk pengurangan penggunaan zat-zat kimia dalam pertanian melalui pertanian organik.

Bersahabat Dengan Alam

Sekarang kita bahas hubungan antara penghematan [uang] dengan sikap bersahabat dengan alam.

Banyak tindakan bersahabat dengan alam yang modalnya jauh lebih kecil daripada tindakan yang tidak bersahabat dengan alam. Kita ambil saja contohnya penggunaan kincir angin dan tenaga surya untuk menghasilkan listrik. Modalnya lebih murah daripada penggunaan mesin pembangkit listrik yang menggunakan minyak bumi.

Selain itu, penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi serta penggunaan kimia dalam pertanian dan peternakan menimbulkan pencemaran udara, air dan makanan. Pencemaran itu telah terbukti pula sebagai penyebab berbagai penyakit.

Penggunaan gula secara berlebihan pada makanan dan minuman dapat pula menimbulkan obesitas yang merupakan pembunuh terbesar sekarang ini. Menggeser kedudukan influensa sebagai pembunuh terbesar di dunia.

Tidak mengherankan kalau Green Deal terkini memberi penekanan pada kesehatan di samping ancaman-ancaman bencana alam. Pemanasan global, misalnya, telah terbukti menaikkan permukaan laut (karena mencairnya gunung es di Kutub sehingga mengakibatkan banjir. Negara-negara rendah seperti Belanda terancam tenggelam.

Asumsinya, peningkatan masalah kesehatan adalah pemborosan uang negara. Sementara peningkatan masalah kesehatan banyak diakibatkan oleh tidak bersahabatnya manusia dengan alam. Demikian juga penanganan bencana alam seperti halnya banjir adalah pemborosan uang negara maupun masyarakat yang menjadi korban banjir.

Kesimpulannya adalah bahwa dengan meningkatkan prilaku bersahabat dengan alam maka hasilnya adalah penghematan uang negara dan perusahaan-perusahaan asuransi.

Green Deal muncul untuk mengatasi sebuah krisis dunia, terutama ekonomi dan keselamatan hidup. Merujuk ke Krisis 1930 dan 2008, masalah utamanya adalah kapitalisme.

Pembaca bisa googling atau lihat di Wikipedia bagaimana Krisis 1930 dan 2008 adalah akibat eksploitasi alam secara berlebihan yang merupakan karakter paling mendasar dari kapitalisme. Saya tidak akan berpanjang lebar menjelaskannya di sini.

Selain bersahabat dengan alam, thema Green Deal bisa kita sebut juga Back to Nature atau Back to Basic. Bagi Negeri Belanda, istilah-istilah ini bukan lagi gaya-gayaan atau sok keren. Hubungan antara alam dengan ekonomi sudah sangat nyata dan telah pula dipahami oleh kebanyakan warga Belanda.

Sebenarnya, Green Deal di Belanda dan Kedaulatan Pangan di Indonesia hampir tidak ada bedanya. Sama-sama mengajak hidup bersahaja demi kenyamanan, kesehatan, dan kesejehateraan bersama.

Kapitalisme diasumsikan sebagai sebuah sikap memaksa (eksploitasi) alam tanpa memikirkan ada “biaya” yang harus dibayar oleh individu-individu atau masyarakat maupun bangsa dan negara akibat eksploitasi itu.

Kita ambil saja contoh kecilnya. Di Penang (Malaysia) tidak aneh kita mendengar di jalanan orang berbahasa Karo karena memang banyak sekali orang Karo yang berobat atau sekedar periksa kesehatan ke kota itu. Itu semua dimungkinkan oleh kayanya orang-orang Karo akibat “kemajuan” teknologi pertanian.

Tapi, mereka tidak sadar kalau mereka sedang menghadapi krisis. Krisis pertama adalah akibat penggunaan pupuk dan obat-obat pertanian berbahan kimia yang mengakibatkan kesehatan mereka dan konsumen hasil pertaniannya terserang berbagai jenis penyakit.

Krisis ke dua adalah capeknya tanah karena dipaksa terus menerus dengan modal kekuatan pupuk dan obat-obatan kimia.

Desertasi antropolog Dr. Sri Alem Sembiring menggambarkan hal ini secara mendetil. Saya tidak akan mendikusikannya di sini karena, untuk tulisan ini, saya tetap fokus pada soal politik.

Hanya saja, masalahnya, kalau PDIP menggaungkan thema Green Deal, ditambah pula dengan prilaku kapitalis dari para petani Karo seperti di atas, pastilah PDIP akan lesu pemilih. Apalagi Karo sebagai sebuah suku telah diketahui oleh para pentolan PDIP Pusat (termasuk Bu Mega, Mbak Puan, dan Guruh) adalah loyalitas Pa Guntur (Ir. Soekarno) dan PDIP.

Menggarisbawahi masalah pangan serasa dekat bagi kelas menengah ke bawah di Indonesia. Padahal, seperti yang telah saya gambarkan di Bagian 3 sebagaimana sudah dilaksanakan oleh kader (PDIP Bobby Nasution) sebagai Walikota Medan, masalah pangan ini adalah juga masalah lingkungan alam.

Persamaan thema kampanye PDIP dengan PvdA-GLinks adalah sama-sama prihatin terhadap [krisis] dunia dan sama-sama anti kapitalisme baik secara ekonomi maupun idiologi.

Bagian berikut akan membahas, apa artinya semua itu dalam kehidupan politik dan idiologi serta kedekatannya terhadap rakyat pemilih?

BERSAMBUNG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.