KESENJANGAN ANTARA FAKTA KEPUSTAKAAN DAN FAKTA KESEHARIAN

— Dalam Memandang Karo Sebagai Bagian atau Bukan Bagian Batak

Tulisan ini menjawab sebuah pertanyaan yang sering dilayangkan di media sosial: “Mengapa baru sekarang, tidak dari dulu kalian katakan Karo Bukan Batak? Padahal sudah dari dulu Karo adalah bagian Batak!”

Ada dua hal di dalam pertanyaan dan pernyataan di atas.

Pertama, dia tahunya baru sekarang ada gerakan keberatan terhadap penyebutan Batak Karo atau penggolongan Karo sebagai bagian Batak. Padahal, gerakan ini sudah ada sejak 1970an.

Hanya saja, memang baru “sekarang” bergaung sejak semaraknya media sosial internet. Berawal dari Mailing List di yahoogroups dan kemudian mencapai puncaknya di grup-grup facebook. Akhir-akhir ini semakin meningkat lagi di TikTok.

Ke dua, berlangsung lama sebuah kesenjangan antara Dunia Tulis Menulis dan Komunikasi Lisan diantara warga Suku Karo sendiri. Dunia Tulis Menulis dalam persoalan ini berawal dari ketertarikan Dunia Barat (khususnya Inggris dan Belanda) terhadap alam, manusia, dan budaya di Sumatera.

Pertunjukan Teater Sirulo Asrama Haji Medan

Tidak heran kalau tulisan-tulisan mengenai pengelompokan sosial di Sumatera lebih diarahkan kepada tingkat pengetahuan dan kebutuhan pembaca mereka tentang pengelompokan sosial di Sumatera.

Di Jaman Kolonial muncul kebutuhan baru, yaitu kebutuhan kolonialisme, sehingga penulisan mengenai pengelompokan sosial di Sumatera diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kolonialisme di samping meneruskan pemenuhan kebutuhan lama.

Di Masa Kolonial itu juga bermunculan berbagai kebutuhan lain yang nantinya memberi sumbangan besar kepada penelitian-penelitian ilmiah. Sebagian besar diantara para penulis itu adalah orang-orang Belanda yang sedang bekerja sebagai pegawai pemerintah jajahan dan pengabar injil.

Untuk Karo, C.J. Westenberg dan J.H. Neumann adalah yang paling produktif mempublikasi tulisan-tulisannya meengenai Karo. Westenberg pada mulanya bekerja sebagai Controleur untuk Orang-orang Batak Merdeka yang meliputi Simalungun dan Karo. Sementara Neumann adalah pengabar injil.

William Middendorp yang menjadi Controleur Van Karolanden nantinya juga banyak menulis mengenai Budaya Karo. Demikian juga dengan beberapa petualang dan geolog yang mengunjungi Tanah Karo dalam waktu singkat.

Kalau kam bisa membaca kepustakaan berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman seperti saya yang sudah membaca hampir semua kepustakaan mengenai Karo, maka kam akan tahu bahwa tulisan-tulisan mereka sangat diarahkan pada tuntutan tugas.

Mereka sangat sadar kalau pembaca mereka adalah bangsa mereka sendiri dan beberapa diantaranya memang diarahkan ke dunia internasional.

Mereka umumnya menulis Karo Batak karena di dunia mereka Karo hanya akan berarti kalau ditampilkan sebagai bagian Batak.

Sungguh berani sebenarnya para antropolog Amerika ini, Rita S. Kipp, Richard D. Kipp, dan Mary M. Steedly serta etnomusikolog Philip Yampolksy menulis desertasi maupun artikel-artikel dengan menyebut The Karo bukannya The Karo Batak. Padahal Masri Singarimbun yang seorang Karo menulis desertasinya (1975) dengan menyebut The Karo Batak sebelum para peneliti Amerika itu.

Apa yang saya mau katakan dari uraian di atas?

Mari kita jenguk sebentar bukunya W. Marsden yang sangat tebal itu, terbit di tahun 1811 dengan judul THE HISTORY OF SUMATERA. Buku ini menulis banyak tentang Batak, tapi nyata sekali tidak tahu apa-apa mengenai Karo. Itu terlihat dalam hanya satu kalimat mengenai Karo, “nun jauh di sana terdapat Karaw, Riah, dan Achin”.

Artinya, dalam membahas Batak, terasa bagi Marsden, yang pejabat Pemerintahan Kolonial Inggris itu, kalau Karo itu jauh sekali dari Batak.

Marsden tidak berani menetapkan Karo adalah bagian Batak atau tidak karena belum ada rujukan kepustakaan sebelumnya. DUNIA TULIS MENULIS saat itu belum mengenal Karo, sementara Batak sudah sangat dikenal.

Orang pertama yang mengenal Karo di Dunia Tulis Menulis adalah John Anderson yang mengunjungi Deli pada tahun 1823. Deli terkenal ke Dunia Internasional saat itu melalui perdagangan lada.

Anderson dikirim oleh sebuah perusahaan perdagangan Inggris untuk bertemu langsung dengan para penguasa lada di Sumatera Timur. Karena itu, bukunya berjudul MISSION TO THE EAST COAST OF SUMATERA IN 1823 (terbit 1826).

Informasi yang didapatnya dari seorang perempuan yang sering bolak balik antara Deli dan Penang, Anderson mengetahui kalau produsen lada yang sesungguhnya adalah orang-orang Karo dan menganjurkannya untuk menemui langsung Datuk Sunggal.

Dalam bukunya itu, Anderson mencoba memaparkan komposisi kelompok-kelompok sosial di Sumatera Timur. Dia juga melaporkan pertemuannya dengan Sibayak Lingga di Tanjung Balai yang memang sudah tinggal di sana.

Itulah pertama kali Dunia Tulis Menulis menyebut Karo sebagai bagian Batak. Setelah Anderson adalah para penulis Belanda yang menyebut de Karo Batak. Ringkasnya, kepustakaan mengenai Karo setelah Anderson hanya menyebut Batak Karo.

Semua tulisan mengenai Karo di Jaman Kolonial diarahkan kepada para pembaca Belanda atau Eropah maupun dunia dan jaringan kolonialisme. Sama sekali tidak diarahkan kepada orang-orang terjajah.

Lahan pertanian di Karo Berneh tidak datar dan masih semak tampak ditanami, yang menunggalnya adalah seorang perempuan (Foto DENHAS MAHA).

Sebagian orang-orang terjajah di kemudian hari memiliki akses ke tulisan-tulisan orang asing itu. Ini dimulai oleh orang-orang terjajah yang bersekolah ke Bukit Tinggi (Sumatera Barat). Mereka umumnya adalah orang-orang Minangkabau, Mandailing, dan Angkola. Orang-orang Batak kemudian menyusul dengan didirikannya sekolah di Balige.

Sementara orang-orang Karo belakangan mengecap pendidikan sekolah dengan berdirinya Volk School di Raya dan kemudian nantinya di Tiga Nderket.

Selain sekolah-sekolah didirikan sangat belakangan di kalangan Karo dibandingkan di kalangan orang-orang Batak apalagi orang-orang Minanagkabau beserta Mandailing dan Angkola, ada hambatan di kalangan Karo untuk menempuh pendidikan.

Begini ceritanya.

Perang perlawanan terhadap penjajahan terpanjang di Hindia Belanda dipimpin oleh Datuk Sunggal (1872-1895), Raja Urung Serbenaman bermerga Karo-karo Surbakti. Komandan perangnya adalah Nabung Surbakti dari Juma Raja. Sebagian besar pasukannya berasal dari Dataran Tinggi Karo.

Pengejaran militer Belanda terhadap sisa-sisa pasukan Nabung Surbakti masih berlangsung hingga tahun 1902. Saat itu, pasukan Nabung Surbakti bersembunyi di sebuah hutan desa Nang Belawan (sekarang masuk Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo).

Militer Belanda datang ke Lingga (tetangga dekat Nang Belawan) dan bertanya kepada Sibayak Lingga di mana tempat persembunyian pasukan Nabung Surbakti. Sibayak Lingga menunjukkan tempat persembunyiannya.

Anggota Sanggar Seni Sirulo

Menurut sebuah laporan Belanda, warga salah satu kesain di Lingga membakar rumah-rumah mereka dan mengungsi meninggalkan Lingga karena tidak setuju tempat persembunyian pasukan Nabung Surbakti diberitahu ke militer Belanda.

Penyergapan di Nang Belawan itulah akhir dari perlawanan Pasukan Nabung Surbakti terhadap Belanda. Nabung sendiri melarikan diri ke Juhar dan menggalang nasionalisme di sana. Itulah bibitnya mengapa Juhar menjadi salah satu kantong suara terbesar dari salah satu partai politik Indonesia.

Sama halnya dengan Batukarang dan Berastepu menjadi kantong suara terbesar bagi partai politik yang sama, yang bibitnya bisa ditelusur ulang ke basis perjuangan Pa Garamata.

Nantinya dilanjutkan oleh putranya Koda Bangun (penggerak awal revolusi sosial di Sumatera Timur dari Batukarang) dan Payung Bangun (Komandan Barisan Harimau Liar berbasis Berastepu menggantikan Mariam Ginting asal Doulu yang tertembak oleh Belanda).

Para pejuang Kemerdekaan itu mengancam orang-orang Karo untuk tidak masuk sekolah yang dibangun oleh Belanda di Raya. Sebagaimana ditulis oleh antropolog Rita S. Kipp, mereka menakut-nakuti warga kalau bersekolah akan dipekerjakan di perkebunan asing.

Itu juga sebabnya, kata Kipp, sangat sedikit orang Karo yang mau menjadi Kristen. Ini terlihat pada statistik yang ditampilkan oleh Pdt. Groothuis dari Jerman, hingga tahun 1967, baru 11,7% orang Karo beragama. Di dalam angka itu sudah termasuk Protestan, Katolik, dan Islam.

“Itulah yang mengejutkan,” kata sejarawan kondang dari Australia (Anthony Reid).

Baru setelah Peristiwa G30S orang-orang Karo mau masuk Kristen dan sekolah. Hasilnya, di tahun 1970an Suku Karo secara persentase kesukuan memiliki jumlah sarjana S1 terbanyak di seluruh Indonesia.

Sketsa sejarah di atas untuk menunjukan betapa jauhnya orang-orang Karo dari dunia Barat.

“Sebelum Peristiwa G30S itu, Suku Karo adalah ANTI SEGALA BERBAU BARAT,” kata Anthony Reid memperkuat apa yang sebelumnya dikatakan oleh Rita S. Kipp mengenai rendahnya minat Orang Karo masuk Kristen.

Sekarang kita kembali ke persoalan awal kita.

Terjadi sebuah kesenjangan antara diskursus (percakapan) di kalangan pejabat Pemerintahan Kolonial beserta jaringannya di satu sisi dengan warga Suku Karo di lain sisi. Bayangkan, berapa orang Karo yang memikirkan tentang penyebutan Batak atau de Karo Batak?

Kebanyakan warga Karo sibuk dengan kegiatan mereka sehari-hari terutama ke ladang. Percakapan tentang Masyarakat Karo hanya terjadi di kalangan orang-orang pergerakan. Dan, itu terkonsentrasi di Pancurbatu dan nantinya, setelah Kemerdekaan RI, terkonsentrasi di Berastagi (bukan Kabanjahe).

Penari Sanggar Seni Sirulo

Konseptualisasi Masyarakat Karo mulai menjadi perbincangan di Tahun 1930an di Pancurbatu sejak diterbitkannya Majalah Merga Silima oleh missionaris J.H. Neumann.

Kaum kiri yang anti Belanda langsung menentang penyebutan Merga Silima untuk Masyarakat Karo. Ini tercermin di dalam polemik di salah satu majalah terbitan Pancurbatu di tahun 1930an.

Istilah Merga Silima kembali muncul di Berastagi saat orang-orang Partai Murba dan PNI mendirikan Balai Pustaka Adat Merga Silima yang memanggil orang-orang Karo kembali ke keasliannya. Peristiwa G30S mengingatkan kita, kata mereka, betapa semua pengaruh luar hanya membuat kita saling bunuh.

Banjir di Desa Keling yang memakan 11 korban jiwa merupakan peringatan dari leluhur untuk kembali ke ritual-ritual asli dan menjalankan adat istiadat Suku Karo tanpa pengaruh asing. Di Antropologi, itu biasa disebut Nativistic Movement (Gerakan Kembali ke Keaslian).

Istilah Batak Karo pertama kali menyentuh orang-orang Karo secara nyata baru sejak diresmikannya Gereja Batak Karo Protestan (GBKP pada 23 Juli 1941 melalui Sidang Sinode di Sibolangit. Saat itu, orang-orang tidak begitu peduli karena, selain jemaat GBKP masih sedikit sekali, langgam hidup jemaat pun masih terasa jauh bagi orang-orang Karo umumnya.

Jemaat GBKP terutama para petugas gereja cenderung berpakaian meniru orang-orang Belanda. Belum ada kepentingan orang-orang Karo kebanyakan memikirkan apakah nama GBKP sudah tepat atau tidak. Mereka sama sekali tidak menganggap itu terkait dengan kinikaroan.

Sekali lagi, orang-orang pada awalnya tidak menganggap gereja punya relevansi dengan kinikaron. Makanya tidak peduli mereka apapun namanya.

Gugatan terhadap sebutan Batak Karo mulai muncul di kalangan mahasiswa di Medan. Saya lahir dan tumbuh dewasa di dekat Pintu 1 Kampus USU Medan. Di sana banyak mahasiswa Karo yang in de kost. Bahkan di rumah kami sendiri ada beberapa mahasiswa yang in de kost selain ada rumah kami yang lain disewakan khusus untuk mahasiswa.

Sejak SD saya sudah bergaul dengan para mahasiswa itu. Di masa remaja saya, saat idealisme kinikaroan mulai tumbuh bersama romantisme menjadi pendekar bangsa dan negara (kebetulan pula saya Komandan Pramuka, Komandan upacara sekolah, dan Ketua OSIS SMP Negeri 8 . Saya sering mendengar para mahasiswa berbicara satu sama lain bahwa Karo Bukan Batak.

Gugatan itu terutama sekali karena di tingkat nasional Karo dikenal sebagai bagian Batak. Itu terlihat di Kepustakaan berbahasa Indonesia yang kebanyakan ditulis oleh orang-orang Indonesia bukan Karo. Pengenalan para penulis tingkat nasional termasuk para pejabat pemerintahan terhadap Karo adalah minim sekali selain dari tulisan-tulisan Jaman Kolonial. Minimnya pengetahuan langsung ke lapangan inilah yang membuat Kepustakaan Indonesia terus mengulang-ulang sebutan Batak Karo dengan asumsi bahwa Karo adalah bagian Batak.

Inilah titik tolak untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan ini: “Mengapa baru sekarang mengatakan Karo Bukan Batak?”

Titik tolak itu menunjukkan bahwa keberatan disebut Batak bukan baru sekarang. Itu telah terjadi pada tahun 1970an saat saya duduk di bangku SMP.

Mungkin juga sudah terjadi sebelumnya. Tapi, kita tidak punya rekam jejak tentang perlawanan itu karena orang-orang Karo masih sangat jauh dari dunia media.

Di Tahun 1970 – 1980an itu juga telah ada seruan Karo Bukan Batak dari seorang anggota DPR RI bernama Djamaludin Tarigan (ayahnya penyanyi Pagit Tarigan) dan Roberto Bangun.

Djamaludin Tarigan mengadakan konferensi pers di Jakarta mendeklarasikan Karo Bukan Batak. Sementara Roberto Bangun menulis sebuah buku yang salah satu isinya terpenting adalah menyuarakan Karo Bukan Batak.

Minat baca orang-orang Karo terbilang rendah sehingga deklarasi Djamaludin Tarigan dan buku Roberto Bangun kebanyakan hanya bahan cekurak padahal orang-orang yang terlibat di dalam cekurak itu melihat bukunya pun tidak.

————–

Soal korelasi minat baca dan cekurak ini membuat saya teringat sewaktu mempromosikan koran cetak SORA SIRULO dengan menjualnya “dari pintu ke pintu”.

Seseorang yang kami tawarin koran itu mengkuliahi saya bagaimana caranya mengelola sebuah koran dan merancang isinya. Saya tanya apakah dia sudah pernah membaca koran kita, belum katanya.

“Kam beli satu hanya Rp. 2 ribu/ eksemplar,” kataku dan dia tidak membelinya.

Sukanya memang OMON-OMON WAE

—————

Generasi berikutnya Gerakan KBB adalah di mailing list [email protected] dengan para admin Herland Sembiring (sekaligus sebagai owner), Maja Sembiring, M.U. Ginting, Ira Munthe, dan Ita Apulina Tarigan.

Pertama kali muncul di sana langsung saya mengeluarkan sebuah tulisan berjudul Antara Preman dan Kaum Terpelajar Karo. Spirit tulisan yang sama saya munculkan lagi pada seminar mengenai Letjen Jamin Ginting di Jakarta dengan pemrasaran lainnya Prof. Dr. Payung Bangun, dan Brigjen Selamat Ginting (Juhar).

“Keistimewaan Pak Jamin Ginting adalah dianya menggabungkan karakter Preman dan Kaum Terdidik Karo,” kataku.

Lalu aku mengkaitkan kedua karakter kontras pada rivalitas antara Pengulu Silebe Merdang dengan Pengulu Kuta di Masa Kolonial. Pa Garamata adalah barisan Silebe Merdang sedangkan Pa Mutari Bangun adalah Raja Urung.

Barisan Silebe Merdang cenderung berada di pihak kaum revolusioner (Kiri) dan kaum Pengulu Kuta atau Raja Urung cenderung berada di pihak pemerintahan (konservatif tapi berpendidikan).

“Jamin Ginting berasal dari kaum bangsawan tapi dia lebih dekat dengan rakyat,” kataku lagi.

Tulisan ke dua di mailing list itu adalah Perbedaan Antara Sembuyak dan Senina. Sejak itu, saya menjadi pusat perhatian alias populer di mailing list itu hingga suatu saat saya menjelaskan bahwa Karo Bukan Batak.

Langsung mendapat dukungan dari M.U. Ginting dari Swedia, Pa Canggah Ginting dari Amerika dan para kaum terpelajar Karo dari berbagai negara dan juga Medan.

Saya merasa orang-orang Jakarta kurang menyukai saya di mailing list itu. Serasa posisi mereka sebagai orang sukses di perantauan terganggu oleh popularitas saya di sana.

Ternyata nama saya sebagai penggerak Karo Bukan Batak tidak hanya bergema di mailing itu, tapi juga sudah menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut di Dataran Tinggi Karo.

Di mailing list itu pulalah muncul istilah KBB entah siapa yang memulainya. Dugaan saya dimulai oleh M.U. Ginting dari Swedia. Di sanalah KBB tumbuh subur dan sekaligus menjamur penggiat-penggiat muda KBB.

Ketika facebook muncul dengan grup-grup diskusi pula, membara semangat KBB di grup facebook Sapo Holland dengan ownernya Gabriella Ginting. Di sana muncul pejuang-pejuang garang KBB seperti Bode Tarigan, Paulus J.P. Ginting, dan lain-lain.

Di sana juga muncul orang-orang yang awalnya menentang KBB tapi kemudian menjadi orang paling depan memperjuangkannya seperti Sada Arih Sinulingga dan Edi Santana Sembiring.

Karena bentrok dengan para admin di Sapo Holland, Sada Arih Sinulingga atau dikenal juga dengan SAS mendirikan Jamburta Merga Silima (JMS). Saya mulai bermain di facebook sebagai admin JMS ini. Di sanalah puncak Gerakan KBB yang membara.

Setelah JMS, tumbuh menjamur grup-grup facebook yang menyuarakan KBB seperti halnya Suku Karo Bukan Batak (SKBB) dan banyak lainnya.

Saya sendiri sekarang ini sebenarnya lebih banyak bergerak mengisi lapangan dengan memperkenalkan segala hal terkait dengan Karo melalui koran online SORA SIRULO. Saya diajak juga bertiktok ria, tapi saya menolak. Mungkin karena usia sudah lebih tua, saya sudah malas berdebat.

Perlawanan terhadap anggapan Karo bagian Batak sudah tumbuh di kalangan mahasiswa Karo di Medan tapi tidak punya rekam jejak karena tidak ada tulisannya. Mungkin juga sudah terjadi sebelumnya tapi kita tidak tahu.

Rekam jejak Gerakan KBB dimulai oleh Djamaludin Tarigan dan Roberto Bangun. Banyak dilecehkan oleh orang-orang Karo karena Djamaludin adalah muslim dari Partai PPP dan Roberto Bangun menyarankan untuk merubah nama GBKP.

Karena itu pula Gerakan KBB awalnya dituding muncul dari kaum muslim, Katolik, Kharismatik, barisan sakit hati di GBKP dan lain sebagainya yang ingin menghancurkan GBKP.

Saya harus berkata jujur, ada yang mendompleng KBB seperti yang dituduhkan itu. Tapi, dengan sigan saya dan teman-teman menyerukan agar tidak mengkait-kaitkan lagi dengan GBKP.

Para anti KBB juga harus jujur bahwa tuduhan mau menghancurkan GBKP itu sering dilebih-lebihkan agar orang-orang tidak bersimpati pada KBB.

Sekarang ini justru anti KBB dan terutama orang-orang Batak yang memajukan argumen dengan berkata: “Ubah dulu nama gerejamu itu supaya Karo Bukan Batak.”

Saya kira pertanyaan di awal tulisan sudah terjawab yang bisa diringkas seperti judul di atas: KESENJANGAN ANTARA FAKTA KEPUSTAKAAN DAN FAKTA KESEHARIAN

Salam mejuah-juah

Foto cover: Salah satu penampilan Kelompok Teater SIRULO

One thought on “KESENJANGAN ANTARA FAKTA KEPUSTAKAAN DAN FAKTA KESEHARIAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.