Kolom Andi Safiah: MEMASUKI ARENA POLITIK

Mengapa orang-orang “baik, cerdas, lagi mapan” tidak mau terjun ke arena politik?

Begini ….

 

Pertama, politik masih dilabel sebagai “arena jorok, kotor, lagi biadab” makanya mereka “takut” reputasi mereka ikut menjadi biadab, jorok, dan kotor ketika masuk dalam dunia politik.

Ke dua, politik selalu membuat nurani mereka terluka, karena yang mereka saksikan di layar-layar TV mereka adalah politikus kelas sampah yang secara tidak sadar justru mereka lahirkan sendiri.

Ke tiga, politik dipahami sebagai sebuah pertandingan antara bajingan vs bajingan, sehingga siapapun yang menang, tetap saja yang nongol di layar TV mereka adalah bajingan. Ke empat, pemahaman mereka tentang politik masih pada versi “purba” alias “primitive”, padahal jika disadari iPhone saja sudah kehabisan nomor untuk menggambarkan produk terbaru mereka.

Lalu menurut Andi Safiah solusinya bagaimana?

Begini ….

Pertama, paradigma kita akan politik perlu digeser, atau kalau bisa dirubah, dari politik sebagai arena yang jorok, kotor, lagi biadab menjadi arena yang agung, bermartabat lagi beradab. Karena, ternyata, semua images soal politik di kepala kita akibat dari persepsi yang kita bangun sendiri. Dari mana persepsi itu muncul, dari kepanikan atau ketakutan kita akan dunia politik.

Cara pandang Ini harus dan wajib diruntuhkan.

Ke dua, untuk bisa melahirkan politikus kelas Plato, Aristo, atau Obama, maka keterlibatan kita secara aktif dalam mengkampanyekan gagasan politik yang berpijak di atas prinsip, sehingga “bonek politik” bisa dicegah. Lewat apa? Lewat peraturan yang logis, ketat, dan rasional.

Karena hanya mereka yang memenuhi syarat yang bisa masuk dalam arena pertandingan. Jika tidak maka akan gugur dengan sendirinya.

Anda bisa bayangkan ketika petarung UFC masuk arena Octagon dalam kondisi teler, bisa babak belur atau bahkan pingsan dihajar bolak balik. Jadi, syarat dan ketentuan sebagai seorang politisi perlu diperhatikan karena, jika lolos verifikasi faktual, maka derajatnya akan naik menjadi Negarawan (Indonesia masih belum punya itu).

Ke tiga, begitulah jika yang lolos verifikasi faktual ternyata gerombolan bajingan, sehingga saat diadu pun tetap saja yang keluar menjadi pemenang adalah bajingan.

Jika yang nongol ke permukaan adalah orang baik vs bajingan, masih ada kemungkinan orang baik menang, atau tetap bajingan yang menang karena Ilmunya jauh lebih sakti. Tapi, dengan memunculkan orang baik sebagai penantang para bajingan, kita punya kesempatan untuk memenangkan orang baik.

Contoh dalam drama politik Indonesia munculnya orang baik macam Ahok dan Jokowi (artinya ada harapan).

Terakhir, pemahaman kita sebagai bangsa soal politik perlu senantiasa di-up-grade. Tidak cukup membaca karya Tocqueville soal demokrasi. Kita juga perlu membaca karya William E.H Lecky agar pemahaman kita soal demokrasi menjadi semakin berkwalitas.

Untuk apa?

Agar kita tidak mudah terjebak dalam permainan kata-kata yang minus nilai, karena prinsip demokrasi dari dulu belum berubah. Sejak Lincoln mendeklarasikan dirinya sebagai seorang demokrat sejati, dimana menurut dia, semua datangnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.

Jika pemahaman rakyat telah sampai pada tahap ini, maka produk politik yang dihasilkan akan memenuhi standard kwalitas yang prima.

Bpk Demokrasi Indonesia DapiL Facebook
Andi Safiah

HEADER: Cynthia Nixon dari televisi ke arena politik







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.