Kolom Andi Safiah: PARADOX TUHAN DALAM UUD 45

Jika anda membaca dengan teliti apa yang tertulis dalam pembukaan UUD 45, maka di sana anda akan menemukan kenyataan bahwa ada 2 “paradox” yang berpotensi saling berbenturan satu dengan yang lainnya.

Pertama, pada alinea ke tiga yang bunyinya: “Atas berkat rakhmat ALLAH Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

kalimat “ALLAH” sengaja saya tulis dengan huruf kapital untuk menegaskan letak paradoks yang saya maksud nantinya.







Ke dua, pada alinea ke empat: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada KETUHANAN Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Kalimat “KETUHANAN” yang disebutkan sebagai dasar kita bernegara, jelas memiliki arti yang sangat berbeda dengan kalimat “ALLAH”.

Untuk mempermudah, saya akan mencoba membuat dua perbandingan sederhana.

– Allah yang maha kuasa dan Ketuhanan yang maha ESA.

Kedua problem inilah yang kemudian menjadi “paradox” yang melahirkan salah paham diantara generasi bangsa ini, yang satu mengklaim bahwa tanpa pertolongan “ALLAH” yang maha kuasa maka kemerdekaan bangsa ini akan menjadi “mustahil” ada.

Sementara di satu sisi “Ketuhanan yang maha ESA” jelas memiliki makna yang lebih “unusual” lagi, bahwa TUHAN yang dimaksud adalah tuhan “Universal” bukan tuhan “PERSONAL” macam ALLAH.

Jadilah negara kita sampai saat ini masih berkutat pada rebutan “pepesan kosong” macam Tuhan. Selama probem ketuhanan ini tidak dijawab, maka selama itu pula kita hanya akan menjadi bangsa yang “pandir, insecure, dan kekurangan kepercayaan pada dirinya sendiri”, karena lagi-lagi problem “ketuhanan” belum selesai dan bagi saya konsep ini cenderung dipaksakan sebagai jalan kompromistis.

Bahwa kemerdekaan bangsa ini sebenarnya lahir dari proses yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, dimana Jepang sebagai salah satu kekuatan militer terbesar di Asia Pasifik pada saat itu bisa kalah tanpa syarat akibat serangan brutal Amerika dan sekutunya.

Kemerdekaan bangsa ini lebih pada pemberian alam dari pada pemberian dari Allah atau dari Tuhan yang maha ESA, ini adalah pandangan saya personal sebagai generasi yang lahir jauh setelah kemerdekaan.

Pada titik ini, saya ingin menyampaikan pandangan personal saya terhadap polemik rasa ketuhanan di Republik Pancasila ini, bahwa cita-cita kemerdekaan kita di luar rasa ketuhanan sudah sangat “realistis” dan memenuhi unsur kebenaran universal.




Lihat saja pada alinea Pembukaan UU 45, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Mengapa tidak ada “Peri-Ketuhanan” di sana? Karena saya kira mereka sadar bahwa rasa kemanusiaanlah yang perlu di kedepankan, bukan rasa ketuhanan, juga soal keadilan dialinea pembukaan sangat jelas tertulis.

Jadi, polemik ketuhanan yang tidak akan pernah berakhir bisa dijawab jika bangsa ini berani dengan sadar meninggikan rasa kemanusiaannya dari pada rasa personal ketuhanannya, hanya dengan itu apa yang disebut “supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”, jika tidak maka kita semua sebagai manusia yang punya negara bernama Indonesia masih akan terus terpenjara dalam ruang-ruang sempit penjara “KETUHANAN”.

NB: Mari kita diskusikan dengan argumentasi yang masuk akal, bukan argument “pokoknya”.

Siap dibantai oleh siapapun dia yang membaca dengan bahasa kejujuran dan nurani yang merdeka.

#Itusaja!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.