Kolom Andi Safiah: WARAS ITU NIKMAT

Dialektika publiK dalam masyarakat yang waras, lebih banyak berbicara tentang bagaimana masa depan species homo sapiens (manusia). Mereka sudah tidak terjebak dalam wacana-wacana sentimentil macam RAS, apalagi sekedar pilihan keyakinan macam Agama, atau siapa Tuhan yang paling cocok untuk dijadikan sesembahan.

Tidak, mereka sudah terlalu jauh meninggalkan kita sebagai sesama species tapi jarang melakukan yang namanya up grade atau reboot, sehingga aplikasi-aplikasi yang sudah out of date bisa hilang dengan sendirinya.

Mereka sudah lebih banyak berbicara bagaimana species manusia bisa hidup dengan satu visi kemanusiaan universal, yaitu ingin menikmati hidup yang lebih tolerance, damai, dan tentu saja sudah tidak repot soal ekonomi dan politik. Pada saatnya, semuanya akan bisa diciptakan lewat program-program komputer dan manusia tinggal berselancar dari satu galaxy ke galaxy yang lain (baca: piknik).







Model imaginasi purba macam reward and punishment sudah tidak berlaku lagi, atau bahkan sudah hilang dari memori purba manusia dimana manusia yang mendedikasikan dirinya untuk menyembah Tuhan akan mendapatkan hadiah. Sementara yang membangkang pada ketentuan Tuhan akan disambit di neraka sampai waktu yang tidak bisa ditentukan kecuali oleh Tuhan sendiri.

Imaginasi yang seperti ini sudah sangat ketinggalan becak. Mereka mainnya sudah di level rocket, hyper loop, fast car, hingga flying car, kita masih bermain di becak, bemo, bajaj, bahkan menghayal soal gojek terbang pun gagal.

Dari sisi “keimanan”, mereka sudah tidak beriman pada illusi yang diciptakan oleh tokoh-tokoh agama atau tokoh politik opor ayam. Mereka “beriman” pada bukti-bukti empiris yang ditawarkan oleh Ilmu Pengetahuan (baca: Science) dimana proses pertumbuhan ilmu pengetahuan selalu berjalan di atas penemuan-penemuan baru.

Inilah yang saya sebut sebagai masyarakat yang waras, karena mereka sudah tidak menggantungkan harapannya pada Illusi, tapi pada realitas-karena hukum-hukum yang bekerja di alam semesta ternyata bisa menjawab semua kebutuhan manusia, dengan syarat pikiran manusia harus sebebas alam. Jika dibatasi oleh dogma-dogma maka manusia akan terjebak dalam kotak peradaban yang dia ciptakan sendiri.

Lalu ada di mana posisi Indonesia?

Saya harus menjawab dengan tegas bahwa Indonesia masih tertinggal jauh di belakang, mengapa? Karena rakyat Indonesia nampaknya masih lebih doyan makan agama dari pada Science, bagi mereka agama bisa menenangkan mereka, sementara science justru menyeramkan dalam pikiran mereka.

Padahal jika di lirik faktanya, semua product teknologi yang doyan mereka gunakan datangnya bukan dari agama, tapi dari science. Lalu, kebencian atau ketakutan mereka pada science ada pada doktrin agama yang nampaknya sebentar lagi akan disapu oleh peradaban scientific yang susah dibendung.




Kegelisahan itu begitu tampak, karena arus peradaban saat ini ada di tangan para ilmuan, merekalah yang akan menciptakan “what is tomorrow looks likes”. Sementara pada agamawan yang doyan menjual kebohongan akan punah di tinggalkan oleh manusia yang sudah terbangun dari tidur panjangnya.

Perang antara agama dan science sudah berlangsung cukup lama, dan inilah saatnya agama akan dikubur dalam memory “failed” manusia.

Ilmuan tidak harus membunuh para agamawan, seperti halnya agamawan banyak membunuh para ilmuan di masa lalu. Para ilmuan tidak mengenal yang namanya balas dendam. Ilmuan yang waras tentu saja ingin menciptakan dunia yang lebih terbuka bagi semua manusia. Bagi Ilmuan, latar belakang manusia sudah diketahui datang dari seed yang sama. Kita adalah homo sapiens yang telah sukses menjadi monster bagi species lainnya.

Saatnya Homo Sapiens menciptakan dunia yang ramah bagi semua species, dan cita-cita besar ini bukanlah sebuah omong kosong macam cita-cita masuk surganya kaum agamawan. Para ilmuan menyadari, jika mereka melakukan pendekatan yang tepat seperti yang diajarkan oleh the first principle, semua yang hidup di atas planet ini bisa menikmati kemakmuran bersama.

Ide dari salah satu manusia paling moncer di jagat ini yang dikenal dengan Elon pernah mengajukan sebuah konsep “Basic Universal Income” bagi seluruh manusia. Ide ini terkesan ngawur. Sama ngawurnya ketika dia melahirkan perusahaan Space X yang luar biasa. Ternyata di mata dunia, Elon dicap ngawur sementara ketika Space X sukses menjawab berbagai keraguan dunia, maka Elon dicatat sebagai manusia paling “Gila” dalam peradaban manusia.

Artinya, kebebasan pikiran akan melahirkan begitu banyak kemungkinan. Cuman saja, apakah hukum fundamental itu dipahami atau justru ditakuti?

Indonesia jika ingin maju sebagai bangsa, maka mulai saat ini, logika agama harus dibuang dalam ruang private. Publik jangan dipaksa untuk memakan makanan yang tidak sehat macam agama. Biarkan publik menciptakan menunya sendiri di luar campur tangan otoritas agama yang kerjanya cuman menakut-nakutin manusia dengan berbagai model ancaman yang absurd.

Penulis adalah seorang yang akan selalu mempromosikan kebebasan, karena kebebasan adalah fondasi dari semua penemuan.

#Itusaja!









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.