Kolom Daud Ginting: GEREJA DAN POLITIK

Idealnya, gereja bersikap independen dalam politik untuk menghindari benturan kepentingan umat yang plural, namun bukan berarti gereja apolitis, atau alergi terhadap politik.

Secara historis Gereja Katolik memiliki tradisi dialogis menyikapi tanda-tanda zaman khususnya dimensi sosial, ekonomi dan politik dunia.

Dengan terang Injil, gereja dewasa ini memposisikan diri bukan sebagai guru paling berkuasa menentukan pilar moralitas, tetapi berdialog secara terbuka dengan semua orang untuk membaca tanda-tanda zaman, sehingga ajaran sosial Gereja bersifat dialogis serta mempergunakan ilmu sosial merumuskan refleksinya.

Salah satu bentuk kepedulian gereja terhadap pergelutan kehidupan umat manusia lahirnya ajaran sosial Gereja berupa refleksi teologis dan tradisi realitas sosial aktual masyarakat, ajaran sosial Gereja ini disusun berdasarkan pengalaman gereja menghadapi zaman.

Paska Konsili Vatikan II ada 14 dokumen dikategorikan sebagai ajaran sosial Gereja:

1. Rerum Novarum 1891 (Keadaan Buruh)
2. Quadragesiko Anno 1931 (Rekonstruksi Tatanan Sosial)
3. Materi et Magistra 1961 (Kekristenan dan kemajuan sosial)
4. Pacem in Tetris 1963 (Perdamaian Dunia)



5. Gaudium et Spes 1965 (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia modern)
6. Dignitatis Humanae 1965 (Deklarasi tentang kebebasan beragama)
7. Popularitas Progresio 1967 (Tentang kemajuan bangsa)
8. Octogesima Adveniens 1971 (Panggilan untuk bertindak)
9. Convenientes ex universo 1971 (Berhimpun dari seluruh dunia) atau Justicia in Mundo (Justice in the world)
10. Evangelii Nuntiadi 1975 (Evangelisasi di dunia modern)
11. Laborem Excersens 1981 (Tentang kerja manusia)
12. Solicitudo Rei sosialis 1987 (Tentang keprihatinan sosial)
13. Centesimus Annus 1991 (hal-hal baru zaman sekarang)
14. Laudato Si 2015 (Masalah Lingkungan hidup).

Ajaran sosial Gereja merupakan kumpulan refleksi mengenai realitas sosial aktual masyarakat dunia, khusus memberi perhatian pada ketimpangan kaya-miskin, ekonomi, organisasi sosial dan peran negara.

Melihat Rerum Novarum eksilik pertama ajaran sosial Gereja, jelas menunjukkan peran gereja menyumbangkan pemikiran menanggapi polarisasi ideologi dunia antara kapitalisme dan komunisme, terutama dialog pemikiran mengantisipasi kekuatiran terhadap hantu komunisme.

Dalam Rerum Novarum dibahas hak-hak buruh, hak milik pribadi / melawan gagasan Marxisme-komunis dan peran gereja dalam keadilan sosial.

Ajaran sosial selanjutnya juga tidak dapat dipungkiri masih sarat dengan sumbangan pemikiran mengantisipasi trend polarisasi dua kutub ideologi komunisme versus kapitalisme. Terutama tentang kemiskinan atau jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin dan problema keadilan.

Bertepatan dengan ulang tahun Rerum Novarum ke-100, 1991, terjadi perkembangan baru dunia atau periode baru dunia paska runtuhnya tembok Berlin serta jatuhnya komunisme dan sosialisme Marxisme di Eropa Timur.

Gereja memandang komunisme menuju liang lahat bukan berarti kapitalisme menemukan pembenaran dan bukan berarti kapitalisme merupakan pilihan satu-satunya paling tepat, karena kapitalisme juga dipandang cenderung mengedepankan eksplorasi kebebasan serta memicu ketidak adilan.

Dalam Eksilik Centesimus Annus selain masih diwarnai dokumen Rerum Novarum dibahas hal-hal baru sesuai kondisi zaman terakhir.

Francis Fukuyama mengatakan dengan runtuhnya komunisme bangunan sosial ekonomi masyarakat tidak lagi diatur persaingan atau dialektika dua kutub ideologi, tetapi bukan berarti kekuatiran sudah usai karena kapitalisme justru dikuatirkan akan lebih lihai, brutal dan tidak terkendali.

Selaras dengan pemikiran Francis Fukuyama, gereja melalui ajaran sosialnya masih relevan mewarnai atmosfir sosial, ekonomi dan politik kehidupan umat manusia zaman ini?








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.