Kolom Edi Sembiring: PRABOWO, JANGAN AJARI PETANI MELAWAK

Di Indonesia, petani juga punya banyak cara menghabiskan malam. Dulu mendengarkan radio. Lalu menonton TV.

Bercengkrama dengan keluarga. Atau bersenda gurau di kedai kopi. Hingga pergi ke pasar malam. Tak ada yang beda. Yang beda hanyalah: Prabowo berbicara dari sisi tuan tanah dan pemilik modal besar. Sekian tahun jadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Bahkan Prabowo mengkritik pupuk yang tak sampai langsung ke petani. Import beras. Lalu apa yang telah dilakukan Prabowo sebagai Ketua HKTI selama ini?

Di acara “Dialog Capres Bersama Kadin” yang diadakan di Djakarta Theater, Jakarta [Jumat 12/1], Prabowo menjawab pertanyaan Wakil Ketua Umum Kadin Wilayah Sulawesi (Kukrit Suryo Wicaksono). Kukrit bertanya tentang strategi meningkatkan produksi pangan dan mewujudkan kemandirian pangan. Bagaimana strategi Prabowo meningkatkan pendapatan petani melalui modernisasi pertanian sekaligus mewujudkan kemandirian industri pertanian.

Kukrit juga menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir, jumlah penduduk Indonesia bertambah 25,5 juta jiwa. Sementara jumlah petani berkurang 1,7 juta jiwa. Jumlah petani akan terus berkurang, karena 32% petani berusia di atas 60 tahun. Sedangkan anak muda kurang berminat jadi petani. 59% petani menggarap lahan di bawah 0,5 Ha. Pendapatannya rendah karena rendahnya produktivitas dan tehnologi.

Prabowo mengatakan, masalah pangan, masalah pertanian, itu adalah hidup matinya sebuah bangsa. Kalimat ini pernah diucapkan Sukarno dulu dalam pidatonya. Lalu, Prabowo melanjutkan, mengapa anak-anak petani tak mau jadi petani karena melihat bapaknya susah. Dan ia memberi contoh di Jerman seperti kalimat di awal. Anak-anak petani di Jerman mau jadi petani karena untung.

Namun, penggambaran joget-joget, mobil dan rumah bagus tidak juga tepat sebagai keberhasilan. Joget, mobil dan rumah tergantung kebutuhan.

“Saya sudah bertahun-tahun menyampaikan, kita harus punya Food Estate yang besar. Kita harus bikin petani makmur, agar anaknya petani mau jadi petani. Seperti di Jerman, di mana-mana,” kata Prabowo.

Prabowo mengagungkan Food Estate di jaman Orde Baru. Nyatanya proyek lahan gambut 1 Juta Ha yang akan diubah jadi persawahan gagal. Bahkan kini lebih 600 Ha Food Estate Singkong Prabowo sendiri gagal. Sementara hutan telah terbabat.

Prabowo juga mengagung-agungkan pengelolaan yang sudah baik di zaman Pak Harto seperti Bulog. Namun ia pasti tak akan buka bagaimana Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pimpinan adik iparnya, yakni Tommy Suharto, justru menghancurkan petani-petani cengkeh. Bahkan hampir membuat pabrik-pabrik rokok gulung tikar.

Ketika harga stabil dan produksi cengkeh melimpah, petani-petani dipaksa menebang pohon-pohon cengkeh karena stok cengkeh melimpah. Harga anjlok dari Rp.7.900/kg menjadi Rp.4.000/kg bahkan di beberapa tempat ada yang Rp.250/kg.

Di saat yang sama BPPC tetap menetapkan angka Rp.10.000 – 12.000/kg untuk dijual ke pabrik rokok. Pabrik rokok tak bisa beli langsung ke petani.

Di saat petani disuruh menebang pohon-pohon cengkehnya, pada tahun 1997, BPPC tercatat memiliki 164.000 ton stok cengkeh yang dapat bertahan hingga 1999. Untung besar bukan?

Kalau memang tahu persoalan petani, mengapa Prabowo sebagai pimpinan HKTI tak menekan pemerintah soal pupuk dan jaminan stabilitas harga? Mengapa tidak ia buat Food Estate di lahannya yang luas itu sejak dua puluh tahun lalu? Dan, mengapa ketika merasa paling tahu pertanian, menanam ubi kayu pun tak berhasil. Menggelikan…

Saya ingat pesan petani di kampung saya: jangan pernah ajari petani dalam berbudi daya. Mereka sudah pintar. Kalaupun ada hal yang baru, mereka cukup mencontoh dan sangat cepat dalam menyerap soal budi daya.

Yang mereka butuhkan hanya saprotan yang harganya terjangkau. Saprotan atau sarana produksi pertanian terdiri atas bahan yang meliputi benih, pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh dan lainnya yang mendukung pertanian.

Harga saprotan terjangkau dapat meningkatkan produktivitas tinggi. Ini saja sudah dapat meningkat produksi beras kita.

Produksi beras pada 2023 diperkirakan sebesar 30,90 juta ton. Kekurangan sekitar 1-1,5 juta ton. Naikkan produktivitas 5% sudah cukup.

Lalu pemasaran hasil-hasil pangan. Dan, juga terpenting, kian bertambahnya penduduk membuat kian mengecilnya lahan pertanian. Tak maunya anak-anak petani menjadi petani bisa terjadi karena lahan yang mereka miliki kian kecil setelah lahan dibagi. Tak menguntungkan bila dikelola.

Sementara janji redistribusi tanah tak meluas ke banyak petani. Yang sering terlihat hanya pembagian sertifikat tanah, itu hanya program membantu petani dalam menerbitkan sertifikat tanah miliknya. Lahan-lahan luas HGU yang tak dipakai justru perlu diredistribusi ke banyak petani-petani kecil. Ini baru memunculkan ketahanan dan kemandirian pangan.

Agak lucu juga bila Prabowo berbicara soal pertanian kepada petani-petani gurem, sementara ia tuan tanah yang tak menguasai budidaya pertanian. Konon pula tahu, bagaimana paman-paman petani bahagia cukup dengan berjoget sambil mendengar suara irama dangdut dari radio tuanya.

Atau gelak tawa di kedai kopi sambil melihat Prabowo terbata-bata dalam menjawab debat di Debat Pilpres 2014, 2019 dan 2024.

Bapak ini lagi… bapak ini lagi. Enggak bosen nyapres, pak?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.