Kolom Juara R. Ginting: ANDALAH ORANG HEBAT ITU

Terhadap salah satu tulisan saya mengenai KBB (Karo Bukan Batak), seseorang memaki-maki dengan menuduh saya hanya melontarkan opini sesat dari Belanda tanpa peduli pada nasib Tanah Karo. Dia mempertanyakan di mana saya saat Gunung Sinabung meletus.

Dalam hati saya berkata, saat itu saya ada di Dataran Tinggi Karo.

Semua tempat pengungsian saya kunjungi sambil membagi-bagikan selimut, pembalut perempuan, dan bahan-bahan makanan. Meski uangnya bukan dari saya, saya berdua dengan Ita Apulina Tarigan berbelanja ke Pasar ikan (Medan) membeli selimut dan pembalut perempuan untuk dibagikan ke semua pengungsi.

Saya juga dijadikan oleh Ranesi (Radio Nederland Siaran Indonesia) Hilversum sebagai nara sumber untuk mengikuti perkembangan keadaan Sinabung dan para pengungsi.

Bersama Sanggar Seni Sirulo kami menghibur pengungsi di beberapa tempat pengungsian di Kabanjahe dan sekaligus memberikan pelatihan cepat bermain ketteng-ketteng kepada anak-anak pengungsi. Kami dapatkan dananya dari seseorang dermawati dari Bali.

Dia tanyakan lagi, ke mana saya dengan masalah jalan ke Liang Melas Dates.

Dalam hati saya, sayalah yang pertama kali memperkenalkan Liang Melas Gugung (sebelum anak-anak mahasiswa AMIK menyebutnya Liang Melas Dates) ke dunia luar. Saya paparkan masalah keterisolasian mereka akibat jalan yang rusak parah. Kasus ilegal logging dan penipuan lahan. Kasus Pemukiman Kembali Suku Terasing atau Transmigrasi Lokal di Kuta Kendit, dan banyak lainnya.

Saya suarakan itu di seminar-seminar ilmiah akademik internasional di Eropah dan media sosial yahoogroups (sebelum ada facebook). Bahkan saya mendorong salah seorang mahasiswa saya menulis skripsi mengenai Transmigrasi Lokal di Kuta Kendit itu (Jurusan Antropologi FISIP USU, Medan).

Saya cegat Prof. Masri Singarimbun (UGM Yogyakarta) ketika dia ke Medan untuk menjadi penguji tamu skripsinya. Saat itu, Pak Masri menjadi pengawas dana pananganan suku-suku terasing di Wilayah Sumatera.

Saya dan Pak Masri terlibat debat kecil mengenai Kuta Kendit itu hingga dia menulis kolomnya di Majalah TEMPO mengakui kesalahannya pada saya. Karena terlalu fokus pada soal pendanaan, dia mengabaikan penetapan Karo sebagai suku terasing oleh Departemen Sosial RI adalah sebuah kesalahan besar.

Isi skripsi mawasiswa saya itu adalah mempersoalkan kriteria suku terasing, mengkritik SK Mensos Tahun 1967 yang menetapkan Karo sebagai suku terasing hanya karena sebagian besar warganya belum beragama apapun.

Si penghujat saya itu mempertanyakan lagi, ketika Karo dalam bahaya Narkoba, apa yang saya lakukan?

Wah ….. wah ….. Siapakah hamba ini, ya Tuhan? Anda semua yang membaca tulisan saya ini, ke mana kalian semua sehingga Narkoba tetap mengancam Tanah Karo?

Jenderal Arman Depari adalah komandan pemberantasan Narkoba tingkat nasional. Dia adalah putra Karo asal Berastagi. Mengapa tidak menuntut dia? Kapolda, Kapolres, Kapolsek dan petugas-petugas kepolisian lainnya ke mana?

Seperti halnya suatu kali ada orang mempersoalkan kebersihan Kota Berastagi. Dia menuntut kita semua berbuat sesuatu. Wah, di Berastagi itu ada camatnya, ada para lurah, ada lagi Bupati bersama dinas-dinas terkait (pariwisata, pekerjaan umum dan lain-lain), ada anggota DPRD dari Dapil sana.

Kita ini siapa? Apa lagi saya yang tinggal di Belanda. Apakah tinggal di Belanda dan menulis opini di media sosial adalah sebuah dosa besar?

Dan, dia sendiri yang berteriak-teriak menuntut kita itu siapa dan apa pula rupanya yang telah dibuatnya untuk Tanah Karo?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.