Kolom Juara R. Ginting: ANTARA KBB DAN ROCKY GERUNG — Stereotipe Sebagai Kesimpulan

Seseorang memosting foto di bawah ini ke grup facebook R.E. Nainggolan (mantan pejabat tinggi di Pemprovsu yang Suku Batak). Pemostingnya sendiri dari merga Tarigan, dari Suku Karo. Dia menjelaskan foto itu memperlihatkan “dukun wanita pada suatu acara ritual aliran kepercayaan Parmalim di Suku Batak dahulu kala”.

Saat postingan itu dibagikan ke sebuah grup fb Suku Karo, saya memberi komentar sebagai berikut:

“Makanya pelajari juga konstruksi rumah adat Karo. Hanya rumah adat Karo yang punya labah atau disebut juga anak lau tempat guru (dukun Karo) itu berjalan bolak balik dari hilir ke hulu dan dari hulu ke hilir sebanyak 11 kali sebelum dia duduk di salah satu bagian rumah.”

Selanjutnya saya menganjurkan pembaca memperhatikan pula adanya benda-benda seperti tendang (pelita khas Karo), kitang (tempat air nira dari bambu), dan dapurnya dengan para-para. Rumah Adat Batak hanya punya satu dapur, sedangkan rumah adat Karo punya beberapa dapur dengan masing-masing tungkunya 5 buah (bukan Dalihan Na Tolu).

“Jangan langsung ke fantasi dari India ini itu. Dalami dulu materi. Ini bukan dukun Batak maupun Parmalim. Ini dukun Karo,” kataku.

Komentar saya itu sebenarnya lebih diarahkan oleh komen-komen sebelumnya (semua dari orang-orang Karo) yang kesannya membantah penjelasan Si Tarigan tapi sama sekali tidak memberikan penjelasan apa-apa untuk membuktikan bahwa itu Dukun Karo, bukan Dukun Batak.

Si Tarigan memberi penjelasan mengenai foto itu bukan berdasarkan pengetahuannya secara materil tentang foto, tapi melainkan menggunakan anggapan umum bahwa:

1. Agama tertua yang masih tersisa di Sumut adalah Parmalim

2. Parmalim adalah agama Batak asli

3. Segala yang terlihat kuno dan tua sekali pastilah tradisi Batak.

Ketiga asumsi di atas salah total. Parmalim adalah agama yang diciptakan oleh bekas panglima perang Sisingamangaraja 12 bernama Somalaing Pardede dengan mengkombinasikan tradisi Batak dengan Islam dan Katolik.

Dia mempelajari Katolik saat menjadi guide dua botanist asal Italy.

Jadi, poin ke dua adalah juga salah karena Parmalim bukan agama Batak asli. Ini menunjukan Si Tarigan tidak tahu apa-apa mengenai Sejarah Batak kecuali bergerak dari apa yang menjadi issue di tengah-tengah masyarakat awam yang tidak mendalami sejarah secara ilmiah akademik.

Hal itu terlihat sekali pada poin ke tiga. Memang pernah hidup sebuah anggapan kalau Kebudayaan Batak [Toba] adalah paling terbelakang karena terisolir dari dunia luar. Anggapan itu dibangun dari asumsi kalau Batak mewakili Budaya Melayu Tua (Proto Malay), sementara Melayu Pantai Timur dan Melayu Pantai Barat mewakili Melayu Muda (Neo Malay).

Belakangan terkuak penemuan arkeologi kalau Gayo dan Karo jauh lebih tua tinggal di Pulau Sumatera (lebih 7 ribu tahun) sementara Batak [Toba] tidak lebih dari 1.000 tahun.

Dari uraian di atas jelas sekali kalau si pemosting foto tidak kenal sama sekali materi foto. Dia juga tidak mengenal perbedaan interior rumah adat Batak dengan interior rumah adat Karo. Juga dia tidak mengenal benda-benda yang tampak di dalam foto itu kebanyakan benda-benda Suku Karo yang tidak dimiliki oleh Suku Batak. Termasuk cara berpakaian orang-orang di foto jelas sekali berbusana ala Karo.

Singkat cerita, Si pemosting tidak peduli pada data untuk menarik kesimpulan apa yang ditunjukan oleh foto. Dia hanya bermodal deduksi, yaitu dengan berpijak pada asumsi segala yang terlihat tua atau kuno adalah milik Batak dan semua kelompok-kelompok sosial yang rada-rada memperlihatkan ciri primitif seperti itu pastilah Batak.

Cara deduksi seperti itu dilakukan oleh Rocky Gerung saat menuduh Jokowi menjual negara (Indonesia) ke China. Kalau Jokowi menjajakan ke para pemodal di China untuk menanamkan modalnya dalam pembangunan IKN (Ibu Kota Negara), saya kira masih bisa dipercaya karena Jokowi memang berusaha terus mencari investor untuk IKN.

Bisa jadi juga, sekali lagi bisa jadi, bahwa dia memikirkan legasi untuk dirinya sendiri seusai masa jabatannya sebagai Presiden RI, sebagaimana dituduhkan oleh Rocky Gerung. Hanya saja, kalau kita berpendapat begitu, apakah pendapat kita itu didukung oleh data maupun fakta?

Rocky Gerung mau dianggap mewakili dunia ilmiah akademik, dari latar belakangnya Ilmu Filsafat pula. Tapi dia mengabaikan kalau prosedur ilmiah itu lebih membatasi seorang ilmuwan menyimpulkan sesuatu. Di keterbatasannya itulah kekuatan dunia ilmiah akademik, bukan di kebebasanya bisa asal ucap saja tanpa didukung oleh data maupun fakta.

Negara kita menganut hukum positip yang artinya adanya peristiwa harus dibuktikan secara positip pula yaitu dengan bukti-bukti materil (ada wujudnya). Mimpi atau bisikan Allah maupun desis-desis leluhur bukan bukti positip.

Apa buktinya kalau Jokowi hanya memikirkan legasinya pribadi setelah masa jabatannya berakhir tanpa memikirkan nasib Rakyat Indonesia? Kalau Rocky tidak bisa membuktikannya secara postip, maka pengadilan bisa memutuskan kalau dia sudah menyebarkan berita bohong (hoax).

Itu secara hukum. Tapi secara ilmiah Rocky sudah melakukan kesalahan tidak menyinggung sedikitpun bukti positip atas asumsinya bahwa Jokowi menjual negara kita ke China. Dia juga tidak menunjukan buktinya kalau Jokowi menjajakan IKN demi legasinya sendiri seusai masa jabatannya.

Makanya, mengatakan Gerung mewakili dunia ilmiah akademik sudah sejak awal saya ragu.

Dunia ilmiah akademik itu memang banyak centang perentangnya, tapi di situlah kekuatannya, supaya orang-orang jangan Asbun seperti Rocky Gerung. Dia pikir dengan menggunakan istilah-istilah akademik sudah bukti pemikirannya ilmiah.

Dalam menyampaikan kritik, ilmuwan tugasnya adalah mencerahkan bukan menggelapkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.