Kolom Juara R. Ginting: BATAK SEBAGAI FAKTA DAN BATAK SEBAGAI TEORI

Ada 2 pandangan tentang Batak. Satu, sebagaimana biasanya ditampilkan di literatur, yaitu yang meliputi Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan Batak Karo. Satunya lagi terbatas mencakup Toba, Samosir, Humbang Silindung.

Kedua pandangan ini adalah fakta dan relevan dalam kehidupan banyak orang.

Pandangan pertama relevan di dunia akademik dan literatur. Sangat biasa ada orang-orang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang Karo secara lisan, tapi menulis di koran apalagi skripsi menyebut sukunya Batak Karo.

Adapun pandangan ke dua relevan di dalam hubungan antara orang-orang Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung. Walaupun ada perbedaan adat istiadat diantara mereka, keempat kelompok sosial ini dipersatukan oleh satu bahasa yang sama, yaitu Bahasa Batak.

Kalangan terakhir ini sering kali menganut nilai ganda tentang istilah Batak. Mereka bisa mengatakan “hita Batak on” (kita [Suku] Batak ini) kepada sesamanya dengan maksudnya sesama mereka yang berbahasa Batak.

Tapi, mereka bisa juga mengatakan “kita Orang Batak” kepada kelompok-kelompok sosial lainnya (Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing) walaupun kelompok-kelompok sosial lainnya itu tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Batak.

Bagaimanapun juga, kedua pandangan itu adalah fakta yang dipraktekkan oleh banyak orang.

Ada juga pandangan lain, selain kedua pandangan di atas, tapi keberadaannya bukan sebagai fakta melainkan teori. Pandangan itu mengatakan Batak adalah ciptaan Belanda yang mengkonsepsikan semua penghuni pedalaman Residen Sumatera Timur dan Residen Tapanuli (sekarang keduanya masuk Provinsi Sumatera Utara) adalah Batak.

“Jadi, Batak itu tidak ada. Hanya buatan orang asing,” kata mereka.

Arkeolog Dr. Daniel Peret asal Perancis adalah salah seorang inspirator dari pandangan ini. Hanya saja, pandangan ini belum dapat dikatakan sebagai fakta. Selain penganutnya terbatas di kalangan akademisi dan orang-orang yang tidak suka disebut Batak, pandangan ini belum menjadi kebutuhan memaksa.

Bagaimana kebutuhan memaksa?

Saya coba mengilustrasikannya dengan sebuah pesan messenger kepada saya dari seorang mahasiswi Jurusan Antropologi di Universitas Udayana (Denpasar). Dia meminta kepada saya literatur yang menulis tentang Karo Bukan Batak.

Dia sedang menulis skripsi dan di situ dia tulis kalau Karo Bukan Batak. Dosennya tertarik akan hal itu, tapi dia meminta literatur apa saja yang sudah membahasnya dan menyatakan Karo Bukan Batak.

Itu terjadi karena sudah umum dikenal di Indonesia bahwa Karo adalah salah satu subsuku Batak. Untuk membantahnya, ada sebuah kekuatan memaksa untuk membuktikannya secara akademik pula, yaitu dengan literatur.

Contoh lain dari kekuatan memaksa adalah pengumuman di sebuah gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Jakarta. Ada jam kebaktian berbahasa Indonesia dan ada pula jam kebaktian berbahasa Batak. Bahasa Batak yang dimaksudkannya sangat jelas bukan bahasa yang dipahami oleh kebanyakan Orang Karo.

Memang ada orang-orang Karo yang mengerti Bahasa Batak, tapi itu melalui proses belajar dan umumnya mereka belajar setelah dewasa sebagaimana orang-orang Toba juga sebagian bisa berbahasa Karo.

Jelas yang dimaksud jam berbahasa Batak di gereja itu ditujukan untuk orang-orang Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung. Bukan Karo, Simalungun, Pakpak maupun Mandailing. Pandangan tentang Batak seperti ini jelas merupakan fakta, bukan?

Lain halnya dengan pernyataan bahwa Batak adalah ciptaan Belanda. Dan pendapat ini juga langsung bisa dibantahkan. Adanya sekelompok orang bernama Batak di Pulau Sumatera sudah muncul di buku Mendez Pinto yang berbahasa Portugis. Selanjutnya muncul lagi di buku W. Marsden (1811) berbahasa Inggris dan John Anderson (1826) yang juga berbahasa Inggris.

Karaw di buku Marsden itu tersebut hanya dalam satu kalimat dimana dia mengatakan: “Nun jauh di sana ada Karaw, Riah, dan Achin.” Riah kemungkinan yang dimaksudkannya adalah Bener Meriah, sedangkan Achin adalah Aceh.

Adapun kedatangan Belanda ke Sumatera Timur baru pada tahun 1862 untuk mengembangkan perkebunan tembakau. Sejauh itu, belum ada Kepustakaan berbahasa Belanda yang menulis tentang Karo.

Menurut hemat saya, tidak ada gunanya membantah sebuah fakta dengan teori, apalagi teori yang kita pergunakan hanya diketahui oleh segelintir orang. Bahkan di kalangan akademik tidak sangat dikenal pandangan bahwa Batak adalah ciptaan Belanda.

Bagaimana membantah fakta bahwa Bahasa Batak yang dimaksud oleh gereja HKBP di Jakarta itu terbatas pada orang-orang Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung? Jutaan orang mengerti pernyataan gereja itu dan menerimanya untuk mereka terapkan dalam tindakan serta prilaku mereka.

Itu juga sudah merupakan sebuah signal bahwa bahasa yang digunakan dalam ibadah berbahasa Batak itu tidak ditujukan untuk orang-orang Karo, Simalungun, Pakpak, dan Mandailing yang belum belajar Bahasa Batak.

Bantahan untuk menyatakan Karo Bukan Batak (KBB) hendaknya lebih diarahkan kepada fakta literatur yang hendak disosialisasikan sebagai fakta oral (lisan).

Kaum akademisi yang pro KBB kita harap bisa membantah fakta literatur itu dengan literatur pula, dengan aturan-aturan akademik yang berlaku. Tapi, kita semua Orang Karo sudah bisa dengan berbagai cara menghempang sosialisasi fakta literatur itu ke fakta lisan.

Bagaimana dengan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)?

Kita tidak perlu terpancing perdebatan emosional tentang itu karena dua alasan.

Pertama, sebagian orang menganggap GBKP adalah sesuatu yang sakral, dekat dengan hal-hal ketuhanan. Menggugat nama GBKP mereka anggap sebagai menggugat kekristenan mereka.

Ke dua, sebagian orang yang tidak setuju dengan Gerakan KBB mencoba menggiring opini bahwa KBB itu sengaja dihidupkan hanya untuk menyerang GBKP. Bahkan saat kita tidak berbicara soal GBKP mereka berusaha menggiring kita ke sana dengan pertanyaan: “Bagaimana dengan GBKP?”

Orang-orang yang membuat pertanyaan itu tidak hanya anggota GBKP. Ada yang Katolik, Islam dan bahkan orang-orang yang berbahasa Batak. Mereka dipersatukan oleh kesamaan, sama-sama anti KBB.

Ditanya atau tidak, kita cukup menyampaikan fakta-fakta bahwa:

1. GBKP adalah satu-satunya organisasi Karo yang menggunakan nama Batak.

2. Nama GBKP baru muncul di Sidang Sinode Pertama gereja ini pada tanggal 23 Juli 1941 di Sibolangit. Ini adalah FAKTA KERAS bahwa GBKP baru ada sejak tanggal itu.

3. Sebelum ada GBKP sudah ada tempat ibadah yang dibangun oleh missionaris di Buluhawar (Karo Jahe) dengan nama Karo Kerk yang bila diterjemahkan bernama Gereja Karo.

Kalaupun ada yang mengatakan hari jadi GBKP dihitung sejak missionaris pertama menginjakan kaki di Belawan, keberadaan pendapat ini ada pada level teori. Tidak usah membuang-buang waktu membahas teori maupun memperdebatkannya.

Kita sudah punya cukup kekuatan menumbangkan fakta literatur untuk kita jadikan monumen bahwa Karo PERNAH dikatakan bagian Batak secara tidak bertanggungjawab oleh dunia literatur.

Mari kita preteli satu per satu pada level fakta bahwa Karo Bukan Batak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.