Kolom Juara R. Ginting: KEBERADAAN KARO DI DELI DAN LANGKAT BUKAN PENDATANG

Sungguh logis membayangkan keberadaan kampung-kampung Karo di Deli Hulu adalah hasil gelombang migrasi orang-orang Karo dari Dataran Tinggi Karo ke wilayah Kerajaan Deli.

Mengapa logis?

Di satu sisi, kita dicekoki mitos semua orang pegunungan adalah Batak yang menyebar dari daerah sekitar Pusuk Buhit. Di sisi lain, kita dicekoki pula dengan mitos semua daerah di luar pegunungan mengarah ke laut adalah wilayah Kerajaan-kerajaan Melayu.

Bila kita telusuri asal usul kedua mitos itu, keduanya bermula dari Jaman Kolonial. Orang-orang Karo yang sangat menentang pendidikan Barat karena anti penjajahan, lama sekali tertinggal di dalam baca tulis.

Keterangan Foto 1: Kampong Boekoem. H. Ernst, Fotograaf, Bindjeij-Langkat. unused ca.1910s. Kampung Boekoem (Bukum) berada di daerah areal Perkebunan Karet Dolok Barus Estate. Kini, Bukum berada di wilayah Karo Jahe, kampung panteken Barus mergana (Urung Senembah).

Menurut Anthony Reid (penulis buku Revolusi Berdarah di Sumatera Timur) kepada saya (personal communication) dalam sebuah pertemuan di Medan, baru setelah peristiwa G30S 1965, orang-orang Karo menerima pendidikan Barat. Tak lama setelah itu Karo mencapai tingkat pendidikan 1% Sarjana Satu (S1), yang pada saat itu (awal 1970an) adalah persentase tertinggi di seluruh Indonesia secara suku.

Meski kita telah Merdeka sejak 17 Agustus 1945, pemahaman Belanda mengenai hubungan antar suku di Indonesia terus diproduksi ulang oleh kaum terpelajar pribumi, khususnya sebagai bahan pelajaran sekolah.

Tidak heran kalau kadang-kadang ada yang nyelutuk, “kita pelajari di sekolah ada 5 puak Batak, mengapa pula sekarang tiba-tiba ribut Karo Bukan Batak?”

Mereka tidak mengerti kalau arah utama dari Gerakan KBB (Karo Bukan Batak) adalah menggugat pemahaman kolonial yang terus diproduksi ulang oleh kaum terpelajar Indonesia itu. Masalah kita bukan soal pemahaman kolonial tentang suku-suku dan hubungan antar suku di Indonesia, tapi adalah masalah diulangi terus menerus pemahaman kolonial tanpa sedikit pun keraguan.

Keterangan Foto 2. Kinangkong. Sebuah kampung Karo tidak jauh dari Sala Bulan dan Buluh Awar (Kecamatan Sibolangit) (1910s)

Padahal, basis Ilmu Pengetahun adalah keragu-raguan. Beda dengan religi yang basisnya adalah kepastian. Dengan kata lain, kebanyakan ilmuwan mengaplikasikan pemahaman kolonial itu sebagai religi, bukan sebagai “sebuah pemahaman sepihak pada jamannya”.

Demikianlah arti tulisan A.E. Halewijn yang diposting oleh Edi Sembiring Meliala kemarin yang sudah saya bentangkan kemarin sebagai berikut.

Bagaimana kita bisa percaya keberadaan kampung-kampung Karo di Deli Hulu hasil gelombang migrasi dari Tanah Karo ke Tanah Melayu sementara lebih 3/4 wilayah Deli adalah wilayah 4 urung Karo: Serbanyaman (Surbakti), 12 Kuta Lau Cih (Purba), Suka Piring (Karo Sekali – Meliala), Senembah (Barus).

Sejak Jaman Kolonial, memang Sultan Deli menjadi pemimpin tertinggi pribumi di Deli. Tapi, apa yang terjadi sebelum Jaman Kolonial?

Sudah beberapa kali saya membahas laporan John Anderson (1826; 1971) atas kunjungannya ke Deli pada tahun 1823. Sebagai perbandingan, perkebunan asing pertama di Deli adalah pada tahun 1862 (39 tahun setelah kunjungan John Anderson) dan missionaris pertama ke Karo (H.C. Kruyt) pada tahun 1879 (17 tahun setelah perkebunan asing pertama).

Salah satu dari banyak bahasan saya adalah laporan Anderson mengenai seruan “mboah“. Sepanjang perjalanannya dari Kampung Ilir (lokasi rumah Sultan Deli) (Medan Labuhan sekarang) hingga ke Sunggal, dia sering mendengar seruan “mboah” bila tiba di sebuah tempat mandi di sungai.

Kosa kata “mboah” hanya dikenal oleh Suku Karo. Tak ada bahasa lain yang mengenal kata “mboah“. Sama halnya dengan kosa kata “namo“, tak ada duanya selain Suku Karo punya.

Begitu banyaknya nama kampung di Deli dan Langkat bernama Namo: Namo Suro, Namo Rambe, Namo Ukur, Namo Nderasi, Namo Kamuna, Namo Pecawir, Namo ………. dan termasuk Kuala Namu.

Edi Sembiring Meliala dan saya telah lama disibukkan dengan menguak naskah-naskah lama ini untuk dikenal oleh orang-orang Karo maupun di luar orang-orang Karo. Begitulah cara menghantam mitos yang dijadikan seolah-olah peristiwa sejarah atau bahkan ada mitos ciptaan bebas.

Namun begitu, ada satu persoalan lagi yang perlu kerjasama kita semua. Sedikit sekali orang-orang Karo asal Dataran Tinggi Karo yang mengenal kampung-kampung Karo di Deli Hulu maupun Langkat Hulu.

Suatu kali, aku membawa seorang mahasiswa (lahir dan tumbuh besar di Kabanjahe, kuliah di Medan) mengendarai Jeep dari Dataran Tinggi Karo ke Medan melalui Telagah (Langkat Hulu). Tanpa kutanya, dia berkata padaku seperti di bawah ini.

“Selama ini, aku membayangkan orang-orang Karo di Langkat Hulu adalah para perantau dari Karo Gugung. Tapi, setelah melihat kampung-kampung di sini dan warganya hampir 100% adalah Orang Karo, aku mulai berpikir lain,” katanya.

“Banyak yang memang pendatang dari Gunung, terutama di Telagah ini, tapi kampung-kampung Karo sudah ada sejak Pre Kolonial di semua daerah Langkat Hulu,” kataku padanya.

Percakapan kami itu sudah cukup memperlihatkan bagaimana pentingnya kombinasi antara fakta-fakta Pre-Kolonial dan awal Kolonial yang kita temukan di literatur dengan fakta-fakta yang bisa kita alami di masa sekarang ini.

Para mahasiswa Karo silahkan membuat channel youtube atau website gratis dan memenuhi kontennya dengan melakukan perjalanan dari kampung-kampung di Deli Hulu dan Langkat Hulu. Atau kirimkan ke SORA SIRULO untuk dimuat.

SORA SIRULO sudah memulainya pelan-pelan dengan Desa Sala Bulan dan khususnya Dusun Laja di Kecamatan Sibolangit. Tidak jauh dari Buluh Awar (Kecamatan Sibolangit).

Silahkan kontak teman kita Seriulina Karo Sekali bila kam mau jalan-jalan ke sana.

Salam siangkan, Mejuah-juah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.