Kolom Juara R. Ginting: KORELASI ANTARA PAJAK DAN SUBSIDI — Suatu Akhir Pekan di Pusat Kota Leiden (Nederland)

Sabtu [13/4] lalu, saya dan Ita Apulina Tarigan yang baru datang dari Indonesia berbelanja ikan ke Pasar Tradisional Leiden (Nederland). Berketepatan hari pasar dan cuaca cerah di bawah terpaan sinar mentari pula.

Pasar sangat ramai dipadati oleh orang-orang yang berbelanja atau duduk di teras-teras cafe sambil minum.

Kebetulan kami berpapasan dengan seorang teman dari klub bola volley. Dia bersama pacarnya berencana hendak menonton konser sebentar lagi di gedung konser kota.

“Berapa lama lagi konsernya mulai?” tanyaku.

“Sekitar satu jam lagi,” jawab pacarnya padaku.

Kamipun sepakat untuk juga menikmati konser. Beli tiket untuk dua orang dan kemudian duduk di ruang tunggu sambil menikmati minuman yang dihidangkan. Saya memilih segelas anggur merah, sementara Ita memilih segelas Cola.

Melihat harga tikketnya 9 euro per person, Ita terkejut sekali.

“Kok bisa semurah ini? Aku baca flayernya, ini kelompok musik klasik yang lumayan terkenal,” katanya.

“Kalau di Jakarta berapa kira-kira tiket untuk konser seperti ini?” tanyaku.

“Antara 30 ke 50 euro,” katanya.

“Bayangkan, segelas anggur merah atau Cola yang kita minum di cafe harganya 3 euro. Di sini kita dapat gratis. Berarti kita membayar tiket hanya 6 euro,” kataku lagi.

Dia tidak habis pikir bagaimana itu terjadi. Saya pun menyempatkan diri memberi penjelasan semi perkuliahan. Seperti di bawah ini.

Ini adalah bagian dari pengintegrasian kebijaksanaan kebudayaan nasional (Belanda) dan kebijaksanaan ekonomi daerah (Pemko Leiden). Kita mulai dengan kebijaksanaan ekonomi Pemko Leiden.

Sabtu adalah hari penting untuk Leiden. Selain hari libur, pasar tradisional Leiden aktif pada Hari Sabtu. Di saat itu, banyak orang datang berbelanja ke Pasar Leiden terutama untuk berbelanja ikan karena Pasar Liden adalah pasar ikan terbesar di Belanda.

Bukan hanya warga Kota Leiden yang datang berbelanja ke sini, tapi juga warga kota-kota satelit Leiden dan meluas ke desa-desa pertanian/ peternakan di sekitarnya. Selain berbelanja di pasar, mereka menyempatkan diri untuk minum di cafe-cafe yang tersebar di sekitar pasar.

Leiden juga adalah sebuah kota internasional. Ini terutama oleh Rijks Universiteit Leiden yang mahasiswanya berasal dari berbagai negara. Para dosennya juga banyak yang berasal dari luar negeri termasuk para dosen tamu yang bergantian datang untuk memberi perkuliahan.

Universitas dari berbagai jurusan sering melaksanakan seminar-seminar internasional sehingga banyak orang dari berbagai negara datang sebagai peserta maupun pembicara.

Satu hal lagi yang perlu dicatat, Leiden adalah salah satu tujuan wisata terpenting di Belanda. Banyak wisatawan dari negara-negara Eropah lainnya yang datang ke sini dengan menginap semalam dua malam di hotel-hotel kota ini atau kota-kota satelitnya.

Konser musik klasik yang diadakan di Gedung Konser Balai Kota Leiden bermaksud untuk menahan semua orang yang berkunjung ke pusat Kota Leiden hingga tiba waktunya makan malam.

Bayangkan, sepasang suami istri yang berusia sekitar 60 – 75 tahun datang dari daerah pertanian/ peternakan tidak jauh dari Kota Leiden. Bila mereka tertarik menonton konser, mereka tidak punya waktu banyak lagi untuk memasak makan malam. Pilihan terdekat adalah makan malam di luar alias di salah satu restauran kota ini.

Ada berbagai kegiatan maupun hal-hal menarik lainnya yang dibuat oleh Pemko Leiden dalam rangka menarik kunjungan wisatawamn lokal, regional, nasional, maupun internasional. Demikian juga berbagai hal lain untuk menahan wisatawan selama mungkin di kota ini.

Tujuan akhirnya adalah agar pengunjung membelanjakan uangnya sebanyak mungkin kepada para pengusaha toko, pasar tradisional, restauran, dan lain-lain yang umumnya adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menegah). Untuk membangkitkan perekonomian rakyat, pemerintah memberi subsidi kepada UMKM dan keuangan negara banyak ditopang oleh pengutipan pajak dari UMKM ini.

Sederhananya, negara menyemai sebanyak mungkin UMKM agar nantinya mereka memanen banyak pajak dari mereka. Mereka menyemainya dengan subsidi dan memupuknya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan kota untuk meningkatkan jumlah pengunjung dan pembelajaan terhadap UMKM yang telah disemai oleh negara dengan subsidi.

Khusus mengenai konser, negara juga sudah memberi subsisi kepada kelompok musik klasik itu dalam upaya: 1. melestarikan seni budaya, 2. menopang pendidikan seni tingkat akademi maupun sekolah tinggi sehingga hobbi berseni tetap bergairah di kalangan remaja dan pemuda, dan 3. menopang perekonomian kelompok-kelompok seni sehingga kota-kota yang hendak menampilkan mereka tidak perlu membayar mahal.

“Itulah salah satu sebabnya mengapa kita bisa beli tiket murah selain Pemko Leiden sendiri menyediakan gedung pertunjukan milik Pemko sendiri sehingga mereka tidak harus membayar gedung,” kataku pada Ita yang direspon oleh Ita dengan wajah sangat mengerti.

“Apa yang mereka praktekkan ini sudah mengikuti salah satu grand theory aliran tertentu,” kataku lagi yang membut Ita tertarik untuk lanjut mendengarnya.

“Menyemai UMKM dengan subsidi dan kemudian memanen pajak dari UMKM serta menyemarakkan gairah UMKM melalui berbagai kegiatan seni adalah pilihan partai-partai sosialis yang lebih berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Pilihan ini kurang disenangi oleh partai-partai kanan yang lebih berpihak pada pengusaha-pengusaha besar alias kapitalis,” kataku.

“Ini bisa kita runut ulang ke perdebatan lama antara kaum sosialis yang mengetengahkan teori Karl Marx dan kaum kapitalis yang mengetengahkan teori Adam Smith,” kataku lagi.

“Di Indonesia tidak ada seperti itu. Terpenting adalah membodoh-bodohi rakyat yang sebagian besar adalah bodoh. Nggak ada teori-teorian itu,” katanya ketus.

Aku mau menanggapinya. Tapi, pintu masuk ke ruangan konser sudah dibuka. Dan, kamipun beranjak masuk mengikuti barisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.