Kolom Juara R. Ginting: LATAH

Beberapa hari lalu saya menulis tentang “Mengapa Tidak Ada Yang Mengerti Rakut Si Telu?”. Saya katakan, ada 3 dimensi yang perlu diperhatikan dalam rangka mendekati Rakut Si Telu ini, yaitu: 1. Dimensi Historis, 2. Dimensi Teoritik, dan 3. Dimensi Praktek.

Saya uraikan masing-masing ketiga dimensi itu (lihat tautan di bawah).

Di akhir tulisan saya menyimpulkan kalau Rakut Sitelu itu tidak ada alias ilusi belaka dan saya sendiri tidak mengerti apa itu Rakut Sitelu. Beberapa komentar menanggapi tulisan saya itu. Tapi tidak ada satupun yang memasuki argumen saya.

Saya katakan Rakut Si Telu hanyalah ilusi karena keberadaannya hanya diomongkan (baik secara lisan maupun tulisan) dan penjelasannya tidak lebih daripada bahwa Rakut Sitelu terdiri dari 1. Sembuyak/ Senina, 2. Kalimbubu, dan 3. Anak Beru.

Padahal di 3 dimensi pendekatan terhadap Rakut Si Telu yang saya sebutkan salah satunya mengatakan kalau Rakut Si Telu tidak kita jumpai dalam dunia praktek peradatan Suku Karo.

Saya bandingkan dengan Sangkep Nggeluh yang terdiri dari 4 komponen, yaitu: 1. Sembuyak, 2. Anak Beru, 3. Kalimbubu, 4. Senina.

Keempat komponen itu dihadirkan dalam banyak acara peradatan Suku Karo, yang salah satunya adalah pada Pemakaman Cawir Metua. Di acara itu, keempat pangkal paha (tulan putur) dari seekor kerbo dewasa yang menjadi lauk acara masing-masing diberikan kepada keempat komponen Sangkep Nggeluh.

Tanpa mau berpanjang-panjang, saya merasa cukup mengatakan masih banyak lagi acara peradatan Karo yang menghadirkan keempat komponen Sangkep Nggeluh.

Penjelasan saya itu adalah sebuah pembuktian bahwa Sangkep Nggeluh ada wujudnya yang nyata di dalam dunia praktek peradatan Karo. Dalam Bahasa Karo bisa dikatakan “lit panggungna” (ada bagian acara untuknya) dan “lit pengalonna” (ada pula sesuatu yang diterimanya) sebagai sebuah kesatuan dari 4 komponen yang disebut Sangkep Nggeluh.

Itu sekaligus menjadi “tantangan” untuk menunjukan kapan atau di acara peradatan mana saja Rakut Si Telu dihadirkan bila memang ada wujudnya bukan sekedar omon-omon saja. Apakah ada bagian acara menghadirkan Rakut Sitelu dan apakah ada sesuatu yang mereka terima?

Sayangnya, komentar-komentar yang muncul tak ada satupun menjawab “tantangan” saya. Komentar-komentar mereka tak lebih daripada seputar “selama ini yang saya tahu hanya Rakut Si Telu”.

Kalau hanya dengan penjelasan sebatas itu, makanya di akhir kalimat tulisan itu saya katakan, “Saya juga tidak memahami apa itu Rakut Sitelu”.

Kalau memang ada yang paham apa itu Rakut Sitelu, mengapa tidak ada reaksi kepada tulisan saya dengan memberi pemahaman? Sebaliknya malahan ada yang menuduh saya mau mereformasi Adat Karo padahal yang mereka tahu itu tidak mereka pahami.

Tahu dan paham adalah dua hal berbeda. Kalau hanya tahu dan ikut-ikutan mengulanginya itulah yang dikatakan dengan LATAH. Orang-orang yang puas hanya dengan MELATAH adalah orang-orang yang malas berpikir.

Hanya saja, hendaknya orang-orang yang malas berpikir itu tidak mati-matian “membunuh karakter” orang-orang yang mau berpikir.

Mejuah-juah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.