Kolom Juara R. Ginting: SEJARAH GBKP BOM WAKTU

Di awal-awal perdebatan atas munculnya GERAKAN KBB (Karo Bukan Batak), sering muncul tuduhan kalau KBB bertujuan menghancurkan GBKP. Gerakan ini dituduh muncul dari barisan sakit hati di GBKP, kelompok muslim, dan Katolik.

Perdebatan itu bertumpu pada masalah nama GBKP (Gereja Batak Karo Protestan).

Nama Batak Karo dijadikan argumen bahwa jemaat dari gereja ini adalah benar dari subsuku Batak Karo, bukan Suku Karo sebagaimana didengungkan oleh Gerakan KBB. Intinya, GBKP dijadikan tameng untuk mengatakan bahwa Karo adalah bagian (sub ethnic-group) dari Suku Batak (Batak ethnic group) dalam menangkis “serangan” Gerakan KBB yang menyerukan Karo adalah “suku berdiri sendiri dan bukan bagian dari suku manapun juga”.

Dalam membantah argumen Karo bagian Batak dengan merujuk ke nama GBKP, pihak KBB mengatakan kalau GBKP tidak mewakili orang-orang Karo atas dua fakta berikut:

1. Jemaat GBKP meningkat jumlahnya sejak Kampanye DGI (Dewan Gereja-gereja Indonesia) (sekarang PGI, Persatuan Gereja-gereja Indonesia) di Kuala (Kabupaten Langkat), Tigabinanga (Kabupaten Karo), dan Kaban Jahe (Kabupaten Karo) pada tahun 1966.

Kampanye itu terkait dengan anggapan pada saat itu (cenderung tuduhan) bahwa orang-orang yang tidak beragama adalah atheist dan orang-orang atheist adalah komunis. Kampanye DGI mengajak orang-orang Karo yang belum beragama menjadi jemaat GBKP agar tidak dituduh komunis.

Sebelum kampanye DGI itu, jemaat GBKP sangat sedikit sehingga tidak bisa dikatakan mewakili pemikiran semua orang Karo bahwa Karo adalah bagian Batak.

2. GBKP adalah satu-satunya organisasi orang Karo yang menggunakan nama Batak Karo. Organisasi-organisasi Karo lainnya seperti HMKI (Himpunan Masyarakat Karo Indonesia), PMS (Pemuda Merga Silima), Perkoeah (Perkumpulan Karo Eropah), GIKI (Gereja Injili Karo Indonesia), Gereja Karo di Pematang Siantar dan lain-lain. Gereja-gereja lainnya juga tidak ada yang menggunakan nama Batak Karo kecuali Karo.

Ada satu lagi ucapan mereka dalam menangkis Gerakan KBB.

“Mengapa baru sekarang kalian persoalkan nama GBKP sedangkan nenek moyang kita ratusan tahun lalu tidak keberatan nama GBKP?!” kata sebagian orang.

Dokan (Kecamatan Merek, Kabupaten Karo) di tahun 1989. Foto: Juara R. Ginting

Mereka mungkin tidak terbiasa membedakan istilah “ratusan tahun” dengan “seratusan tahun”. Ratusan tahun berarti lebih dari 200 tahun, sementara “sehna berita simeriah ku Kalak Karo” baru seratusan tahun. Lagipula bukan pihak KBB yang mempersoalkan nama GBKP. Justru merekalah yang sering kali mempersoalkan nama GBKP untuk mengatakan Gerakan KBB adalah salah kaprah.

Mereka pun kiranya tidak tahu kalau nama GBKP baru ada pada tanggal 23 Juli 1941 saat sidang sinode gereja ini yang pertama di Sibolangit. Perlu dicermati kalau 23 Juli 1941 itu adalah sidang sinodenya yang pertama. Dari satu sisi, kita bisa menganggap kalau GBKP baru berdiri pada tahun 1941 itu. Dengan kata lain, belum ada gereja itu sebelum 1941.

Anggapan belum adanya GBKP sebelum 1941 memancing perdebatan seru di media sosial. Apalagi dikaitkan pula dengan perayaan-perayaan HUT GBKP yang keseratus sekian yang mengisyaratkan GBKP telah berusia lebih dari seratus tahun.

Apa yang disebut dengan HUT GBKP saat ini dulunya sering disebut “sehna berita simeriah ku Kalak Karo” (tibanya Kekristenan di kalangan Orang-orang Karo). Sampai-sampai banyak yang tidak sadar kalau di Gapura Retreat Centre dulunya tertulis “Jubelium 100 Tahun Sehna Berita Simeriah ku Kalak Karo” telah diubah menjadi “Jubeliumn 100 Tahun Gereja Batak Karo Protestan”.

Tentu saja muncul pertanyaan: “Mengapa diubah?”; “Mengapa dulu disebut sehna berita simeriah ku kalak Karo? Tidak ada penjelasan resmi dari GBKP atas perubahan istilah ini.

Di sebuah grup fb pernah ada argumen yang menganggap wajar kalau GBKP memperingati hari ulang tahunnya sejak tibanya missionaris pertama (H.C. Kruyt) di Belawan yang dulunya diperingati sebagai “sehna berita simeriah ku kalak Karo“. Dia memaparkan beberapa pilihan cara menentukan hari jadi sebuah gereja; salah satunya seperti HUT GBKP yang mengambil alih “sehna berita simeriah ku Kalak Karo“.

Saya pribadi sangat setuju dengan argumen di atas. Bahkan saya tidak pernah mempersoalkan nama GBKP apalagi dikatakan bertujuan merobah nama GBKP. Hanya saja, orang itu dan para pendukungnya “memindahkan” topik perdebatan antara pihak yang mengatakan “Karo Bukan Batak” dan pihak yang menggunakan nama GBKP untuk bersikeras mempertahankan Karo adalah bagian Batak.

Mungkin sebagian pembaca masih samar membedakan kedua pihak itu. Mari saya jelaskan perlahan di bawah ini.

Pihak pertama yang mengatakan Karo bukan Batak tentu sangat jelas bagi semua pembaca (terlepas setuju atau tidak setuju dan terlepas pula sudah paham atau belum paham mengapa kami mengatakan Karo bukan Batak).

Pihak ke dua menggunakan nama GBKP sebagai alasan mempertahankan bahwa Karo adalah bagian Batak. Ketika kami mengatakan bahwa nama GBKP baru ada di tahun 1941, mereka “melompatkan” persoalan ke cara menentukan hari jadi sebuah gereja.

Sudah saya katakan sebelumnya, kita tidak keberatan mau kapanpun ditentukan HUT GBKP. Kita hanya menganggap terlalu lemah penggunaan nama GBKP sebagai alasan mengatakan Karo adalah bagian Batak. Soalnya, nama GBKP itu baru ada sejak 1941.

Akui saja bahwa nama GBKP memang baru ada sejak 1941. TITIK. Apa persoalan? Itu memang fakta. Kita tidak mengatakan GBKP baru ada sejak 1941, tapi NAMA itu baru ada sejak 1941. Jangan bersikukuh dengan melompat dari satu topik ke topik lain.

Sebagaimana terlihat di Wikipedia yang tautannya saya sertakan di sini, gereja pertama di kalangan Karo bernama Karo Kerk yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia atau Karo adalah Gereja Karo.

Kalau kita menganggap GBKP adalah kelanjutan Karo Kerk ini, berarti jelas sekali ada perubahan nama penyebutan jemaatnya Suku Karo ke Subsuku Batak Karo. Maka timbul sebuah pertanyaan mengapa diubah dan atas pemikiran apa mengubahnya?

Sebelum kita kembali ke pertanyaan di atas, menarik juga meninjau perdebatan tentang nama Karo Kerk (Gereja Karo).

Pihak KBB melancarkan argumen bahwa organisasi zending Belanda NZG (Nederlands Zendeling Genootschap) menganggap gereja ini adalah gereja untuk Suku Karo maka mereka menamakannya Gereja Karo.

Karo Kerk – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Asumsi itu ditentang oleh pihak Batak Karo dengan mengatakan para missionaris umumnya menulis dengan istilah Karo-Batak huis, Karo-Batak vrouwen, Karo-Batak geschiedenis, dan lain-lain, misalnya. Ini untuk mengatakan para missionaris itu menganggap orang-orang Karo adalah bagian Batak.

Mereka tentu saja mengabaikan istilah “Karo veld” dalam surat menyurat dengan Kantor Pusat NZG yang maksudnya “Ladang Tuhan di Karo”. Mengapa bukan Karo-Batak veld (ladang Tuhan di Batak Karo) atau Batak veld (ladang Tuhan di Tanah Batak)?

Demikian juga para missionari dan pegawai pemerintah jajahan menulis Karoland (Tanah Karo), Karo hoogvlakte (Dataran Tinggi Karo), Karo Laagvlakte (Dataran Rendah Karo), dan Karo Doesoen (Karo Pedusunan).

Saya pribadi berasumsi begini. Para missionaris membedakan tulisan-tulisan mereka yang bersifat organisatoris di satu sisi dengan yang bersifat etnografis di sisi lain.

Ketika mereka menulis yang bersifat organisatoris terutama ke Kantor NZG, mereka menggunakan istilah Karo saja, bukan Batak Karo. Tapi, ketika mereka menulis publikasi etnografi, mereka menggunakan istilah Batak Karo.

Dalam etnografi memang sudah umum dipakai istilah Batak Karo. Ini persoalan lain lagi yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan perdebatan nama gereja sebagai alasan mengatakan Karo adalah bagian Batak.

Penggunaan istilah Batak Karo di literatur juga dikritik oleh Gerakan KBB. Tapi itu persoalan lain. Di sini kita mendiskusikan penggunaan nama GBKP untuk menyatakan Karo adalah bagian Batak. Soal literatur etnografi kita kesampingkan sementara waktu untuk dibahas di lain kesempatan.

Makanya saya katakan tadi, hendaknya kita tidak melompat dari satu topik ke topik lain atau berlari zigzag, seperti pernah saya lihat seorang preman Titirante dikejar polisi (untuk mengelakkan peluru tembakan).

Tentu saja menarik melakukan penelitian khusus dengan pertanyaan mengapa dan dalam konteks apa para missionaris menggunakan nama Karo saja serta mengapa dan dalam konteks apa pula mereka menggunakan istilah Batak Karo.

Dari situ kita bisa memastikan mengapa mereka membuat nama Karo Kerk bukannya Karo-Batak Kerk padahal literatur etnografis pada masa itu sudah menggunakan istilah Batak Karo.

Soal kesinambungan Karo Kerk dengan GBKP juga sebenarnya masih belum jelas. Menurut Rita S. Kipp dalam bukunya mengenai para missionaris NZG ke Karo field, Karo Kerk adalah embryo GBKP. Pendapatnya ini tidak bertentangan dengan isi surat balasan putra missionaris J.H. Neumann kepada Roberto Bangun yang mengatakan sebelum 1941 itu belum ada gereja.

“Karo Kerk belum merupakan gereja tapi melainkan sekedar rumah ibadah,” begitu kira-kira bunyi surat balasannya setelah disurati oleh Roberto Bangun mengenai sejarah berdirinya GBKP.

Tentu saja NZG dan undang-undang Belanda memberlakukan aturan tentang organisasi yang bagaimana bisa disebut gereja. Tapi, cukup jelas maksud putra J.H. Neumann yang mengatakan bangunan bernama Karo Kerk itu adalah sebuah rumah ibadah, sementara gerejanya belum ada karena belum pernah punya Sinode, belum pernah mengadakan Sidang Sinode dan belum punya Tata Gereja.

Sidang Sinode dan Tata Gereja baru ada di 23 Juli 1941 bertempat di Sibolangit itu. Kalau mau mengatakan Gereja Karo adalah embrio GBKP, seperti yang dilakukan oleh Rita S. Kipp, ada benarnya dan bisa diterima. Sehingga terangkai sebuah kesinambungan dari 1. Embrio (jabang bayi) yang muncul pada tahun 1899 di Buluhawar ke 2. kelahiran GBKP pada tahun 1941 di Sibolangit, dan 3. GBKP Mandiri (njayo) pada tahun 1943 di Kabanjahe (atas desakan Pemeritah Jajahan Jepang).

Ada juga yang mengatakan “Buluh Awar Church became the forerunner to the birth of the BATAK KARO PROTESTANT CHURCH (GEREJA BATAK KARO PROTESTAN/GBKP)”. Kalimat ini jelas mengatakan kelahiran GBKP adalah yang disahkan melalui Sidang Sinode pertama 23 Juli 1941 di Sibolangit itu.

GEREJA BULUH AWAR… – Indonesia Churches: History and Ministry | Facebook

Sudah lama tidak ada lagi peringatan GBKP Njayo. Sewaktu saya masih remaja, seingatku ada peringatan GBKP Njayo. Sekarang malahan beberapa orang menulis peristiwa 23 Juli 1941 itulah GBKP Njayo.

Kiranya banyak orang tidak memahami apa arti njayo dan apa pula GBKP Njayo. Njayo adalah kosa kata Karo yang artinya telah menjadi keluarga (jabu) berdiri sendiri yang secara ekonomi tidak lagi menjadi bagian ekonomi rumah tangga orangtuanya atau keluarga lainnya.

Pemerintah Jepang mendesak GBKP Njayo karena mencurigai masih adanya hubungan rahasia antara gereja ini dengan NZG, terutama adanya aliran dana dari NZG ke GBKP. GBKP Njayo juga terkait dengan adanya campur tangan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dalam melahirkan GBKP di tahun 1941. Mereka curiga dana itu dialirkan lewat HKBP.

Campur tangan HKBP terutama dengan peran 2 pendeta Karo yang baru menyelesaikan pendidikan teologia di Sipaholon (HKBP), Sitepu dan Sibero, serta Ketua Moderamen GBKP yang terpilih melalui Sidang Sinode pertama itu (Pdt. J. van Muylwijk). Menurut Rita S. Kipp, sebelum menjadi Ketua Moderamen, Muylwijk adalah pendeta HKBP yang bertugas di Simalungun.

Akan tetapi, menurut Pdt. M.P Barus kepada saya di suatu kesempatan di Den Haag, GBKP sudah menyelidiki keberadaannya di HKBP.

“HKBP tidak mengenal Pdt. J. van Muylwijk). Tidak ada satu dokumenpun yang menunjukkan dia pernah bekerja di HKBP,” katanya kepada saya.

Nada suara Pdt. Barus mengisyaratkian dianya bangga kalau Ketua Moderamen GBKP yang pertama itu bukan “kiriman” HKBP. Lalu saya tanyakan, dari manakah dia sebelum menjadi Ketua Moderamen GBKP?

Saya malahan menanggapinya heran mengapa GBKP sendiri tidak tahu selama itu (sejak 1941) dari mana asalnya Ketua Moderamen GBKP pertama (Pdt. J. van Muylwijk). Mungkin saja sekarang mereka sudah tahu, tapi seorang mantan Ketua Moderamen GBKP seperti mama Pdt. M.P. Barus masih harus mencari ke HKBP dan organisasi missionaris Jerman RMG (Reinissch Mission Gesselsaf) di Jerman.

Selama ini apa GBKP tidak peduli dengan sejarahnya?

Ada satu hal yang menjadi ciri khas GBKP dalam menghadapi konflik maupun sekedar perdebatan, yaitu, kalau bisa, lebih baik didinginkan saja dan dibuat seolah-olah tidak pernah ada. Kecenderungan seperti ini kurang mendorong penulisan sejarah secara resmi.

Coba saja bayangkan, ada tulisan yang mengatakan “Gereja Batak Karo Protestan yang pertama” atau Buluh Awar Church yang keduanya maksudnya adalah Karo Kerk di Buluhawar.

Sejarah Hari Ini (24 Desember 1899) – Gereja Batak Karo Protestan Pertama di Buluh Awar (goodnewsfromindonesia.id)

GEREJA BULUH AWAR… – Indonesia Churches: History and Ministry | Facebook

Mengapa main zigzag ke sana ke mari hanya agar tidak menyebut Karo Kerk atau Gereja Karo? Nampak sekali dibayang-bayangi atau merasa dikejar-kejar oleh Gerakan KBB. Terendus rasa takut ketahuan punya buni-buni.

Tentu saja GBKP tidak merasa tergerak memberi penjelasan apa kaitan Gereja Karo yang berpusat di Kampung Karo (Pematang Siantar) sekarang. Gereja Karo ini sudah punya tiga runggun yang meluas ke luar Siantar. Mereka juga menggunakan KEE (Kitab Ende-enden) GBKP dalam ibadahnya.

Gereja itu sudah ada sejak tahun 1960an dan sekarang semakin besar jumlah jemaatnya. Apakah Gereja Karo yang satu ini punya hubungan dengan Karo Kerk di Buluhawar?

GBKP sepertinya tidak tertarik menjawab pertanyaan itu.

Sifat dingin GBKP terhadap sejarahnya sendiri suatu waktu akan meledak sebagai bom waktu sejak media sosial semakin luas sehingga siapa saja punya akses ke berbagai informasi dan semua orang bisa menyampaikan informasi.

Belum terlambat untuk menghargai sejarah sendiri demi kelurusan sejarah untuk anak cucu.

Mejuah-juah kita kerina. Salam Karo Bukan Batak.

One thought on “Kolom Juara R. Ginting: SEJARAH GBKP BOM WAKTU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.