Kolom Juara R. Ginting: SOFT POLITISASI AGAMA

Adakah pernah Ganjar Pranowo (GP) mengucapkan “sebelum anda memikirkannya kami sudah berbuat”? Tidak! Itu hanya metafor saya atas strategi yang dilancarkannya dalam mencegah terjadinya politisisasi agama di Pilpres 2024 mendatang.

Sebelum terjadi “hard” politisasi agama, GP melancarkan “soft” politisasi agama.

Tujuannya bukan hanya sebagai kampanye terselubung mencuri hati para pemilih muslim, tapi juga mencegah agar tidak terjadi politisasi agama secara vulgar dan besar-besaran seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta yang lalu.

Politisasi agama secara “soft” sudah pasti tidak bisa dihindari dalam Pilpres yang manapun juga di Indonesia, terutama politisasi Agama Islam. Soalnya, Islam bukan hanya sekedar mayoritas di Indonesia tapi tingkat eletorialnya secara jumlah pemilih luar biasa besar.

Bayangkan berapa banyak partai Islam di Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan menjadi partai-partai besar seperti PKB, PPP, dan PKS.

Selain itu, meski negara kita secara resmi adalah sekuler, Rakyat Indonesia umumnya sangat religius. Bukan hanya religius dalam arti taat pada ajaran agama serta berbakti pada Tuhan dan sesama manusia, tapi juga religius dalam arti solidaritas isme.

Termasuk orang-orang yang sekuler, moderat maupun justru tak peduli dengan ajaran agamanya cenderung memilih pemimpin seagamanya.

Fanatisme agama kiranya tidak ada bedanya dengan fanatisme suku.

Baru-baru ini banyak didiskusikan kemunculan GP di TV yang menampakkan dirinya sedang sholat. Perdebatan terjadi karena sebagian orang menuduhnya telah melakukan kampanye dini (mencuri start) dan melakukan politisasi agama dalam kampanye Pilpres 2024.

Sebagian membelanya dengan mengatakan GP saat ini adalah rakyat biasa (bukan pejabat pemerintahan lagi), belum resmi Calon Presiden RI dan masa kampanye juga belum berlangsung.

“Karena itu, GP tidak bisa dituduh telah mempolitisasi agama,” kata para pembelanya.

Saya pribadi melihatnya benar telah mempolitisasi agama, tapi dari jenis “soft”. Secara hukum memang dia tidak melanggar undang-undang yang manapun juga. Karena itu tadi, dia saat ini adalah seorang rakyat biasa (sipil) dan belum resmi menjadi calon presiden.

Tapi, secara etika, dia hampir bisa dipastikan akan maju sebagai calon presiden. Oleh karena itu, sedikit banyaknya tingkah lakunya sehari-hari saat ini pasti ada kaitannya dengan Kampanye Pilpres 2024.

Bukan hanya ucapan-ucapannya. Caranya berpakaian, cara istrinya berbusana, dengan siapa saja dia berbicara apalagi terekspos oleh media sosial maupun konvensional dan lain sebagainya tak salah kalau kita menuduhnya sedang melakukan kampanye.

Itu berlaku tidak hanya terhadap seorang GP saja. Tapi juga bagi bakal-bakal calon presiden lainnya. Hanya saja, untuk GP, sampai saat ini, tuduhan politisasi agama tidak wajar dilakukan secara keras. Politisasi agama yang dilakukannya masih dalam level “soft” dan tidak melanggar hukum maupun peraturan yang berlaku.

Bahkan saya melihat “soft” politisasi agama yang dilakukan oleh GP adalah dalam rangka mencegah terjadinya “hard” politisasi agama dari bakal-bakal calon presiden lainnya. Sebagaimana bisa diramalkan dan telah terjadi saat ini semarak pembicaraan mengenai munculnya GP di TV sedang mengadakan sholat.

Dalam perbincangan sengit itu, mencuat ke permukaan kalau semua pembicara menentang politisasi agama. Bahkan pembelaan terhadap GP bukan untuk menyatakan menerima politisasi agama, tapi membantah bahwa itu adalah politisasi agama.

Mungkin banyak orang yang berpendapat sama dengan saya bahwa itu memang politisasi agama tapi jenis “soft”. Hanya saja mereka tidak berani mengatakan begitu untuk membela GP.

Namun, bagaimanapun juga muncul sebuah gagasan koletif bahwa politisasi agama adalah perbuatan buruk. Mencuatnya gagasan kolektif ini diharapkan dapat meredam keinginan mempolitisasi agama dalam Pilpres 2024 walaupun “soft” politisasi agama rasanya tak mungkin dihindari.

Pencegahan terjadinya “hard” politisasi agama bukan pertamakalinya dilakukan oleh GP. Masih ingat bagaimana GP menolak keikutsertaan Israel untuk Piala Dunia U20 di Indonesia? Kedatangan tim Israel ke Indonesia menurut GP melanggar undang-undang negara kita.

Memang elektabilitas GP menurun drastis akibat penolakannya itu. Pencinta sepakbola Indonesia kecewa berat atas penolakannya apalagi Piala Dunia itu akhirnya dibatalkan di Indonesia dan terpaksa dipindahkan ke negara lain. Tapi, elektabilitas GP kemudian pulih kembali.

Kalau hanya menentang kedatangan Israel, sudah banyak suara-suara penentangan terutama dari kelompok 212. Hanya untuk mencegah kedatangan tim Israel, GP tak perlu bersuara lagi. Apa yang dilakukan oleh GP adalah mendahului melakukan “serangan”.

PDIP menyambutnya pula. GP akhirnya berhasil menguasai medan pertempuran bahwa itu adalah gaweannya GP dan PDIP. Kelompok 212 tidak bisa lagi mengklaim bahwa penentangan terhadap kedatangan Israel mereka lakukan demi Palestina dan Islam.

Soalnya, GP dan PDIP sudah duluan melakukannya demi “kemerdekaan adalah hak semua bangsa” sebagaimana diserukan awal-awal Kemerdekaan RI oleh Soekarno.

Itulah cara GP dan PDIP mencegah hard politisasi agama tanpa harus berhadapan dengan kekuatan jumlah yang belum tentu berlandaskan iman itu.

Jokowi banget, deh!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.