Kolom Juara R. Ginting: TEORI USANG MENEKAN FAKTA

Beberapa hari lalu, seseorang memposting sebuah TikTok tentang karakter “Beru Merga Silima”. Sepintas kelihatannya tidak ada masalah dengan istilah “Beru Merga Silima”.

Padahal sebenarnya ada masalah.

Sudah ada istilah baku di kalangan orang-orang Karo untuk menyebut hal yang dia maksud, yaitu “Beru Silima”, bukan “Beru Merga Silima”. Masing-masing kedua istilah ini mengandung sebuah asumsi.

Istilah “Beru Merga Silima” berasumsi kalau perempuan itu punya identitas hanya lewat laki-laki (ayah atau suaminya). Sementara merga diasumsikan adalah identitas laki-laki belaka.

Di pihak lain, istilah “Beru Silima” berasumsi kalau perempuanlah pemilik identitas merga sehingga hanya ada Nini Ginting, Nini Karo, Nini Nangin (atau Ribu, Pinem, Bayang), Nini Biring, dan Nini Tigan. Tidak ada Bulang/ Laki Ginting, Bulang/ Laki Karo, dan seterusnya.

Dalam pesta muda-mudi, ada lima kelompok menari yang masing-masing terdiri beberapa anak gadis (dari beru yang sama) dengan pasangannya yang bisa dari berbagai merga. Kelima kelompok menari ini disebut Beru Si Lima, bukan Merga Si Lima dan bukan juga Beru Merga Si Lima.

Demikian juga ketika seseorang mengingatkan dialek Gunung-gunung di facebook. Terkesan Gunung-gunung ini dipahami sebagai serapan Bahasa Indonesia untuk terjemahan Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo). Padahal, di awal Jaman Kolonial, ketika Dataran Tinggi Karo belum dikuasai oleh Pemerintahan Belanda, M. Joustra sudah menulis buku yang judulnya tentang perjalanannya ke daerah Gunung-gunung.

Nantinya, P. Tamboen (1952) menjelaskan kalau daerah Gunung-gunung itu meliputi Urung Telu Kuru, Urung Empat Teran, Urung Lima Senina, dan Urung Namo Aji. Semuanya berada di kaki Gunung Sinabung.

Sementara Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) meliputi semua Taneh Karo yang bukan Karo Jahe (Karo Hilir). Karo Gunung-gunung adalah sebagian dari Karo Gugung. Bagian dari Karo Gugung lainnya adalah Karo Julu, Karo Singalorlau, Karo Berneh, dan Karo Baluren.

Mereka kurang percaya kalau “gunung-gunung” adalah asli kosa kata Karo. Lihat saja betapa banyaknya nama kampung Gunung; Gunung Meriah, Gunung Manumpak, Gunung, Nari Gunung, Gunung Sutember, Gunung Merlawan, dan masih banyak lainnya (silahkan pembaca menambahinya).

Kampung-kampung itu semuanya bukan kampung baru, tapi kampung lama. Gunung Meriah, misalnya, tersebut dalam Pustaka Kembaren sebagai kampung pertama (tertua) di Urung Liang Melas.

Ada asumsi kalau Bahasa Karo “serumpun” dengan Bahasa-bahasa Batak yang berbeda sekali dengan Bahasa Melayu.

Di dalam sebuah perdebatan di facebook, saya mengingatkan 50% perbendaharaan kata-kata Karo sama dengan perbedaharaan kata-kata Melayu. Lawan debat saya sama sekali tidak percaya meskipun saya sudah ingatkan kalau pertama kali itu saya dengar dari perkuliahan bapak Antropologi Indonesia (Prof. Dr. Koentjaraningrat).

Saya ingatkan lagi, nama-nama bagian konstruksi rumah adat Karo banyak sama dengan Bahasa Melayu.

“Sebutkan contoh-contohnya,” katanya setengah memaksa seperti polisi menginterogasi pencuri telur ayam.

Sayapun dengan sabar mengetik contoh-contohnya. Binangun (tiang utama) kata dasarnya “bangun”. Palas (fundasi batu) kata dasarnya alas. Papan (lantai papan). Dapur. Perampu (kata dasarnya ampu seperti dalam kata ampuan). Tunjuk langit (tiang penyangga atap). Bubungen (bubungan).

Rusuk, jangka, raris (seperti dalam kata baris) yang semuanya kerangka atap. Gulung-gulung (penahan atap). Tekang (dari tekan). Sangka manuk (sangkar burung), Sendi. Pasuk kata dasarnya asuk seperti dalam kata masuk. Piratas kata dasarnya atas.

Lalu, dia membentak saya kalau itu semua adalah resapan dari Bahasa Indonesia. Tentu saja saya tinggal terdiam saja.

Saya adalah seorang Antropolog, menguasai banyak bahasa daerah di Indonesia, dan telah melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan mengenai konstruksi rumah adat Karo bertahun-tahun.

Baginya, saya harus mendengarkannya yang lebih pintar dari saya. Padahal dia seorang sarjana ekonomi dan tidak pernah melakukan penelitian lapangan mengenai Kebudayaan Karo serta tinggal lama pula di Jakarta.

Sampai sekarang saya tidak habis pikir kok dia PD sekali memposisikan dirinya jauh lebih tinggi daripada saya dalam hal ini. Dia tidak mau tahu siapa saya dalam persoalan ini. Setiap ada yang tidak sesuai dengan asumsi lama bagianya adalah sama dengan gerakan makar atau, lebih dari itu, pengkhianatan kepada Tuhan alias dosa besar. Itulah yang melegitimasi orang-orang berani membabi-babikan saya bila saya katakan Karo Bukan Batak (KBB).

Itu pulalah yang saya maksud dengan sudah ada asumsinya apa yang dimaksud dengan Karo dan apa pula itu Bahasa Karo. Mereka sebenarnya tidak pernah menguji kebenaran asumsi mereka itu secara ilmiah.

Justru kita yang berbicara secara ilmiah, dengan mengetengahkan data dan fakta, dicurigai sebagaI penjahat rendahan. Mereka tidak menyadari kalau asumsi mereka itu terbangun sejak Masa Penjajahan. Kiranya mereka tidak pernah mau bebas dari penjajahan Belanda.

Salam menyambut HUT RI 17 Agustus 2023. Merdeka!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.