Kolom Juara R. Ginting: TEORI

Di satu sisi, orang-orang Indonesia suka meremehkan teori sehingga sering kita dengar perkataan, “ah dia taunya hanya teori.” Di sisi lain, setiap hari di media sosial beterbangan teori-teori serampangan yang, dari nadanya, dipercayai sebagai kebenaran mutlak sehingga mampu membuat orang-orang terdiam.

Sebagai contoh baru-baru ini ada ucapan yang menyatakan “Islam yang membuat orang-orang Indonesia mengenal pakaian”.

Sadar tidak sadar, ucapannya ini adalah sebuah teori. Sejauh mana orang yang mengucapkannya itu mendalami persoalan “sejak kapan orang-orang Indonesia mengenal pakaian”? Kalau itu dikutipnya dari sebuah teori pakar sejarah, tentu kita ini mau tahu juga siapa pakar sejarah yang pernah berteori seperti itu. Kita juga mau tahu kapasitas sipengutip memahami persoalan.

Kalau itu adalah teorinya sendiri, tentu kita juga mau tahu sejauh mana dia sudah mengadakan penelitian dan apa kapasistasnya meneliti soal itu.

Saya menduga, dia hanya “menciptakan” teori dengan menurunkannya dari sebuah grand theory yang sangat …… sangat ….. terlalu umum. Ada memang grand theory bahwa dulunya manusia belum mengenal pakaian dan mereka hidup telanjang.

Karena kapasistas orang itu memang jauh dari mampu menurunkan sebuah teori kecil dari sebuah teori besar, maka dia terjebak sendiri oleh fanatismenya. Seharusnya dia memperhitungkan ada “teori antara” supaya teori kecil yang diturunkannya dari teori besar itu tidak kecemplung langsung ke kali.

Teori antaranya adalah bahwa, sebelum mengenal Islam, suku-suku di Indonesia sudah mengenal Hindu atau Budha atau juga Hindu-Budhisme. Di jaman itu, sebelum mengenal Islam, suku-suku di Indonesia sudah mengenal pakaian.

Orang-orang Portugis berdagang ke Nusantara antara lain adalah menjual berbagai jenis kain tekstil dan porselain. Sebaliknya, mereka membeli hasil-hasil bumi, baik pertanian maupun hasil hutan, dari penduduk setempat. Sebagian besar penduduk setempat itu sama sekali belum mengenal Islam tapi sudah mengenal pakaian.

Ucapan “Islam yang memperkenalkan pakaian ke orang-orang Indonesia” akan menarik untuk diperbincangkan di dalam diskusi ilmiah (kalau berani). Apa yang terjadi adalah hanya untuk mengecutkan lawan bicara/ debat tanpa ada rasa berhutang mempertanggungjawabkan kebenaran ucapannya.

Sayangnya, kebanyakan orang memang langsung kecut ketika ada yang mengucapkan sesuatu dengan gaya PD layaknya “Tangan Kanan Dibata” apalagi kalau dia adalah seorang ulama pula. Makanya jangan terlalu remeh terhadap teori.

Coba kita baca laporan Jhon Anderson (1826) ketika dia mengunjungi Sunggal yang berpenduduk Suku Karo di tahun 1823. Di sunggal, dia melihat anak-anak bermain di halaman dengan pakaian yang bagus.

Berbeda dengan di kampung-kampung lebih ke hilir yang dilaluinya sebelum tiba di Sunggal. Di sana anak-anak dari Suku Melayu tak ada yang berpakaian, semua telanjang bulat.

Orang Melayu yang Islam dipercayai lebih punya peradaban daripada orang-orang Karo yang belum beragama. Itu teori MENGGERTAK yang diturunkan begitu saja dari grand theory bahwa orang-orang dekat pantai lebih maju daripada orang-orang pedalaman.

Itu teori yang “mempan” hanya ketika orang-orang Karo melawan sekolah karena tidak mau dijajah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.