Kolom Muhammad Nurdin: LAGI-LAGI, PRABOWO PAKAI POLA ASBUN BAHAS EKONOMI NASIONAL

Dalam sebuah pidatonya ia berujar dengan sangat berapi-api, “Ini menurut saya bukan ekonomi neolib lagi, ini lebih parah dari neolib. Ini menurut saya ekonomi kebodohan. The economics of stupidity. Ini yang terjadi.” Prabowo Subianto, Capres nomor urut 2, sebagai lawan dari Petahana, terus membombardir lawan politiknya dengan isu “lesunya ekonomi nasional”. Sebab, menyerang lewat SARA hampir mustahil.

Apalagi memakai pola mem-PKI-kan lawan seperti di 2014 silam.

Sayangnya. Mem-framing ekonomi dalam negeri tengah lesu justru malah membuat netijen “yang serba maha tahu” bertanya-tanya. Apa iya demikian?

Sebab. Belum lama ini, Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde mengatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia “excellent” atau luar biasa.

Sehingga, tak mengherankan jika hal ini berdampak positif bagi iklim investasi kita. Bayangkan, Rp. 200 triliun didapat dari pertemuan IMF dan World Bank yang diadakan di Bali baru-baru ini. Coba kita runut ke belakang. Saat Cawapres nomor urut 2 melakukan banyak sekali manuver untuk menggoreng isu ekonomi.

Dimulai dari seratus ribu cuma dapat bawang dan cabe saja. Lalu muncul tempe setipis kartu atm. Tak lama muncul tempe sachet, juga tempe tablet. Semua di-framing untuk menggambarkan lesunya perekonomian nasional.

Bagaimana dengan faktanya?

Fakta akan menjadi hal yang tidak penting lagi untuk dicari. Model kampanye seperti ini lah yang telah mengantarkan Donald Trump merebut kursi Presiden Amerika.

Polanya: yang penting Asbun (asal bunyi) dulu sebanyak-banyaknya dan semasif-masifnya. Data belakangan. Syukur-syukur datanya benar. Kalaupun salah, ya tinggal minta maaf.

Pilpres 2014 jauh lebih mengerikan dari sekarang. Bagaimana fitnah menjatuhkan lawan politik lewat “stigma PKI”. Bahkan, hingga kini, masih banyak yang percaya bahwa Jokowi adalah antek PKI.

Prabowo tahu. Mayoritas konstituennya adalah konservatif. Apapun yang ia katakan adalah kebenaran absolut. Tak heran, jika Nelty Khairiyah, guru agama SMA 87 Jakarta, merasa terpanggil untuk memenangkan Prabowo. Meski kini ia harus berhadapan dengan kode etik pekerjaan mulianya sendiri.

Tinggal. Bagaimana Prabowo bisa menggaet “swing voters” yang jumlahnya cukup untuk mengantarkannya ke kursi RI 1. Tentu, jika bermain-main dengan rekam jejak, Prabowo-Sandi penuh dengan kegagalan.

Prabowo gagal jadi tentara sampai pensiun. Bahkan dipecat. Sandi, ya oke-ocenya mangkrak tengah jalan. Dua-duanya hampir mustahil bertarung dengan Petahana lewat rekam jejak sebagai politisi kaliber dengan beragam prestasi.

Yang perlu diingat adalah tidak ada moralitas “standar” dalam politik. Apapun bisa dilakukan untuk memenangkan kontestasi. Bahkan jika itu amat kotor bagi sebagian orang yang berfikiran jernih.

Sehingga, tak perlu heran jika Prabowo-Sandi bikin para cebong gemes dan gregetan tiap hari. Itulah cara yang paling mungkin bagi mereka berpacu dengan waktu di tengah elektabilitas yang terus melesu.

Tugas cebong cuma satu. Mewaraskan upaya pembodohan publik. Yuk… satu-satu kita telanjangi statemen-statemen Prabowo yang lain.

Prabowo menyinggung soal gini rasio Indonesia. Menurutnya, data gini rasio menunjukkan ketimpangan ekonomi yang sangat jelas. Dengan kata lain, kekayaan milik segelintir orang tidak menetes ke bawah atau tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.

Pernyataan ini saya katakan Asbun, hampa data, dan membodohi publik. Faktanya, sejak tahun 2011, gini ratio di tahun ini, di masa pemerintahan Jokowi-JK, merupakan yang terendah sepanjang 7 tahun terakhir.

Pasar Roga (Berastagi, Dataran Tinggi Karo) tempat transaksi para petani sayur dengan para pedagang antara yang mengirim sayuran ke kota-kota besar seperti Medan, Pekanbaru, dan Batam.

Sebagai informasi, rasio gini adalah salah satu alat untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna. Sebaliknya, rasio gini yang bernilai 1 mengindikasikan adanya pemerataan pendapatan yang tidak sempurna, atau dengan kata lain terjadi ketimpangan sempurna.

Ada satu hal yang membuat saya geli.

Prabowo menjelaskan bahwa itu semua akibat dari sebagian besar kekayaan alam Indonesia yang dikuasai oleh segelintir orang saja. Misalnya, tanah. Merujuk dari data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Prabowo menyebut 82% tanah di Indonesia dikuasai oleh 1 persen warga. Keuntungan dari penguasaan tanah itu pun mengalir ke luar negeri.

Apakah yang dimaksud Prabowo tanah perkebunan? Perkebunan sawit? Penguasaan tanah di Indonesia oleh pemodal asing sudah sesuai dengan undang-undang. Sudah mendapat izin dari kementerian terkait. Pertanyaannya adalah di era siapa pemberian izin pembukaan lahan diberikan sebesar-besarnya dan selebar-lebarnya?

Faktanya. Dalam kurun 2004-2017, sebanyak 70% dari total luas izin perkebunan, diberikan oleh Zulkifli Hasan saat ia menjabat Menteri Kehutanan di Era SBY. 70% itu seluas 1,6 juta hektar. Atau setara 25 kalinya Jakarta.

Kenapa seolah-olah ini menjadi dosa pemerintah Jokowi-JK? Izin sudah diberikan. Apakah pemerintah bisa seenaknya menutup lahan-lahan perkebunan itu?

Akan datang banyak lagi framing untuk menyudutkan pemerintah. Sehingga, yang waras perlu turun untuk berteriak bahwa “kebenaran adalah kebenaran. Itulah satu-satunya pembeda kita dengan binatang.”

Saat kita diam. Kita telah membiarkan orang-orang melupakan dan menganggap kebenaran sudah tidak penting lagi.

Sumber:

  1. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181011192055-32-337802/prabowo-sistem-perekonomian-indonesia-ekonomi-kebodohan

  2. https://www.cnbcindonesia.com/news/20180716141723-4-23748/tingkat-ketimpangan-di-indonesia-terendah-dalam-7-tahun

  3. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180322072238-32-284924/zulhas-sempat-beri-izin-sawit-25-kali-luas-dki-jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.