Kolom Soibah E. Sari: LOGIKA MENYESATKAN DI KALANGAN GURU

Penasaran bagaimana pendapat guru-guru soal rekan mereka yang mencukur paksa rambut siswi yang tidak pakai ciput. Juga guru yang memotong rambut siswi yang kedapatan tidak digulung sehingga terlihat dari belakang karena menjulur dari balik jilbab.

Maka saya “mengintip” ke grup khusus guru yang ada di FB ini. Sungguh bikin miris.

Mereka salah memahami Permendikbud No. 45 tahun 2014. Mereka merasa bahwa aturan itu ditujukan buat semua siswa-siswi. Bahkan dengan diktator mereka berkomentar”Jika tidak setuju dengan aturan sekolah yang dituju, maka silahkan pindah ke sekolah lain. Kalau perlu bikin sekolah sendiri dan didik sendiri anaknya.” Arogansi tiada batas.

Bosan banget sih untuk membahas soal batas aurat khususnya rambut. Padahal itu cuma tafsir tunggal yang akhirnya jadi doktrin. Rambut itu seakan masuk dalam Rukun Islam sehingga selalu jadi alasan orang untuk bersikap memaksa bahkan semena-mena pada orang-orang yang tidak menutup rambutnya. Sudah jelas, tidak ada satu ayatpun dalam Al-Quran yang menyatakan rambut itu wajib ditutup.

Jadi ragu nasib bangsa ini ke depannya bagaimana, mengingat kualitas guru-guru yang notabene dianggap mumpuni untuk mendidik mereka tapi justru malah mengintimidasi, bersikap rasis, arogan, dan diktator dalam menerapkan peraturannya.

Dalih mereka sih demi mendisiplinkan siswa-siswinya agar taat aturan. Padahal itu jelas pelanggaran HAM berkedok pendisiplinan.

Kenapa para guru tersebut merasa punya hak untuk memaksa siswinya mengikuti aturan yang jelas ngawur? Karena logika berpikir mereka yang menyesatkan tentang batas aurat perempuan. Ditambah lagi literasi mereka rendah. Itu fakta!

Meskipun mereka berpredikat pendidik, mereka sebenarnya malas membaca dan belajar. Padahal di internet informasi apa aja ada jika rajin membukanya.

Presiden Jokowi bagus di infrastruktur, tapi isu agama dan pendidikan tidak jadi fokusnya. Bisa jadi karena isu agama isu sensitif yang jika ada yang nyenggol akan langsung main bacok. Jadi pak presiden memilih bermain aman.

Nah kalau isu pendidikan? Kenapa beliau seakan tidak serius menanggapinya? Padahal sudah banyak kejadian yang sungguh di luar nalar terjadi di sekolah-sekolah.

Disadari atau tidak kebanyakan orang tua siswa cenderung pasif menghadapi aturan-aturan sekolah yang sudah menjurus pada pemaksaan. Mereka terkesan takut bahkan abai. Ya, cari aman mungkin. Daripada anaknya disuruh pindah atau dipersekusi di sekolah, terpaksa menuruti aturan yang kadang tidak masuk akal tersebut.

Contohnya: ada lho sekolah negeri yang mewajibkan sholat dhuha. Jika tidak sholat akan terkena sanksi. Ada sekolah yang berbasis sekolah umum wajib setor ayat tiap pagi. Itu semua dijadikan aturan wajib padahal tidak resmi.

Bagaimana guru menanggapi hal tersebut jika seumpama ada orangtua yang protes? Maka dengan merasa benar guru akan menjawab: “Anak anda saya ajarkan menuju kebaikan masa anda keberatan? Memaksa pada kebaikan itu adalah justru sesuatu yang baik, apakah pantas anda untuk memprotesnya?” maka orang tuapun diam mendengar ultimatum tersebut.

Guru rasa Satpol PP!

Lihat aja di pasar-pasar, ketika ada razia ketertiban maka dagangan, peralatan jualan, gerobak, dan bahkan orangnya sekalian diangkut sama Satpol PP untuk dibawa ke Dinas Sosial dengan dalih penertiban.

Begitu jugalah guru yang dengan semena-mena mencukur rambut dan memotong rambut siswinya dengan paksa apa bedanya dengan petugas tersebut?

Pada sadar nggak sih? Kalau masyarakat kita ini sudah digiring untuk setuju dan menganggap hal biasa ketika hak seseorang dilanggar dan yang lain santai saja menertawakannya?

Sungguh miris.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.